29. Hari Tak Terlupakan

555 139 5
                                    

Naya tidak tahu harus bereaksi seperti apa saat ini. Begitu ia telah sembuh sepenuhnya, pagi ini ia sudah didandani oleh beberapa wanita serta dipakaikan pakaian yang biasa ia lihat dipakai oleh orang-orang untuk menghadiri sebuah acara.

Entah apa alasan kekasihnya melakukan semua ini padanya, namun yang pasti Naya sendiri masih belum mampu berkata-kata. Bahkan setelah akhirnya mereka menginjakan kaki di sebuah bangunan panti asuhan bertuliskan 'Kasih Bunda', semakin banyak pertanyaan yang menumpuk dalam pikiran Naya. Sementara pria di sampingnya yang juga telah berdandan rapi tak sedikitpun mau menjelaskan mengenai apa yang akan mereka lakukan di tempat ini dan dengan dandanan seperti ini?

Tidak ingin dianggap sebagai orang yang tidak bisa diam, Naya akhirnya hanya bisa mengikuti saja langkah kaki sang kekasih yang berjalan dengan melingkarkan sebelah tangan di pinggangnya. Sedangkan untuk orang yang menjadi tangan kanan kekasihnya berjalan di bagian belakang dengan Dafa yang mengikuti perintah untuk selalu menjaga keamanannya.

Begitu langkah kaki mereka telah memasuki ruang tamu yang cukup luas tersebut, mata Naya seketika membuka lebar kala melihat apa yang telah dipersiapkan di sana. Ada seorang bapak-bapak yang memakai kopiah duduk di seberang meja serta ada beberapa orang lainnya yang juga hadir di sana, dan tak lupa terdapat sekumpulan anak-anak yang wajah-wajah mereka dihiasi dengan senyuman kala menatap ia dan juga pria di sampingnya.

"Waktu agak sedikit mepet, Nay, jadi untuk saat ini aku berniat menikahi kamu dulu secara agama. Dan mengenai surat-suratnya, semuanya masih dalam proses. Jadi, kalau kamu bersedia menjadi istriku, maukah kamu duduk di hadapan penghulu bersamaku?"

Lagi Naya tercengang. Ia menoleh ke arah sang kekasih yang kini juga sedang memandang ke arahnya. Seulas senyum di bibir serta pengharapan di pancaran mata pria yang berdiri di sampingnya itu membuat Naya tak kuasa untuk menolak. Mungkin memang sedari awal ia sudah memutuskan untuk bertahan di sisi kekasihnya itu seperti apapun kondisinya.

Masih tanpa mengalihkan pandangan, Naya berucap, "Kenapa om Dewa nggak ngomongin soal ini sama aku? Nggak enak rasanya jadi orang terakhir yang tau padahal akunya sendiri adalah tokoh utamanya hari ini."

"Awalnya, sebelum kejadian yang menimpa kamu itu, aku 'kan pernah bilang mau bawa kamu ke suatu tempat. Aku sudah berencana untuk menikahi kamu. Nggak mungkin aku bermesraan dan menyentuh kamu di sana sini tanpa pernah berpikir seperti apa pandangan orang-orang padamu nanti. Nah, karena rencana di awal terpaksa harus ditunda karena kejadian yang menimpa kamu waktu, makanya baru bisa kita lanjutkan hari ini."

"Om Dewa belum jawab pertanyaan aku tadi." kekeuh Naya ingin mengetahui jawaban atas kejutan tak terduga yang diterimanya hari ini.

"Itu.... " untuk sejenak Dewa mengalihkan pandangannya ke arah lain. Namun karena merasa tidak ada lagi yang perlu disembunyikan, ia pun kembali menatap ke arah gadisnya seraya menjawab, "Jujur saja sebenarnya aku takut kalau kamu menolak menikah denganku dengan alasan kamu masih muda dan masih ingin melanjutkan pendidikan. Makanya aku terpaksa mempersipakan semuanya diam-diam dan langsung membawa kamu ke sini."

"Dengan membawa aku langsung ke sini, jadinya aku nggak punya pilihan lain selain nerima lamaran dari om, benar begitu 'kan?" tanya Naya yang merasa gemas dengan alasan yang diberikan oleh kekasihnya.

"Memang begitulah yang ada di pikiranku." jujur Dewa menjawab apa adanya. Beberapa detik setelahnya ia pun balik bertanya, "Jadi, meskipun nggak ada acara lamaran yang romantis atau hal lainnya, bersediakah kamu menjadi istriku?"

Naya pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan akhirnya dengan bibir tersenyum ia mengatakan 'iya' atas pertanyaan yang diajukan kekasihnya. Dengan dibimbing oleh pria yang ia yakini bisa menjadi pendamping hidup yang baik untuknya itu, baik Naya maupun kekasihnya kemudian duduk di hadapan sang penghulu yang tersenyum, seolah memaklumi tingkah para anak muda yang akan segera disahkannya.

Tidak lama kemudian acara penyatuan dua insan yang telah sepakat untuk menjadi satu itupun dimulai. Begitu sebaris kalimat sakral terucap dari bibir sang mempelai pria dan tak lama setelahnya sang penghulu mengesahkan pernikahan kedua insan tersebut, mengalirlah butiran-butiran bening di pipi mempelai wanita.

Setelah acara sakral tersebut berhasil dilewati tanpa hambatan dan akhirnya hanya menyisahkan kedua mempelai yang masih bertahan di ruang tamu sedangkan yang lainnya menyantap hidangan yang sengaja disiapkan di halaman belakang panti asuhan tersebut, Dewa yang menyadari jika gadis yang kini telah menjadi istrinya itu masih menundukkan kepala akhirnya secara perlahan menyentuh dagu gadisnya dan mendongakan wajah yang selalu membuatnya merindu itu ke arahnya.

"Suami kamu ada di depan sini loh, Nay, kenapa kamu malah ngeliatnya ke bawah?" tanya Dewa dengan diselipi sedikit candaan.

Langsung saja bibir Naya mencebik atas apa yang yang dikatakan pria yang baru saja menikahinya itu. Dibiarkannya tangan besar sang suami mengelap sisa-sisa air mata di pipinya. Sementara pandangan Naya terus terpatri ke seraut wajah tampan nan menawan pria yang sepenuhnya sudah bisa ia klaim sebagai miliknya.

Siapa yang akan membayangkan bahwa dirinya bisa berada di situasi seperti ini. Dulunya Naya bahkan berpikir bahwa hingga usia lanjut nanti, ia hanya akan tetap sendiri. Menjadi yatim piatu tanpa sanak ataupun saudara membuat Naya cukup pesimis bahwa tidak akan mungkin ada pria yang tertarik padanya. Dengan pendidikan yang tidak bisa dibanggakan serta pekerjaan yang gajinya hanya cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari serta ditabung untuk rencana masa depannya, maka sudah pasti hal tersebut tampak tidak menarik di mata mereka.

Tetapi rupanya takdir Tuhan tidak ada siapapun yang bisa menebaknya. Tanpa diduga ia dipertemukan dengan pria yang bahkan saat ini telah menjadi suaminya.

"Lagi mikirin apa sih, Nay, sampai segitunya mandangin aku?" Dewa menggenggam kedua tangan Naya di dalam lingkupan tangan-tangannya yang besar.

"Om Dewa nggak akan menyesal 'kan memilih aku untuk dijadikan sebagai istri?" tanya Naya balik dengan tatapan yang masih mengarah ke wajah pria yang duduk di hadapannya.

"Kalau aku punya sedikit saja pikiran seperti itu di pikiranku, aku nggak mungkin bawa kamu sampai ke sini, Nay. Bagiku, selain kamu, aku nggak akan menikahi perempuan mana pun juga." tanpa keraguan Dewa memberikan jawaban.

"Lalu, bagaimana om Dewa akan menjelaskan semua ini ke keluarga om nantinya?"

"Rencananya habis dari kita pulang ke rumah dulu sebentar untuk berganti pakaian. Setelahnya baru aku ajak kamu kenalan dengan bibiku dan juga keluarganya. Untuk sisanya, kamu serahkan saja semua sama aku."

"Apakah kita akan ketemu dengan orang itu di sana?"

"Mungkin saja akan ketemu. Tapi aku harap kamu bisa bersikap biasa saja. Jangan sampai membuatnya curiga."

Begitu melihat Naya memberikan anggukan kepala, Dewa pun segera membawa tubuh sang istri ke dalam pelukan. Tak terkira seberapa besar rasa bahagia yang kini ia rasakan setelah akhirnya bisa menjadikan Naya sebagai istrinya.

Dan mengenai sosok yang selama ini menjadi duri dalam dagingnya, Dewa sudah menyusun dua rencana sekaligus. Jika rencana yang pertama tidak berhasil membuat orang itu jera, maka Dewa terpaksa akan menggunakan rencana yang kedua. Dengan begitu, Dewa berharap agar orang itu tidak akan lagi bisa melakukan hal-hal yang tidak hanya merugikan diri sendiri tapi juga orang-orang di sekitarnya.

                                                                                  
🐑🐑🐑

                                                                                  

                                                                                  

🐑🐑🐑
Salam, eria90 🐇
Pontianak,-15-10-2022

Di bawah Rinai Asmara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang