[06/10]

921 115 5
                                    

First Love
.

.

.

.

.

Hari itu matahari bersinar terang. Tetapi anehnya suasana sekitar terasa sejuk. Saat yang tepat untuk melakukan pesta teh di taman.

Begitulah yang dipikirkan oleh Duke Beliard. Tetapi respon sang putri adalah, "Tidak mau, aku akan tidur seharian saja." Sang Duke mendengus. Padahal biasanya anak seusianya sangat suka melakukan pesta teh.

"Ayolah, Tuan Putri. Kau kan sudah lama tidak pulang ke rumah. Mari lakukan hal yang menyenangkan." Tuan Duke berusaha membujuknya lagi. Gadis kecil yang masih berbaring itu berdecak pelan. Ia membuka selimutnya dan menatap malas pada sang ayah.

"Karena itulah, Ayah, tidur adalah hal yang paling kubutuhkan." Akhirnya sang Duke berhenti membujuknya. Bukannya ia menyerah, hanya saja ia terpikirkan ide lain untuk membawa gadis kecilnya itu mau menghabiskan waktu dengannya.

Sang duke lalu beranjak pergi dari kamar sang putri. Selang beberapa menit kemudian, seorang gadis kecil lainnya masuk ke dalam kamar itu. Ia dengan riangnya melompat naik ke atas kasur dan menarik selimut yang dipakai oleh sang kakak.

"Kakak! Ayo kita pergi. Ayo... ayo... ayo..."

Sang kakak mendecak sebal. Ia menegakkan tubuh dan menatap malas pada gadis kecil di hadapannya. "Kau mau kemana, Meddie?"

Medeia tidak menjawab, melainkan langsung menarik tangan sang kakak, memanggil pelayan, lalu meminta agar sang kakak didandani dengan cantik. Hampir sejam menunggu, akhirnya sang kakak sudah siap. Medeia begitu senang melihatnya. Ia menghampiri sang kakak dan memeluknya.

"Kakak cantik sekali! Sekarang ayo kita pergi." Gadis itu pasrah saja ditarik oleh sang adik. Ia bisa menolak siapapun, tapi tidak akan bisa menolak Medeia.

Keduanya tiba di depan mansion Beliard. Di sana, sudah menunggu Tuan Duke dan Duke Muda. Keduanya tersenyum melihat kedatangan dua gadis kecil itu. Masing-masing dari mereka menjulurkan tangan.

"Medeia?" Medeia kecil meraih tangan sang kakak. Sementara gadis kecil lainnya menarik tangan sang ayah. Mereka berempat kemudian masuk ke dalam limosin dan bergegas pergi.

* * *

Mobil mewah itu memasuki pekarangan sebuah kuil. Beberapa pendeta muda segera berbaris untuk menyambutnya. Pintu mobil terbuka, turun seorang anak laki-laki dengan ekspresi arogannya. Sang ayah menyusul di belakang. Semua seketika membungkuk padanya.

"Selamat datang, Baginda Kaisar dan Yang Mulia Putra Mahkota."

Pria yang dipanggil Kaisar mengangguk pelan. Ia menoleh pada sang putra dan mengarahkan bocah laki-laki untuk mengikutinya. Raut wajahnya nampak bingung diajak ke tempat rohani seperti kuil. Padahal saat di istana tadi sang ayah mengatakan ingin membawanya jalan-jalan.

"Memangnya apa bagusnya tempat ini?" keluh si putra mahkota. Sang Kaisar yang mendengar itu hanya tersenyum sembari menepuk kepala putranya.

"Iaros, kuil suci adalah kekuatan yang menopang kekaisaran kita. Tidak baik berkata seperti itu." Iaros mendengus pelan. Ucapan itu terdengar seperti omong kosong baginya. Di otak anak kecil berumur lima tahun, tentu kuil merupakan tempat yang membosankan. Iaros pikir sang ayah akan mengajaknya ke taman bermain.

Fiancè || Iaros Orona EperantoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang