cemburu dan kemenangan

258 16 0
                                    

MasterChef merupakan acara TV favorit dari Vina, dan acara itu adalah yang sedang kami tonton pada layar TV di ruang tamunya.

Vina meresapi tontonan itu dengan serius sementara aku meresapi kehadirannya di sampingku.

Harum tubuh dan suara nafasnya membuatku tenang. Melihat wajah Vina yang tegang saat chef bertato bernama Juna itu mengkritik pedas kontestannya membuatku merasa gemas.

Ingin sekali rasanya aku mencubit ujung hidungnya yang tirus agar mengurangi kerutan pada dahinya yang menandakan ia sedang dalam fokus.

Vina sangat suka dengan hal-hal yang berkaitan dengan memasak, sementara aku adalah tipe gadis yang tidak tahu membedakan mana merica dan ketumbar. Bahan-bahan dapur yang hampir mirip membuatku bingung.

Aku sedang memikirkan tentang Vina saat tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas di kepalaku, dan itu menghancurkan konsenku. Wajah lelaki yang terlihat bersama Vina, serta mereka yang begitu akrab kemarin teringat olehku.

Melihat Vina begitu dekat dengannya tidak membuatku mengira kalau 'hanya teman' adalah kata yang cocok untuk mereka. Mereka tampak serasi dan aku tidak menyukai pemikiran Vina bersama lelaki itu. Pemikiran Vina bersama orang lain menggangguku.

Aku tanpa sadar menghela nafas memikirkan itu.

Melihat gerak-gerikku yang menunjukkan ketidaknyamanan membuat Vina menyadari perasaanku. Ia mengambil remote untuk mengecilkan suara di TV dan berbicara.

"Lu okay?"

Suaranya membuatku langsung melihat ke arahnya.

Meski aku tengah mencoba untuk menolak rasa kecewaku, aku tidak bisa menepis fakta bahwa aku berharap ia datang menjemputku saat itu. Jadi bukan lelaki itu yang berada di kerumunan bersamanya. Tapi aku.

Ada bagian dari diriku yang menolak untuk membuka suara dengan menjawabnya 'gapapa', namun rasa penasaran mengalahkan egoku saat ini. 

"Siapa cowo kemarin?" tanyaku langsung pada intinya.

"Hah?"nya tampak bingung. Ia mencondongkan tubuhnya padaku, tanpa kata menunjukkan seluruh perhatiannya padaku dan menyuruhku untuk lanjut berbicara.

"Kemarin.. waktu aku mau ke toilet aku lihat kerumunan di lorong." Suaraku terdengar ragu, namun aku mendorong diriku untuk lanjut. Aku bermain dengan jariku di bawah, mencoba untuk mengurangi rasa cemasku.

"Dan aku lihat kamu di sana sama cowo. Bukannya gimana, tapi kalian kayaknya akrab banget ya.."

Dengan kalimat yang keluar dari mulutku.. aku mungkin terlihat kepo, yang di mana itu sangat bukan seorang Dea yang biasanya. Namun persetan kali ini. Aku butuh kejelasan darinya.

Aku memberanikan diri untuk melihat langsung ke arahnya. Mataku memicing, serius menatapnya dan bertanya, "Dia siapa?"

"Oh, dia ya." Ia berdehem sebelum berbicara. Mungkin karena tatapanku membuatnya gugup. Suaranya terdengar mengecil dan ragu. "Jadi cowo kemarin itu.. Jeremy, kakel gue. Gue kenal dia dari DM gue beberapa hari ini."

Ia berkata sambil meraih ponsel disampingnya. Aku melihat Vina membuka sebuah aplikasi sementara ia lanjut berbicara.

"Kemarin dia tiba-tiba chat, kayak nanya kabar gue gitu loh. Terus kayak gue sibuk apa, dan ya.. basa-basi lah. Intinya dia mau kenalan sama gue."

Vina mengusap layar ponselnya, lantas menunjukkan profil lelaki itu padaku. Aku bisa mengatakan kalau lelaki itu tampan.

"Good-looking'kan?" tanya Vina seolah bisa membaca pikiranku.

"Engga lah. Biasa aja."

Mendengar nada yang keluar dari mulutku membuat Vina sedikit terkejut. Namun itu tidak menghentikannya untuk lanjut membicarakan kakak kelasnya yang menawan itu.

Aku tidak memperhatikan apa yang ia bicarakan tentang lelaki itu, namun melihat ia yang begitu antusias saat berbicara membuat dadaku semakin sesak dan panas. Seribu cara untuk membunuh pria laknat itu berputar dalam benakku saat ini. 

Aku ingin membuat Vina berhenti membicarakan lelaki itu namun hal itu tidak mungkin kulakukan.

Seorang Dea tidak akan menunjukkan kecemburuannya kepada siapapun, termasuk Vina.

"Asik sih orangnya. Dia juga suka main di jalan katanya. Gue ga tau ya, tapi gue rasa dia tertarik sama gue."

"Oh. Keren ya."

Aku berusaha terdengar se-antusias dirinya saat merespon namun kalimat singkat itulah yang keluar dari mulutku.

Menyadari nadaku yang ketus, aku langsung melembutkan suaraku dan bertanya inti dari pembicaraan ini padanya.

"Terus kamu tertarik sama dia?"

"Ya engga lah. Gue temani dia juga karena dia ngajak gue. Dia emang asik dan baik sih orangnya. Tapi dia bukan tipe gue."

"Ya orang dia lagi suka sama kamu. Ya pasti baik dong," ucapku dengan nada yang tidak kuduga terdengar sarkas, seperti penuh amarah. Ada apa dengan diriku?

Karena itu pula Vina melemparkan sebuah tatap padaku. Aku tidak hanya melihat ada tatapan aneh darinya padaku, namun aku juga melihat.. semburat kegembiraan pada tatapannya? 

"Lu cemburu ya?"

Aku mendelik, ujung jariku terasa membeku. Mataku melebar dan melihat ke arahnya yang tampak melawan senyum. "Ya engga lah, ngapain coba. Aku cuma penasaran,"

"Ya mana taau.. kalau gue jalan sama cowo, lu kan bakal jadi orang ketiga." Ia menunjukkan tatapan menggodanya padaku.

"Tapi lu tenang aja sih. Dea selalu yang pertama di hati ini," katanya sambil meletakkan tangan pada dadanya. Menambah efek dramatis pada ucapannya.

Andai ia tahu efek yang ia berikan padaku dengan kalimat yang keluar dari mulutnya. Pikiranku kosong seketika, mulut kelu tidak mampu mengeluarkan sepatah kata.

Ia mengedipkan sebelah matanya kepadaku, dan aku tidak ketinggalan melihat semburat merah yang tiba-tiba muncul di pipinya. 

Aku mengabaikan detail itu dan berhasil mengeluarkan tawa.

"Orang sinting."

. . .

Esoknya, aku berangkat ke sekolah diantar Vina.

Aku baru saja dari toilet dan sekarang dalam perjalanan balik ke kelas. Saat aku melewati lorong yang sama, aku melihat Vina di sana bersama lelaki yang kami bicarakan kemarin malam.

Mereka tidak bisa melihatku sejak posisi mereka memunggungiku saat ini.

Aku memelankan langkahku, lantas dengan senyap berjalan ke arah lokerku. Aku berpura-pura untuk melakukan sesuatu di sana sementara aku menguping pembicaraan mereka.

Suara mereka samar-samar, namun masih bisa terdengar olehku.

Jeremy mengangkat tangannya hendak memegang tangan Vina, namun Vina menggerakkan tangannya menghindar dari Jeremy. Jeremy yang menyadari itu langsung mengembalikan tangannya, senyum canggung ia berikan pada Vina. Jeremy mencoba untuk bersikap normal seperti biasanya.

"Jadi.. besok saya mau ngajak kamu, Vin. Saya mau ajak kamu buat nonton. Kamu bisa gak? Saya udah beli tiketnya nih."

Vina memberikan Jeremy senyum yang menyatakan 'maaf', dan itu membuat Jeremy tampak down seketika. "Sorry, Jem. Tapi gue mungkin ga bisa dekat-dekat lagi sama lu."

"Hah, kenapa? Kenapa tiba-tiba begini?" sergah Jeremy yang tidak menerima perkataan Vina.

"Gue ga bisa aja.. sorry." 

Dengan itu, Vina meninggalkan Jeremy. Jeremy hanya berdiri diam di sana, meratapi kepergian Vina, dan aku menutup pintu loker dengan rasa kemenangan dalam diriku.

Life So BeautifulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang