Bab 18

1.1K 254 22
                                    

Rangkaian wisuda yang diikuti Nazmi selesai sebelum zuhur. Seluruh prosesinya hanya membutuhkan waktu satu setengah jam saja. Setelahnya, Aula Graha Bimasakti kembali senyap dalam waktu singkat. Tidak ada acara berswa foto di dalam gedung demi menghindari kerumunan. Para wisudawan dan keluarganya langsung berinisiatif mencari spot instagramable di sekitar kampus. Sedangkan Nazmi dan Langit sudah melakukannya kemarin di Studio Maureen Motret.

Dengan wajah semringah Nazmi menghampiri Langit yang menggendong Arkan. Senyumannya berubah cengiran saat Arkan tertawa lebar sembari mengayun-ayunkan kakinya. Apalagi tangannya juga dijulurkan. Nazmi menangkap isyaratnya. Dia tergesa mengeluarkan hand sanitizer dari saku toganya. Lalu memakainya dengan cermat sampai ke sela-sela jarinya sebelum meraih buah hatinya.

"Makasih. Kak Langit memang nggak perlu diragukan lagi. Bondingnya kuat banget dengan Arkan. Sepanjang acara tadi aku nggak dengar rengekannya."

"Oh, itu karena bonding umma dan papanya jauh lebih dahsyat," sahut Langit datar seraya mengangsurkan Arkan. Jangan lupakan ekspresi wajahnya yang juga datar.

Namun tidak bagi Nazmi. Kalimat langka Langit tetaplah berarti. Demi mendengarnya, hati Nazmi berdesir. Jantungnya dagdigdug lebih cepat. Mukanya mungkin sudah merona. Nazmi menutupinya dengan cepat-cepat meraih Arkan. Memasukkannya ke balik kerudung. Jilbab batik dan toganya didesain busui friedly. Dia tidak khawatir auratnya bakal tersingkap saat memberi ASI.

Langit siaga mengalungkan gendongan kaos ke leher Nazmi. Membenahinya hingga posisinya nyaman. Pertunjukan manis itu luput dari perhatian sekitar, tapi tidak untuk satu orang. Kai lagi-lagi berhasil mengabadikannya.

**

Langit berkendara santai. Lalu lintas hari Minggu tidak sepadat hari-hari efektif. Dia juga tidak perlu terburu-buru. Arkan ada bersama mereka. Malah bayi gembul itu sekarang terlelap dalam pelukan ibunya. Langit ingin menikmati momen ini sebaik mungkin.

Diliriknya Nazmi masih asyik dengan ponselnya. Jika tidak disela, dia bisa lupa dengan kesepakatan mereka. Tidak boleh ada ponsel saat berdua.

"Angkatanmu tadi banyak yang ikut wisuda?" Langit tidak banyak tahu teman-teman angkatan Nazmi selain Rully. Wanita di sampingnya ini tidak pernah bercerita tentang mereka. Di kamus Nazmi hanya ada Arkan, Arkan, dan Arkan. Sesekali masa lalunya, hobinya, road map bisnis Quinsha Syar'i, dan rencana S2-nya.

Tentangnya? Nazmi baru sebatas banyak bertanya. Kenapa memilih kewarganegaraan Belanda padahal lahirnya di Indonesia? Bagaimana kisah pertemuan dengan Kakek Wilhelm? Bagaimana Bibi Alexandra? Bagaimana almarhum papa mualaf? Bagaimana almarhum mama bertemu papa?

Langit akan dengan senang hati menceritakannya pada Nazmi. Kisah yang hampir tidak pernah dibagikannya pada orang lain, meski itu Luna. Bersama Nazmi, dia menemukan hakikat pulang. Istrinya ini walaupun masih sangat muda, pengalaman hidup dan kekuatan pemahaman agamanya membuatnya dewasa dan bijak. Langit sangat nyaman bersama Nazmi.

"Lumayan, Kak," jawab Nazmi setelah terjeda beberapa saat. Chatting dengan mamanya telah usai, Nazmi memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Yang sudah yudisium, tapi tidak ikut wisuda ada lima orang termasuk Rully. Kalau murni karena belum lulus ada dua."

Langit sudah mengetahui alasan Rully tidak ikut wisuda. Kakak ipar Nazmi itu hiperemesis. Kemarin mereka sempat menjenguknya di Rumah Sakit Asy Syifa. Kondisinya sangat lemah.

"Yang dua kenapa belum lulus? Padahal kan selama pandemi bisa lebih leluasa mengerjakan skripsi."

"Yang satu sering bolos sejak semester satu. Ada banyak matkul-nya yang D pastinya. Yang satu nikah dan punya anak. Skripsinya ga selesai."

"Kamu punya bayi tapi masih bisa lulus tepat waktu."

Nazmi sedikit berpikir dan membandingkan. "Oh. Sudah mendarah daging kalau aku selalu ingin jadi yang terbaik, Kak. Aku tidak suka mendapat nilai B dan C. Makanya ketika terjebak di Kangean yang sinyalnya putus nyambung, aku agak stress. Pinginnya cepat-cepat pulang ke Jakarta. Aku malah pernah marah-marah nggak jelas pada salah satu dosen. Itu karena dia nggak mau ngerti kondisi mahasiswanya yang susah sinyal."

"Yang dosennya itu kemudian nikahin kamu kan?" tebak Langit penuh canda.

"Eh, bukan, bukan dia. Ada lagi dosen lain. Ibu-ibu yang ngajar."

"Oh, bukan Rafly ya? Aku berharapnya sih dia. Trus cerita kalian kaya di novel-novel yang sering dibaca Luna itu." Langit melanjutkan pancingannya. Kisah Nazmi dan Rafly masih misteri baginya. Membuatnya penasaran. Sepertinya unik.

Langit menanti jawaban Nazmi. Ditolehnya, Arkan menggeliat mencari ASI. Nazmi memasukkannya ke dalam kerudung. Lirih didengarnya doa akan makan dan minum.

"Bukanlah, Kak. Cerita kami itu biasa saja. Cerita sederhana. Kalau dijadikan novel palingan yang baca sedikit." Nazmi terkekeh pelan. Tangannya menepuk-nepuk punggung Arkan.

"Ehm, ini kok jadi ngelantur sih, Kak. Kembali ke topik ya. Jadi begitulah, aku awalnya selalu ingin menjadi yang terbaik dan semua itu terasa mudah di Jakarta. Tapi berbulan-bulan terkunci di Kangean, aku disadarkan satu hal. Satu hal yang sebenarnya konsepnya sudah dihafal luar kepala. Di mana pun, kapan pun, apa pun yang terjadi, ikhtiar kita tetap harus yang terbaik, perkara hasil itu sudah bukan urusan kita lagi. Sejak itu, aku nggak ngebet lagi ingin jadi yang terbaik dalam akademik."

"Apalagi setelah ditinggal Mas Akbar dalam kondisi hamil. Lalu Arkan lahir. Setelahnya kita menikah. Itu sesuatu banget, Kak. Aku mulai menurunkan target. IPK tidak lagi harus 3,5 - 4,0, tapi 3,0 ke atas. Fokusku berubah pada Arkan. Tidak lagi pada lulus cum laude."

"Masyaa Allah, Bunda Teladan." Langit memuji tanpa berlebihan. Memiliki bayi dengan perhatian penuh namun tetap fokus belajar itu tidak mudah. Selama ini, Langit hanya mendengar saja cerita Nazmi tentang malam-malamnya menemani Arkan hingga tertidur lagi. Kadang Langit mendengar tangisan Arkan, tapi matanya tidak bisa diajak kompromi. Hanya satu dua kali saja dia terbangun menggantikan Nazmi.

"Ada Ayah teladan juga," puji Nazmi jujur juga.

"Nyindir? Ayah telatan kali ya?" tanya Langit tak merasa menjadi ayah teladan.

"Nggak, sih, Kak." Nazmi sontak tertawa, "Itu jujurly."

Lampu merah terakhir –sebelum berbelok ke Kompleks Mutiara Kemang— memberi kesempatan Langit membaca raut wajah wanita yang dicintainya. Tidak ada kepura-puraan. Nazmi tulus. Alhamdulillah. Kejadian sebelum sidang skripsi bulan lalu, sungguh menjadi pembelajaran bagi Langit. Malam harinya mereka mengobrol dari hati ke hati, saling menurunkan ego masing-masing, lalu membuat beberapa kesepakatan. Walau bagaimana pun, chemistry itu harus dibangun.

Perlahan rumah tangga mereka mulai normal. Tepatnya, dirinya yang mulai normal. Kalau Nazmi, sejak awal sudah berusaha menjalankan perannya. Hanya saja Langit tidak segera menyambutnya.

"Eh, dah nyampe aja di rumah Eyang," ucap Nazmi seolah enggan mengakhiri kebersamaan mereka, "Kak, boleh nggak nanti kita nggak usah makan di rumah eyang? Kita makan di luar. Arkan kita titipkan saja ke bunda atau mommy." Nazmi

"Ya, itu acara tasyakuran kamu, LilStar. Masa ga makan. Makanlah dikit."

"Oke deh, tapi setelahnya kita ke Pondok Nusantara ya? Ada menu spesial di sana. Pemiliknya konon asli Kangean."

"Apa sih yang nggak buat kamu."

Nazmi tertawa ditahan.

"Bener ya? Kucatat dengan font bold dan highlight, ini, Kak."

"Siapa takut, Naz." 

Bintang di Langit CasablancaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang