Bab 21

1.1K 275 26
                                    

Di tengah lautan kala malam, bentang langit terlihat makin sempurna. Nazmi sengaja keluar ke dek terbuka. Langit malam ini dengan bulan sepotong dan taburan bintangnya yang berkilauan ... Nazmi merindukannya. Sangat.

Dia membawa Arkan yang bersiap tidur. Bayi gembul itu berselimut tebal.

"Mas Arkan, sebentar lagi kita ketemu nenek. Itu pantainya dah keliatan. Tapi perahu-perahu nelayannya ga banyak karena mereka sekarang melaut. Besok pagi insyaa Allah banyak perahu di sebelah pondok. Tidak jauh dari rumah kan pelelangan ikan. Kita lihat bareng ya." Nazmi membenahi selimut putranya.

"Tapi sebelum liat ikan, kita ke makam ayah dan kakek dulu," bibir Nazmi bergetar saat mengucapkannya, "Mereka orang-orang hebat dan alim yang telah Allah panggil duluan. Dalam tubuh Mas Arkan, mengalir darah keduanya."

"Oya, yang ngasih nama Mas Arkan itu ayah, lho. Jauh sebelum Mas lahir, ayah dah nyiapkan nama. Arkan Sayf Akbar. Arkan itu jamaknya rukun. Kata almarhum ayah bisa diartikan sebagai pilar juga. Kalau sayf itu pedang. Kalau Akbar, itu nama belakang ayah. Jadi, di nama Mas Arkan itu tersemat harapan, kelak Mas Arkan menjadi pilar agama dan yang membela kemuliaan Islam dari orang-orang yang hendak memadamkan cahaya Allah. Kata ayah, Mas Arkan ga usah gentar. Pesan Umma juga sama karena ada jaminan surga Allah bagi mereka yang menolong agamanya. Sedangkan bagi mereka yang jahat itu, seberapa pun keras usahanya, tidak akan pernah bisa memadamkan cahaya Allah."

Nazmi melantunkan Surat Ash Shaff dengan lirih. Air matanya menuruni pipi. Itu surat yang paling sering dibaca almarhum Akbar ketika salat tahajud berjamaah.

"Ehhem."

Nazmi hafal suara dehaman yang didengarnya. Itu suara abangnya, Farhan. Saat bayi, Farhan berbagi ASI dengan Nazmi. Mereka berdua seperti kembar tapi beda ayah dan ibu.

"Yang lain mana, Bang?"

"Biasalah. Tiga bocah itu lagi ngedit video. Kak Langit lagi nyiapkan tas-tas yang mau dibawa turun."

Daratan makin dekat. Kapal ini akan melempar sauhnya dan merapat di dermaga. Farhan berdiri di samping Nazmi.

"Naz, selesaikan semua masa lalumu di sini. Meski aku tahu itu ga gampang. Meski aku sendiri ga tahu rasanya ditinggal seseorang yang kucintai pas lagi sayang-sayangnya. Pasti itu sangat sulit, tapi bukan berarti tidak mungkin," ucap Farhan dengan suara rendah tapi tegas.

Nazmi menggigit bibir bawahnya. Dia menanti lanjutan kalimat kakaknya.

"Aku ga suka seharian ini kamu ngilang ga ngurusin Arkan, apalagi Kak Langit. Ga guna terperangkap di masa lalu. Simpan semua kenanganmu dengan Bang Rafly. Semua sudah berakhir. Ada Kak Langit yang selalu ada buat kamu. Namanya memang Langit, tapi Kak Langit tetap manusia yang keluasan hatinya terbatas."

Mendengarnya, Hati Nazmi tertohok.

"Abang ga tahu kehidupan rumah tangga aku! Abang ga tahu beratnya hari-hari yang kulalui dengan bayi tanpa ayah kandungnya. Abang ga tahu semua itu. Abang hanya melihat hari ini," timpal Nazmi setengah berbisik, "Aku menikah cepat begini karena aku ingin lepas dari bayang-bayangnya. Jadi, jangan menghakimi hanya dengan melihat hari ini saja, Bang."

Farhan merengkuh Nazmi dari samping. Hanya kepalanya   dalam pelukannya, "Sorry. Aku bukan Bang Iqbal yang rasa sayangnya tumpah ruah buat kamu, yang mengiyakan semua keinginan kamu, dan sama sekali ga bisa liat kamu nangis dan sedih. Aku harus katakan ini karena aku tidak mau kamu terus egois dan berpikir dari satu sudut saja. Apa kamu memikirkan perasaan Kak Langit, Naz?"

"Dia tidak marah, kok. Dia memaklumi. Dia selalu bilang, take your time, Naz."

"Nanaz," Bang Farhan menyahut gemas, "Kak Langit itu pengusaha yang terbiasa bekerja dalam tenggat waktu. Tahu kan? Nah, dia ga mungkin ngasi kamu deadline karena ini soal hati. Seharusnya kamu yang sadar diri. Kamu yang harus bikin DL karena kamu yang punya masalah dengan masa lalu."

Bintang di Langit CasablancaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang