Suara musik mengalun pelan dari benda pipih di sampingku, menemaniku yang sedang menunggu Vina menyelesaikan mandinya sambil duduk di atas kasur. Aku sedang melihat ke luar jendela yang agak buram karena embun.
Kota malam ini basah karena rintik yang turun dari langit. Angin berhembus pelan menerbangkan dedaunan kecil di atas tanah yang sepi.
Di luar tampak dingin dan basah, berbeda dengan suasana di dalam kamar Vina yang dominan warna putih. Suhu di kamarnya hangat, kasur tidurnya lembut. Selimut yang seperti harum tubuhnya memeluk diriku, menjadikan ini perasaan paling nyaman yang pernah kurasakan.
Aku mendengar suara pintu sebelum suara itu disusul oleh Vina yang memanggilku. Ia berbicara, aku tidak memutar tubuhku ke arahnya, namun tetap melihat ke jendela.
"Lu belum mandi, 'kan? Biar gue siapin air panas di WC."
"Engga usah.. tadi aku udah mandi."
Aku membalikkan tubuh ke arahnya, dan aku tak bisa menahan mataku untuk tidak melebar saat melihat Vina.
Aku seolah lupa dengan cara bernafas saat melihat Vina yang hanya memakai tank top sehingga seluruh bahunya terpampang. Celana pendek yang tidak menutupi seluruh pahanya membuatku merasakan hal janggal dalam diriku. Ini bukan pertama kalinya.. aku melihat Vina sebelum ini, dan efek yang sama selalu kurasakan setiap kali ia menampilkan bentuk tubuhnya seperti ini.
Air dari rambutnya yang basah menetes dari pipinya dan ke bawah. Ke lehernya, kemudian berakhir di lekukan dadanya yang terpampang.
Saat aku menyadari ke mana arah pandanganku tertuju, wajahku memanas, dan aku langsung memaksakan pandanganku kembali ke wajahnya. Aku menelan ludah, dan aku bisa merasakan sesuatu yang mereka sebut 'kupu-kupu' di dalam perutku saat ini.
"Kamu gak dingin pakai baju.. setipis itu? Di luar hujan loh."
Ia melemparkan senyum smirk padaku, dan mengangkat kedua tangannya, menampilkan postur tubuhnya yang bugar. Ia berpose layaknya ia adalah manusia kuat.
"Takut dingin hanya untuk orang lemah," ucapnya sombong, dengan halus menyindirku yang notabenenya tidak tahan dingin.
"Cih. Belagu."
"Dah ah, makan dulu. Gue laper nih. Lu juga belum makan kan?"
Benar perkataannya bahwa aku belum makan apa pun sejak tadi. Namun aku sedang berada di posisi yang terlalu nyaman sehingga membuatku malas beranjak, dan aku menolak ajakannya. Dalam hati aku berharap ia ikut menemaniku, namun egois rasanya jika aku menahannya untuk menemaniku di sini dengan perutnya yang keroncongan.
Lagi pula, aneh bagi seorang Dea jika menahan sahabatnya hanya untuk kemauan dirinya. Seorang Dea tidak akan berani melakukan hal memalukan seperti itu.
"Thanks. Tapi aku di sini aja, Vin. Kamu aja makan gih."
Vina berkacak pinggang, melihat ke arahku dengan raut tidak setuju di wajahnya. "Anda mau sakit lambung?"
Aku belum sempat menjawab ia saat ia menarik paksa tanganku untuk berdiri dan keluar dari kamarnya. Aku mengikuti ia berjalan ke arah dapur.
"Aku beneran gak lapar loh, Vin."
"Udah.. temani gue aja. Tega lu ya, gak mau temani gue masak sekarang?"
Aku mungkin terlihat menghela nafas panjang, tampak malas dan terganggu saat ia memintaku untuk menemaninya. Namun ia tidak akan pernah melihat caraku menahan senyum di belakangnya.
Sesampainya di ruang dapur, Vina menyuruhku duduk sementara ia berjalan ke arah wastafel untuk mencuci tangannya, kemudian balik ke arahku.
"Gue yang bakal masak malam ini. Jadi lu duduk manis aja di sini, dan biarkan Vina Rorimpandey bekerja." Ia mengatakannya sambil menarik-narik kumis chefnya yang tidak nyata.
Aku mengeluarkan tawa kecil sembari meletakkan kedua siku pada meja, badanku condong ke arahnya.
"Buat aku terkesan," aku meniru smirk yang sama di wajahnya.
Ia menarik panjang 'Ohhh?'nya sambil berkacak pinggang. "Nantangin gue nih ceritanya?"
"Kalau iya kenapa?"
Aku dan Vina saling menatap satu sama lain. Pancaran mata kami penuh binar dan kehangatan. Smirk di wajah kami perlahan berubah menjadi senyum, lantas kami berdua tertawa. Suara tawa kami memenuhi ruang dapur, membisukan suara hujan dari luar.
"Apaan sih, Vin. Gak jelas banget."
Ia meletakkan dua gelas di atas meja dan mulai menghentikan tawanya sambil melihat ke arahku.
Pancaran ketulusan dapat kulihat dari mata besarnya yang menyipit, lesung di kedua pipinya menambahkan kesan manis di wajahnya. Efek yang ia berikan membuatku tidak mampu mengalihkan pandanganku darinya.
"Lu cantik deh, waktu lu tertawa. Beneran."
Kalimat itu keluar dari mulutnya, dan itu membuatku hampir tersedak liurku sendiri. Aku merasakan seluruh jariku membeku, sementara warna merah merayap dari leher.. ke wajahku.
Aku menutupi wajahku dengan tangan, dan tertawa. Rasa kaget, malu, dan gugup membuatku salah tingkah. Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain, manapun selain dari wajahnya. "Ngaco lu ah."
"Awww, Dea maluu."
"Ga usah sok tau deh, bocah. Masak cepetan."
Aku menyalak, mengetahui kalau ia tidak akan selesai dengan urusannya di dapur jika ia lanjut menggodaku.
Dengan sebuah tawa, ia berjalan ke arah kulkas untuk mengambil bahan-bahan. Beberapa saat berlalu, namun ia tidak kunjung menutup pintu kulkasnya dan malah tetap berdiri melihat isi kulkas tersebut.
Aku tidak tahu apa yang ia lihat sejak pandanganku terhalang pintu kulkas tersebut, namun aku dapat mengetahui bahwa ada yang tidak beres dengannya.
"Kamu ngapain lihat kulkas terus?"
"A-anu.. kulkas gue kosong," cicitnya, dan aku bisa melihat kepercayaan diri mulai melorot darinya.
Vina menutup kulkas, kemudian tersenyum malu kepadaku. "Gue masak mie aja deh."
Iya juga ya. Sejak kapan Vina pernah beres?
Aku mengeluarkan dengus tawa, "Terserah kamu lah, Vina pandey."
"Rorimpandey," ia mengkoreksi perkataanku.
Setelahnya, keheningan menyelimuti kami. Ia berkutat dengan masakannya, sedangkan aku menikmati keheningan yang ada dengan menonton ia yang tampak telaten dengan mie instannya. Suara rintik yang memukul atap menjadi latar belakang yang menemani kami.
Tidak lama kemudian, ia ikut duduk bersamaku dengan sebuah mangkuk mie di atas meja. Uap panas dari mie itu naik dan menyatu bersama udara yang dingin. Vina mengangkat mienya dengan ujung garpu, siap menyantap makan malamnya.
"Lu beneran gak lapar?" Ia bertanya kepadaku sebelum memasukkan garpu ke dalam mulutnya.
"Engga.. kamu makan aja."
Bohong. Perutku terasa melilit karena lapar saat ini. Harum gurih dari mie yang ia makan membuatku meneguk ludah, tanpa sadar melihat ia memasukkan makanan ke dalam mulutnya dan menelannya.
Vina yang terganggu dengan tatapanku berhenti. Ia berdehem dan memberikan tatapan main-mainnya kepadaku, seketika menyadarkanku.
"Lu yakin gak mau? Dilihat dari tatapan elu yang lapar banget ke gue, gue bakal salah paham kalau lagi gak makan mie saat ini."
Aku yang langsung mengerti maksud perkataannya mendelik tajam, menendang kakinya di bawah meja. Ia tertawa. Di dalam kepalaku, aku berusaha untuk tidak memikirkan gambaran dari yang ia ucapkan barusan.
"Bisa-bisanya mikirin itu lagi makan. Sinting"
"Ya abis lu lapar banget. Sini makan," paksanya, membuatku tidak punya pilihan lain selain menurutinya.
Vina mengarahkan garpu yang ia pakai ke mulutku dan aku menerima suapannya. Pemikiran berbagi liur dengan orang lain membuatku jijik, meski itu adalah dari kedua orang tuaku sendiri. Namun aku tidak memprotes sama sekali jika itu garpu bekas Vina.
Semangkuk mie itu dihabiskan oleh kami berdua. Ia mengatakan ke padaku kalau tidak baik langsung tidur setelah makan. Sebab itu, kami memutuskan untuk ke ruang tengah dan menonton acara TV kesukaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life So Beautiful
Short Story(proses revisi) Menceritakan dua orang sahabat yang dekat sedari masa SMA, Dea dan Vina. Mereka memiliki karakter yang berbeda tetapi saling menerima. Juga, mempunyai latar belakang yang sama mendekatkan mereka. Kisah ini adalah kisah di mana rasa...