Aksa dan keluarganya tengah duduk di ruang keluarga. Papa dan mamanya telah pulang ke Indonesia, setelah berbulan-bulan di Belanda. Aksa terus memandang istrinya yang kini tengah di tenangkan oleh ibu mertuanya.
"Aku tadi kaget loh, waktu di telpon sama Aksa." Ujar Papa Aksa memecah keheningan.
Mama Aksa memegang dan mengusap tangan Rara. Ia tersenyum menatap Menantu kesayangannya. "Rara kuat ya sayang."
Rara lemas, untuk berbicara saja rasanya sangat berat. Kenyataan yang di dengarnya benar-benar membuatnya sangat terpukul. Rasanya Rara sulit percaya, kalau ternyata Arga lah yang mencelakai Omanya. Tapi, rekaman yang dimiliki Lia cukup untuk membuktikan kelakuan sahabatnya sedari kecil.
Cila dapat melihat tatapan kakaknya yang kosong. Memang Oma lah yang telah mengasuh Kakaknya sedari balita. Kakaknya adalah panutan baginya. Walaupun kedua orangtuanya kurang dalam memberikan kasih sayang, dan cenderung mengabaikannya. Kakaknya tetap bisa berdamai dengan ayah dan bundanya.
"Kalian udah lapor polisi?" Tanya papanya Lia.
"Belum om." Jawab Cila.
"Ada buktinya kan? Ya udah ayo lapor."
Ayah dari Rara, Aksa, dan Lia, jalan lebih dahulu ke kantor polisi. Sedangkan Lia, ia sedang bersiap-siap tentunya untuk segala pertanyaan-pertanyaan yang akan di berikan.
"Teh Cila sendirian?"
"Iya naik taxi."
"Eh, jangan! Mending di antar aja sama kak Alex. Bahaya kalau kakak keluar sendiri."
"Iya kak, udah sana biar di anterin." Sahut mamanya.
Alex menghela nafasnya. Sebenarnya ia ogah, karena Lia tentunya membuatnya ikut sakit hati dengan apa yang Lia perbuat kepada sahabatnya. Namun apa perkataan Cila ada benarnya juga. Siapa tahu si brengsek Arga sedang mengincar Lia, dan berniat untuk mencelakainya.
"Ayo gue antar."
Lia berjalan menghampiri Rara. Lia berjongkok di depan Rara, dan memegang kedua tangannya. "Ra, lo harus tenang ya. Kasus ini bakal di urus secara hukum. Pasti Arga juga akan di berikan hukuman yang setimpal."
"Bukankah nyawa harus di bayar nyawa." Lirih Rara membuat orang-orang terkejut.
"Hei, jangan gitu sayang. Gak boleh dendam ya." Tegur ibu mertuanya dengan lembut.
"Iya, kita tunggu aja nanti gimana kedepannya." Sahut bundanya.
"Rara mau ke kamar." Ucapnya beranjak dari duduknya. Rara menaiki tangga menuju kamarnya, dengan tatapan kosong. Sebenarnya Rara juga gak mau kembali ke posisi ini, tapi setiap ia teringat kejadian Oma nya. Dirinya selalu sakit dan lemah, rasanya seperti kehilangan separuh jiwanya.
"Udah, Ya. Mending lo langsung ke kantor polisi aja. Biar gue yang susul Rara." Ujar Aksa yang meninggalkan tempat. Aksa menaiki tangga untuk menemani istrinya.
Muti menghampiri Cila dan mendusel di kakinya. Cila mengangkat Muti dan menciumnya dengan gemas. "Kamu kenapa sih? Udah makan belum?"
Meauw
"Kamu harus temani kakak, dia kan lagi sedih."
Meauw
"E-eh, mau kemana?"
Muti melompat turun dari pangkuan Cila, dan melompat-lompat menaiki tangga.
"Katanya tadi di suruh nemenin kakak, ya itu Muti mau kesana."
Cila melongo mendengar ucapan ibundanya. "Masa bisa langsung ngerti sih?"
Drtt.. Drttt...
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐲 𝐇𝐮𝐬𝐛𝐚𝐧𝐝 𝐈𝐬 𝐌𝐲 𝐁𝐢𝐠 𝐁𝐚𝐛𝐲
Teen Fiction[ FOLLOW DULU BARU BACA!! ] TINGGALIN JEJAK VOTE AND COMMENT YA GAYSS. Perjodohan? Ya, itulah yang tengah Rara alami. Tepat satu tahun selepas neneknya meninggal, ia harus menerima perjodohan dengan laki-laki yang ternyata teman satu kelasnya sekali...