Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, kami pun sampai di pekarangan rumah Vina. Hening terjadi di antara kami di sepanjang jalan. Aku tidak membuka mulut tentang kondisi rumahku dan Vina tidak bertanya apa pun. Meski begitu, aku tahu ia sudah mengetahuinya dari gelagatku.
Luka pada bibirku tidak kasat mata olehnya, sementara luka pada telapak tanganku tidak menghilang. Tapi aku yakin aku bisa menyembunyikannya dari Vina.
Vina membawa kendaraannya ke garasi, sementara ia menyerahkan kunci rumahnya padaku dan menyuruhku untuk masuk lebih dulu.
Pintu rumahnya terbuka setelah beberapa kali kunci kuputar di dalamnya, hal pertama yang menyambutku adalah gelap. Rumah Vina tidak jauh beda dengan rumahku; megah, lengkap, namun sepi dan gelap (di kasus Vina, ia benar-benar tinggal sendiri, sementara aku tinggal dengan kedua orang tuaku yang seolah tidak pernah ada).
Berbeda denganku, orang tua Vina adalah pasangan yang saling mencintai satu sama lain. Namun pernah ada suatu kejadian di mana mereka dituduh melakukan penggelapan dana di perusahaan mereka, tuduhan itu terbukti benar. Maka dari itu, orang tua Vina dipenjarakan dan Vina ditinggal sendirian. Tidak ada kerabat yang mau mengurus Vina.
Hanya ada seorang pembantu di rumah ini yang bermama kak Ari. Kak Ari adalah satu-satunya yang menemani Vina di rumah nan besar ini, namun kak Ari hanya bekerja setengah hari. Itu sebabnya Vina tinggal sendirian di malam hari.
Meski Vina tidak mengatakannya secara langsung, aku tahu ia selalu merindukan sosok orang tuanya. Vina sering mencemooh kedua orangtuanya, tentang mereka yang menggelapkan dana, namun aku menjadi satu-satunya yang dapat melihat perasaannya yang sebenarnya.
Di balik sikapnya yang ceria.. rasa sepi, hilang, dan kecewa yang ia rasakan seolah terhubung denganku. Aku dapat merasakan dirinya.
Pengalaman ini adalah yang menghubungkan kami berdua saat pertama kalinya; di taman sekolah, ia menumpahkan minumannya pada pakaianku.
Pada saat itu adalah jam istirahat sekolah.
Aku duduk di bangku taman dengan sebuah buku pelajaran di pangkuanku. Kepalaku tidak pernah terangkat seolah tidak ada yang bisa mengalihkan aku dari hal di dalamnya. Namun sampai aku mendengar sekelompok suara yang yang mendekatiku...
Aku mengangkat kepalaku untuk melihat sekelompok siswa berseragam SMA berlari ke arahku. Saat aku melihat perempuan yang berlari pada posisi paling depan di kelompok itu adalah saat di mana aku melihat Vina untuk pertama kalinya.
Cantik.. adalah kesan pertamaku untuknya.
Rambutnya yang berwarna alami coklat terhempas ke kiri dan ke kanan seiring ia berlari, teman-temannya mengejarnya di belakang.
Ribut adalah kesan yang menyusul setelah aku mendengar ia berteriak.
Vina berlari sambil tertawa lepas saat itu. Oh dan.. jangan lupakan botol minuman yang sudah hilang tutupnya di genggamannya.
"Stop ngejar gue! Capekhh tau gak!"
Vina berteriak dengan harapan teman-teman di belakangnya akan berhenti mengejarnya, namun teman-temannya memiliki ide lain. Mereka malah menggunakan keluhan Vina sebagai bahan bakar mereka untuk mengejarnya lebih cepat.
Seperti sekelompok monyet besar nakal yang mengejar seekor monyet kecil, itu adalah gambaran untuk Vina dan teman-temannya yang bertubuh kekar. Jika Vina tidak berhenti berlari sekarang, aku yakin isi dari botol yang digenggamnya akan tertumpah tidak lama lagi.
Aku memutuskan untuk melanjutkan niatan utamaku berada di taman, yaitu untuk belajar. Menit demi menit berlalu, namun aku kesulitan untuk fokus kepada isi dalam buku'ku sekarang, berkat keributan yang Vina dan teman-temannya buat saat itu.
'Ribut banget sih. Ganggu aja. Mending di kelas.'
Dengan pemikiran itu, aku berdiri dari tempatku dan langsung berjalan balik ke kelas. Namun belum sampai setengah perjalananku meninggalkan taman, cairan yang di genggaman Vina sebelumnya mendarat di tubuhku, membuat bercak coklat yang basah pada seragam putihku.
Aku sontak menoleh ke samping dan melihat Vina dengan tubuh yang condong ke depan, satu kaki terangkat sambil memegang minumannya. Postur Vina tampak persis seperti peringatan 'jangan berlarian' yang ada di lorong sekolah kami. Jika aku tidak sedang terkejut dan marah saat itu, aku mungkin akan tertawa karena postur tubuhnya yang terlihat sangat konyol.
Teman-teman Vina telah berhenti mengejarnya. Mereka hanya diam melihat Vina yang memalukan di belakang. Aku melihat mata Vina membulat saat kesadaran memukulnya. Ia langsung membenarkan posisi tubuhnya dan meminta maaf kepadaku.
Aku tidak memberikan respon apapun. Aku hanya diam dan langsung bergegas ke toilet untuk membersihkan diriku, meninggalkan Vina di tempatnya, merasa bersalah.
Cukup lama aku berada di dalam toilet saat aku melihat gadis yang membasahi seragamku masuk. Ia memiliki rasa bersalah tertulis pada wajahnya. Tangannya di bawah memegang sebuah kaus berwarna biru, warna favoritnya sampai saat ini.
"Hei," ia menyapaku saat itu. Suaranya terdengar lelah dan canggung. Kurasa ia mencariku kemana-mana sebelumnya.
"Gue ada bawa baju ini.. karena kamu basah.. kamu pakai ya. Baju ini bersih kok, ini punya gue. Gue benar-benar minta maaf banget soal kejadian tadi. Gue tadi dikejar dan.. gue gak lihat jalan. Jadinya malah.. elu yang kena.."
Ia berhenti sejenak dan aku bisa melihat dahinya mengkerut. Aku rasa ia belum puas dengan penjelasannya tadi dan sedang merangkai kata-kata lebih saat itu.
"Ah.. gue.. ah- intinya gue minta maaf deh. Tolong terima kaus ini!" Ia langsung mengulurkan kaosnya padaku.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali sebelum dengan ragu menerima kaosnya.
"Aku maafin kamu kok."
Dengan ucapan yang keluar dari mulutku, aku melihat wajahnya yang tegang berubah sedikit cerah. Ia menegakkan kepalanya, dan memberikan senyum yang menunjukkan bahwa ia masih kurang yakin pada jawabanku.
"Yang benar?"
Aku memberikan ia senyum untuk meyakinkannya. Aku masih mengingat hari itu adalah kali pertama aku tersenyum untuk orang lain setelah sekian lamanya.
"Iya. beneran kok."
Mulai saat itulah kami memulai hubungan pertemanan kami. Aku, Dea yang senang dengan kesendiriannya pada jam istirahat berubah menjadi Dea yang ingin selalu menemui gadis bernama Vina setiap hari.
Hanya Vina.
Aku dengan sendirinya tersenyum mengingat memori yang tertinggal jelas di dalam benakku.
Hal yang paling aku suka saat bersama Vina adalah saat mendengar suaranya. Suaranya yang khas, serta tawanya terdengar begitu ringan, seolah tanpa beban terkandung bagaikan musik yang memanjakan telinga untukku.
Namun seiring aku mengenalnya lebih jauh, di dalam hati kecilku, aku dapat merasakan sesuatu di dalam dirinya yang ceria. Sesuatu yang hilang dan hampa, sama sepertiku.
Suara di depan membangunkanku dari lamunanku. Vina menutup pintu dan berjalan ke arahku dengan senyum di wajahnya. Senyuman yang lembut dan manis, jenis senyuman favoritku dari bibirnya.
"Masuk aja ke kamar gue. Gue mau mandi dulu." Ia berjalan lebih dulu, membiarkanku mengekorinya dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life So Beautiful
Short Story(proses revisi) Menceritakan dua orang sahabat yang dekat sedari masa SMA, Dea dan Vina. Mereka memiliki karakter yang berbeda tetapi saling menerima. Juga, mempunyai latar belakang yang sama mendekatkan mereka. Kisah ini adalah kisah di mana rasa...