Siswi yang posisi duduknya di dekat jendela itu adalah aku, yang juga sedang menumpukan satu tanganku pada dagu. Dea Agnesia Agnelli tertulis pada nametag seragam putih abu yang aku kenakan.
Sinar matahari pagi masuk melalui jendela kelasku yang terbuka, semilir angin yang turut masuk menerpa wajahku yang tenang menyimak Pak Galang, guru kimia yang sedari tadi asyik menerangkan materi di depan.
"Dan jawaban akhirnya adalah..."
Pak Galang menggantungkan pertanyaannya sembari menoleh ke bangku para murid. Di saat yang bersamaan, seisi kelas mulai menegakkan posisi duduk mereka. Aku yakin mereka sedang berharap agar tidak dipanggil pak Galang.
Aku menghentikan gerak penaku di saat namaku dipanggil oleh guru kimia itu.
"Dea?"
Aku langsung mengangkat pandanganku dari meja dengan ekspresi wajah yang tidak berubah dari sebelumnya. Datar. Aku tidak repot bahkan hanya untuk menunggingkan sebuah senyum di wajahku.
"Kamu dapat jawabannya, nak Dea?" tanya pak Galang.
Aku memastikan sekali lagi jawaban di kertasku sebelum menjawabnya, "PHnya 3-log 2, pak."
Pak Galang tersenyum, tanda jawabanku benar. "Keren nak Dea," pujinya. Dia mempersilahkan aku duduk, dan mulai menasihati teman-teman lain. "Makanya, kalian belajar yang rajin. Lihat tuh si Dea. Semangat belajarnya gak kayak kalian. Pada ketar-ketir, kan, waktu bapak mau panggil tadi?"
Seisi kelas tertawa dan setelahnya, pembelajaran pun dilanjutkan sampai jam pulang.
. . .
Bel sekolah berbunyi sehingga menggembirakan seluruh insan di gedung SMA'ku yang menjulang. Murid-murid mengemasi barang-barang mereka dengan tergesa, tidak sabar untuk meninggalkan lingkungan sekolah.
Aku sedang duduk di dalam kelas yang tadinya riuh, sekarang hanya tinggal aku sendiri. Aku menjadi orang terakhir di dalam kelas. Aku sengaja menunggu lebih lama di dalam agar lingkungan sekolah menjadi sepi. Aku tidak suka berdesakan pada jam pulang.
Setelah menunggu beberapa saat, lingkungan sekolah pun kehilangan ramainya. Aku memutuskan untuk keluar kelas, secara bersamaan aku mendengar suara yang memanggilku. Aku menoleh ke arah kanan, lantas mendapati seorang gadis berseragam sama sepertiku sedang berlari ke arahku.
"Deaa! Lu- lu kemana aja, sih? Dari tadi gue cari juga."
Yang berbicara itu menyenggol lenganku, nafasnya yang terputus-putus, dan senyum dengan sendirinya hadir di wajahku untuk pertama kalinya hari ini.
"Keringatmu!" Aku terkekeh. "Ngos-ngosan gitu kenapa sih?"
Aku melihat ia menyeka keringat di wajahnya. Dadanya naik turun masih berusaha menangkap nafasnya, seragam putihnya berantakan, dan saat aku melihat luka pada lutut kirinya, kedua mataku melebar.
Refleks aku langsung bertanya, "Kakimu kenapa, Vina?"
Sahabatku, Vina, dia langsung menegakkan ransel di punggungnya dan mulai membenarkan posisi tubuhnya. Ia meringis sakit, sedikit mengeluarkan desahan pendek dari mulutnya. "Long story. Gue ceritain sambil jalan."
Vina berjalan lebih dulu namun aku belum bergerak dari tempatku. Aku masih berdiri di belakang, melihat wujudnya yang semakin menjauh dariku.
Tidak merasakan aku mengikutinya, Vina sontak memutar tubuhnya ke belakang, matanya yang besar melihat tepat ke arahku.
"Tunggu apa lagi? Ayo."
Kami berjalan berdampingan dan sesuai janjinya, ia menceritakan kepadaku tentang bagaimana ia tidak sengaja mendorong seorang gadis saat ia berlari ke toilet pada jam pulang sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life So Beautiful
Short Story(proses revisi) Menceritakan dua orang sahabat yang dekat sedari masa SMA, Dea dan Vina. Mereka memiliki karakter yang berbeda tetapi saling menerima. Juga, mempunyai latar belakang yang sama mendekatkan mereka. Kisah ini adalah kisah di mana rasa...