[07/10]

890 110 3
                                    

Phone Call

.

.

.

.

.

Sekali lagi, ponsel milikmu itu berdering. Kamu menghela napas panjang. Padahal kurang dari satu jam yang lalu saat kamu mengangkat telpon dari orang itu.

"Apa lagi?"

"Noona, tidak membaca pesanku."

Kamu mendengus. Hanya karena hal seperti itu, Iaros sampai menelponmu. Kamu dengan segera mengakhiri panggilan dan membuka aplikasi pesan untuk melihat apa yang dikirim Iaros padamu sejak tadi. Matamu sedikit membulat saat melihat begitu banyaknya pesan yang dikirimkan pemuda itu. Kamu segera membalasnya dan menyimpan ponselmu lagi.

Sekarang kamu fokus dengan kertas-kertas soal yang ada di mejamu. Lima menit berlalu dengan keheningan sampai terdengar suara nada dering ponselmu lagi. Dengan kesal kamu meraihnya dan mulai menggerutu pada orang yang menelponmu.

"Kau ini kenapa?"

Matamu mengerjap. Suara itu berbeda dengan yang kamu bayangkan. Kamu lantas menjauhkan ponsel untuk melihat lebih jelas identitas si penelpon. Ternyata dia adalah sahabatmu, Pheron. Kamu mendengus dan kembali menempelkan ponselmu di telinga.

"Ada apa? Kau ada dimana? Dan apa yang kau lakukan selama itu?"

"Hei pelan-pelan, Tuan Putri. Aku tadi ke toilet dan kebetulan sedang lapar, jadi aku pergi membeli makanan dulu."

Kamu memutar bola mata. Sudah dua jam pemuda itu menghilang, dan alasan yang dia berikan sangat tidak masuk akal. Padahal dirimu sedang pusing dengan penelitian kalian. Tetapi Pheron nampaknya tidak terlalu peduli.

Beberapa saat kemudian pintu ruangan terbuka, menampakkan Pheron yang tersenyum lebar sembari membawa beberapa kantung makanan. Jika saja kamu sedang tidak lapar, kamu pasti akan mengomelinya. Kamu mengintip makanan yang Pheron beli, dan seketika rasa laparmu berkurang sedikit.

Melihatmu yang nampak kecewa, Pheron lantas bertanya, "Kenapa? Ini makanan kesukaanmu, 'kan?"

Kamu mendengus sebal menatap pemuda itu. "Iya, itu benar. Tapi aku tidak pergi ke Obelia untuk makan makanan khas Eperanto." Pheron menggidikkan bahunya. Ia tidak begitu paham dengan kekesalanmu. Dan kamu yang melihatnya hanya bisa menghela napas pasrah.

"Oh iya, kenapa tadi kau marah-marah? Si aneh Iaros itu menganggumu lagi?" Kamu mendelik mendengar ucapan itu.

"Apa kau baru saja menghina calon suamiku?"

"Ups! Maaf, maksudku sepertinya Putra Mahkota sangat merindukanmu."

Kamu lagi-lagi menghela napas panjang. Hal itu memang tidak salah. Sejak tiba di Obelia, tidak ada hari tanpa telpon Iaros yang menganggumu. Kamu paham betul bahwa Iaros pasti akan bersikap seperti itu sejak dirimu menyetujui untuk ikut program pertukaran mahasiswa ke negara lain.

Awalnya kamu hanya ingin memilih negara yang dekat seperti Achete atau Tarium, tetapi Pheron dengan sengaja mengisi Obelia yang jauh sebagai tujuan kalian. Alasannya karena ia tidak ingin pergi sendiri ke tempat yang jauh. Padahal jelas sekali pemuda itu hanya ingin mengusik Iaros saja dengan memisahkan kalian. Jadilah sekarang kalian berdua terdampar jauh di negri orang.

"Kenapa sih kau ingin bertunangan dengannya? Dulu kan kau bilang tidak ingin jadi permaisuri."

Kamu yang sedang menikmati makananmu tertegun saat mendengar pertanyaan itu. Sejujurnya kamu pun tidak tahu mengapa dirimu menerima lamaran Iaros. Awalnya kamu tak begitu suka dengan pemuda itu. Apalagi dirinya pernah dijodohkan dengan adikmu sendiri.

Fiancè || Iaros Orona EperantoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang