Bel sekolah yang berbunyi menandakan jam pembelajaran telah berakhir, dan memasuki jam istirahat. Para murid berhamburan keluar dari kelas mereka dengan liar, tapi masih ada juga yang tetap di dalam kelas mengobrol, bergurau ria.
Aku adalah gadis bersurai hitam yang sedang memasukkan bukunya ke dalam laci, berdiam diri, tak bergerak sedikitpun dari mejanya. Aku diam tetapi mataku terus melirik pintu kelas, sesekali juga melirik ke arah jam yang menunjukkan 10 menit telah berlalu. Itu membuatku heran.
Ke mana perginya Vina sehingga ia belum menemuiku sampai sekarang?
Biasanya, Vina selalu menemuiku saat jam istirahat. Kami selalu bersama. Kalaupun ia tidak bisa mampir, ia akan mengabari terlebih dahulu. Aku tidak menerima sepatah kabar apa pun darinya hari ini.
Menit demi menit berlalu, sementara itu aku mengeluarkan secarik kertas dan pensil, memenuhi kertas putih itu dengan corat-coretan.
Lalu, aku melihat ke arah jam lagi. Waktu yang ditunjukkan benda kecil itu 12:55. 5 menit lagi pelajaran selanjutnya akan dimulai.
Aku yang yakin Vina tidak akan mampir kali ini memutuskan untuk keluar dari kelas dan bergegas ke toilet sebelum gurunya masuk.
Keadaan di luar kelas riuh dan ramai. Sorak-sorai murid dari jauh terdengar liar sehingga menarik perhatian orang-orang yang berlalu lalang, termasuk aku.
Aku melihat ke lorong itu dan menemukan sekumpulan siswa sedang beradu kekuatan, murid-murid yang menjadi penonton mengelilingi mereka membentuk sebuah lingkaran, dan hal itu membuatku heran. Kenapa tidak ada pengawas yang menghentikan mereka?
Aku hanya membiarkan pertanyaan itu lewat di benakku sementara aku tetap berjalan ke depan, memilih untuk tidak menempelkan batang hidungku pada urusan mereka.
Sampai suara ringan yang sangat kukenal, serta tawanya yang merdu memasuki indra pendengaranku. Hal itu membuatku langsung menghentikan langkahku dan memutar kepala ke sumber suara itu tanpa berpikir panjang.
Di kerumunan itu aku melihat Vina, dan seorang lelaki tinggi berdiri di sampingnya.
Vina menoleh ke arah lelaki itu dengan wajah tertawanya, kemudian menunjuk-nunjuk ke arah siswa yang sedang baku hantam di depan mereka. Aku tidak dapat melihat wajah dari lelaki tersebut karena ia memunggungiku. Namun mereka tampak akrab dilihat dari cara mereka bergaul.
Jadi ini adalah penyebab ia tidak menemuiku tadi.
Vina yang tampak sedang bersorak ria tiba-tiba berhenti dan memutar kepalanya ke ke arahku. Untuk sepersekian detik mata kami bertemu, namun aku langsung mengalihkan pandangan dan melanjutkan langkahku.
Ia menyadari keberadaanku dan aku tetap berjalan seolah tidak pernah menyadari keberadaannya di kerumunan itu.
. . .
Jam berdetik di kamarku yang dingin menunjukkan pukul 6 petang. Aku sedang duduk diam di atas kasur, tubuhku meringkuk dengan kedua tangan memeluk kakiku.
Suara benda pecah yang disusul oleh suara bentakan ayah membuatku refleks melihat ke arah pintu di depanku. Tangisan bunda semakin jelas kudengar, membuat kecemasan semakin berkecamuk dalam diri.
"Terserah saya dong, mau bawa cewe atau apa. Kau harus ingat rumah yang sedang kau tempati ini milik siapa. Saya masih sangat baik mau menerima kalian di sini!"
Aku menancapkan kuku pada kedua tanganku, mengigit bibir bawahku kencang sehingga aku rasa akan berdarah tidak lama lagi, dengan harapan rasa sakit dapat mengalihkan perhatianku dari pertengkaran kedua orang tua'ku.
Namun semua itu nihil. Kedua mataku mendelik tetap terpaku menatap pintu, fokus tidak sedikitpun mampu kualihkan pada kejadian di luar sana yang dapat jelas kudengar.
Suara ayah bagaikan petir yang menyambar di langit; keras, kasar, dan tidak bersahabat. Sementara tangisan bunda seperti hujan, kian lama kian deras.
"Kau, maupun Dea, kalian tidak berhak mengatur hidup saya. Camkan itu."
Rasa darah dapat kuicip di mulutku saat aku melepaskan gigitan, sementara kepalaku menunduk, air mata mulai mengumpul di kelopak mataku.
Tiba-tiba Vina muncul di benakku dan ajakannya untuk menginap hari itu teringat olehku.. membuatku langsung meraih ponselku dan memutuskan untuk menghubunginya.
Bekas merah dari kuku tanganku tampak saat aku melepaskan cengkraman. Rasa perih itu tidak menghentikanku untuk mencari nama Vina. Kontaknya tidak sulit kutemukan sejak aku tidak banyak menyimpan nomor di ponselku.
Ponselku berdering beberapa kali sebelum aku mendengar suara Vina.
"Halo? Kenapa, Dea?"
"Vin, kamu bisa jemput aku gak sekarang? Aku nginap di tempat kamu malam ini."
"Oke, boleh. Tapi lu di sana baik-baik aja'kan?"
"Jemput aja, Vin."
"Sip. Gue ke sana sekarang. Tunggu ya," akhirnya, memutuskan untuk tidak lanjut bertanya.
Aku bergegas berdiri dari kasur dan langsung memasukkan barang-barangku ke dalam tas. Tidak lama setelahnya, aku mendapatkan pesan dari Vina yang mengatakan bahwa ia telah berada di depan rumahku.
Aku bergegas keluar dan hal pertama yang menyambutku saat aku membuka pintu adalah ayah berdiri di depan bunda yang sedang berlutut.
Aku tidak terkejut seolah sudah terbiasa dengan pemandangan itu. Ayah dan bunda menoleh ke arahku namun seolah mereka tembus pandang, aku tidak menghiraukan mereka dan terus berjalan ke arah pintu.
"Hey, mau kemana kau semalam ini!"
Suara ayah tidak membuatku menghentikan langkahku. Aku membuka pintu dan melangkah keluar dari rumahku.
"Ibu dan anak sama saja. Menyusahkan." adalah hal terakhir yang aku dengar sebelum aku merapatkan pintu rumahku.
Vina bersama motornya menunggu di depan rumahku, raut khawatir tampak jelas di wajahnya.
"Lu gapapa'kan?" tanya Vina sambil mengulurkan helmnya padaku.
Aku memakai pemberiannya, lantas naik dan duduk di belakangnya. "Gapapa kok. Kita jalan aja."
Dengan itu motor kami melesat. Dengan gemuruh dan angin yang bersiul menemani kami meninggalkan perkarangan rumah yang tak bisa kusebut rumahku.
. . .
KAMU SEDANG MEMBACA
Life So Beautiful
Short Story(proses revisi) Menceritakan dua orang sahabat yang dekat sedari masa SMA, Dea dan Vina. Mereka memiliki karakter yang berbeda tetapi saling menerima. Juga, mempunyai latar belakang yang sama mendekatkan mereka. Kisah ini adalah kisah di mana rasa...