no more reasons

257 17 2
                                    

Ujian kenaikan kelas bukan menjadi satu-satunya hal yang membuatku lebih sering nginap di rumah Vina sekarang. Vina jatuh sakit sehingga aku manawarkan diri untuk merawatnya, yang di mana langsung disetujui olehnya hari itu.

Sudah sejak beberapa hari lalu aku menginap di rumah Vina dan tidak mendengar kabar orang tuaku. Tidak perlu menutupi, aku lebih nyaman berada di sini dengannya daripada di rumahku sendiri dengan mereka.

Aku sedang menyeduh teh untuk Vina saat ini. Aku menambahkan sedikit gula dan mengaduknya. Gelasnya berbunyi setiap ujung sendokku mengenai dinding porselen tersebut.

Aku meletakkan teh buatanku di atas meja belajar, sementara Vina mengambil sebuah tisu dan mendengus, mengeluarkan lendir-lendir yang menyumbat lubang hidungnya. Vina kemudian melihat penuh amarah pada kertas jawabannya, namun tubuhnya lemas.

"Duh. Salah lagi salah lagi!!"

"Masih belum ngerti?" tanyaku sambil mengambil tempat duduk di sampingnya.

Vina menghela nafasnya panjang, tanpa berkata apapun aku sudah bisa menduga bahwa jawabannya adalah 'belum'. Vina menjatuhkan pensil yang ia pegang sebelum menjatuhkan tubuhnya ke belakang. Rambutnya yang digerai berserakan di atas lantai. Vina tidur terlentang di lantai sementara aku hanya duduk memperhatikannya.

"Stress banget gue. Mana udah mau ujian, malah sakit gini. Ini lagi bahan ujiannya sejibun kayak gak bener aja. Susah-susah banget lagi. Sinting nih guru!"

Aku menahan tawa karena Vina tampak begitu lucu saat mengomel panjang lebar seperti itu, namun melihat matanya sedikit merah, rambutnya berantakan, serta kantung matanya yang menghitam seperti panda membuatku prihatin.

"Yaudah.. besok aja lanjut," usulku langsung membuatnya duduk dan menyusun bukunya.

"Gue kira lu gak akan nanya."

Setelahnya, aku membantu Vina untuk merapikan segalanya dan menyuruhnya agar kembali istirahat di kamarnya. Namun karena ini adalah hari jumat, hari di mana drama korea favoritnya tayang, ia meminta waktu untuk nonton terlebih dahulu.

Aku melarangnya dengan alasan kalau ia butuh istirahat.. Namun mengingat ia yang sudah stress karena rumus-rumus yang dihapalnya tadi membuatku kasihan dan akhirnya menyutujuinya. Vina tidak pernah serajin ini, seingatku. Jadi ia perlu dikasih penghargaan, pikirku.

. . .

Dengan persetujuanku, aku dan Vina akhirnya berada di ruang tengah saat ini. Vina duduk di sampingku, memperhatikan TV besar di depan kami yang menunjukkan drama favoritnya.

Pada layar itu terlihat seorang pria dan wanita yang saling berpelukan. Di atas ranjang yang mereka duduki, pencahayaan di kamar mereka minim. Sama seperti pencahayaan di ruang tamu saat ini.

Jarak di antara sejoli di TV itu begitu dekat dan mulai membuatku gugup. Menonton adegan romantis tidak segugup ini saat aku menontonnya sendirian. Ayolah, kalian pasti tau perasaan itu.

Sang pria mendekatkan wajahnya sambil menangkup pipi kekasihnya, ia menatapnya begitu tulus sebelum menempelkan bibir mereka. Ciuman mereka berlanjut ke adegan yang lebih 'panas' dan Vina tanpa malunya menonton adegan itu dengan wajah seriusnya.

Aku langsung mengalihkan pandangan ke arah lain dan meraih ponselku, berpura-pura kalau isi ponselku adalah hal yang lebih menarik perhatianku daripada adegan ciuman di depan kami sekarang.

"Lu pernah penasaran rasanya ciuman gimana?" tanya Vina tiba-tiba membuat perhatianku langsung tertuju padanya. Aku tidak langsung menoleh namun aku tahu tubuhnya sedang mengarah kepadaku saat ini.

Life So BeautifulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang