2. Damai Yang Diidamkan

1.3K 273 18
                                    

Pagi ini saat terbangun dari tidur, Dewa merasa lebih bersemangat dari hari biasanya. Walaupun tidak tidur di tempat tidur yang mahal, pada kenyataannya Dewa bisa tetap tidur nyenyak, bahkan tanpa mimpi buruk yang selama beberapa tahun terakhir ini menghantuinya.

Entahlah apakah hal tersebut dikarenakan ia jauh dari hal-hal yang sudah ditanggungnya semenjak sang ayah tiada, ataukah ini disebabkan ia bertemu dengan sosok yang meskipun suka sekali membicarakan hal yang tak ada artinya, namun hanya dengan mendengar suaranya saja sudah membuat Dewa merasa tenang.

Melihat gadis itu tetap begitu bersemangat menjalani hidup, bahkan bekerja di dua tempat sekaligus demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Dewa merasa sedikit malu. Ia yang selama ini menganggap bahwa hidupnya hanya harus menanggung hal yang sebenarnya tak ingin ia tanggung merasa bahwa ia adalah orang yang berpikiran sempit. Hal yang ditinggalkan mendiang ayahnya yang selama ini dianggapnya beban ternyata tidaklah serumit serta sesulit hidup yang harus dijalani oleh gadis periang itu.

Dewa memang tidak pernah mengeluh saat harus meneruskan pekerjaan ayahnya yang menurut sebagian orang bukanlah hal yang baik untuk dilakukan. Namun dalam hatinya terkadang Dewa juga merasa lelah harus menjalani rutinitas dimana ia harus selalu bisa bersikap tegas dalam menangani para bawahannya. Jika ada dari mereka yang melakukan hal tidak sesuai dengan aturan baru yang telah ditetapkannya, maka Dewa tidak akan segan memberikan hukuman agar orang itu jera.

Di sini, si rumah sederhana dimana di lingkungan sekitarnya dihuni oleh para tetangga yang ramah dan tak pernah sekalipun usil dengan kehidupan pribadi antara satu dengan yang lainnya, Dewa merasa begitu damai. Rasa damai yang selama ini tidak pernah Dewa rasakan di lingkungan tempat tinggalnya, dua hari belakangan ini bisa dengan mudah Dewa rasakan.

"Udah ditelpon 'kan, om, orang yang katanya bisa jemput om di sini?"

Suara yang teedengar dari balik punggungnya itu membuat Dewa yang tadi duduk di teras sambil menatap halaman kecil di depannya segera menoleh ke arah datangnya suara.

Ekspresi Naya yang masih bisa tersenyum padahal gadis itu baru pulang kerja pukul dua subuh tadi, Dewa jadi semakin merasa malu.

Lihatlah betapa banyaknya energi yang dimiliki oleh gadis baik hati itu, yang meskipun lelah sehabis bekerja, tak tampak sedikitpun adanya keluhan di tatapan mata juga ekspresi wajahnya. Semua itu berbeda dengan Dewa, yang jika merasa lelah, ia tidak akan pernah ingin diganggu oleh siapapun dan lebih memilih mengurung dirinya di dalam kamar sambil memandangi foto mendiang kedua orang tuanya.

"Kalau udah dihubungi, ponselnya mau segera aku kembalikan ke tetangga sebelah rumah. Nggak enak soalnya kalau pinjamnya kelamaan."

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Dewa mengambil ponsel yang tadi diletakkannya di sampingnya. Setelah memberikan ponsel tersebut ke Naya, ia mengatakan, "Tolong sampaikan terima kasih saya untuk pemilik ponsel itu. Kalau nanti orang yang mau jemput saya itu ada di sini, saya pasti akan mengganti pulsanya."

"Alah, om, hal sekecil itu nggak usahlah terlalu dipikirkan. Orang di lingkungan sekitar sini nggak pernah perhitungan. Mereka semua baik-baik, makanya dari kecil sampai sebesar ini, aku betah tinggal di sini." jawab Naya santai sambil turut mendudukan dirinya di samping pria yang dipanggilnya dengan sebutan 'om' demi menjaga kesopan dan juga menghormati orang yang lebih tua.

"Kamu 'kan pulang kerjanya sudah lewat tengah malam begitu, sebaiknya kamu lanjutkan lagi tidurnya di kamar sana." ucap Dewa yang bingung melihat Naya malah duduk di sampingnya.

"Kalau matahari udah muncul kayak gini, aku nggak bisa terus tidur, om. Udah kebiasaan bangun pagi, walau selarut apapun aku tidurnya."

"Memangnya kamu tidak capek setiap hari pulang di jam segitu?"

Di bawah Rinai Asmara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang