Sudah lebih dari seminggu, Lia berbaring di rumah sakit. Dengan keadaan yang sama seperti sebelumnya, belum ada perkembangan. Semua orang dibuat menunggu kabar kesadaran darinya.
"Rara." Panggil Arga dengan lembut.
Ya, siang ini Rara diam diam pergi untuk menjenguk Arga di lapas. Ia tersenyum nanar menatap wajah sahabat yang ia bangga-banggakan dulu.
"Ra, gue minta..."
"Pembunuh."
Arga tercengang ketika mendengar perkataan Rara. Walaupun perkataannya tidak sepenuhnya salah, hatinya tetap terasa sakit. Terlebih lagi ia mendengar langsung dari mulut mungil orang yang sangat amat ia sayangi.
"Lo udah bunuh kebahagiaan gue, Ga."
"Gue minta maaf Ra, tapi tujuan utama gue bukan buat bunuh Oma. Gue cuma..."
"Cuma apa? Lo tahu kan, kalau Oma itu segalanya buat gue. Dari kecil Oma yang selalu ada buat gue, lo tahu itu kan Ga!"
Rara menggenggam kedua tangannya dengan erat, kepala tertunduk dengan rambut panjangnya yang menutupi wajah sembabnya. Arga bisa melihatnya, wajah Rara benar benar terlihat capek. Apakah perbuatannya benar benar sekejam itu?
"Dari kecil gue udah ditinggal kerja sama orang tua, terlebih lagi gue punya ade yang usianya ga jauh beda. Kasih sayang yang diberikan orang tua gue itu ga ada apa apanya."
Rara mendongakkan kepalanya, menatap Arga. "Lo sahabat gue dari kecil, Ga. Lo tahu semua kisah gue, dan lo orang yang paling gue percaya setelah Oma dan Opa. Tapi kenapa lo lakuin ini semua?"
"Ini semua salah Aksa. Kalau rencana sialan itu ga ada, kita pasti udah bahagia Ra."
"Kita?" Rara tertawa mendengar penuturan laki laki didepannya. Ia tak habis pikir, kenapa tidak ada rasa bersalah sedikitpun darinya.
"I really love you." Ucap Arga lembut, kedua matanya menandakan betapa tulus dan dalamnya ucapan yang telah ia keluarkan.
"And I really hate you."
"Ra, tunggu." Cegah Arga, dengan menggenggam tangan Rara. Ia menatap lirih wajah Rara yang tampak kelelahan.
"Apa?"
"Jaga kesehatan, Ra. Gue gak mau dengar kabar lo sakit. Kalau Aksa nyakitin lo, kasih tau gue."
☞☜
Rara kembali menuju ke rumah sakit, dengan menggunakan Taxi. Saat ini hujan turun dengan sangat deras, disertai angin yang berhembus perlahan. Rara menyenderkan kepalanya, ia memejamkan matanya dengan pikiran yang terus berbicara.
"Aduh."
"Kenapa pak? Kok berhenti?"
"Mobilnya mogok mbak."
Rara mengintip keluar jendela, rumah sakitnya sudah dekat. Mungkin membutuhkan waktu sepuluh menit untuk sampai, jika berjalan kaki.
"Ya udah pak, saya turun aja."
"Loh? Hujan deras lo mbak."
"Gakpapa pak." Rara mengeluarkan selembar uang berwarna merah, dan memberikannya kepada sopir Taxi. "kembaliannya buat bapak aja."
"Terimakasih mbak, maaf juga bapak gak bisa ngantar sampai tujuan."
"Iyaa, duluan ya pak."
Rara keluar dari Taxi, dan merasakan rintik hujan yang jatuh mengenai tubuhnya. Ia berjalan dengan perlahan, dengan tatapan yang kosong. Kenyataan ini masih belum bisa sepenuhnya ia terima. Kadang Rara berharap, ini hanya mimpi buruk yang panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐲 𝐇𝐮𝐬𝐛𝐚𝐧𝐝 𝐈𝐬 𝐌𝐲 𝐁𝐢𝐠 𝐁𝐚𝐛𝐲
Teen Fiction[ FOLLOW DULU BARU BACA!! ] TINGGALIN JEJAK VOTE AND COMMENT YA GAYSS. Perjodohan? Ya, itulah yang tengah Rara alami. Tepat satu tahun selepas neneknya meninggal, ia harus menerima perjodohan dengan laki-laki yang ternyata teman satu kelasnya sekali...