Bab 24

2.7K 279 58
                                    

"Bun, ini nggak biasanya Arkan rewel. Mau bobo aja masih nangis dulu. Pas bobo nggak lelap kaya biasanya. Sebentar-sebentar terbangun," adu Nazmi pada ibunya dengan suara lirih, "ini sudah satu jam nggak mau ditaruh di kasurnya."

Pundak kanan Nazmi rasanya panas dan sakit. Betisnya juga pegal mondar-mandir mengitari kamar, pindah ke ruang perpustakaan, dan sekarang dia ada di dapur.  Dia butuh asupan gizi tambahan. Segelas susu, roti gandum, dan setangkai anggur merah sepertinya cukup. 

Mata Arkan terpejam, tapi kalau ASI-nya dilepas, beberapa saat kemudian terbangun. Bersyukur Nazmi selalu ingat bahwa ini medan amal seorang ibu. Teori-teori tentang pentingnya peran ibu sudah habis dilahapnya sebelum menikah. Jika awal-awal pernikahannya dengan Langit, Nazmi agak semena-mena membiarkannya menidurkan Arkan, tak lain agar Langit cepat-cepat beradaptasi dengan peran barunya.  Hehe...

"ASI-nya cukup kan? Perutnya nggak kembung? Badannya nggak anget?" Suara ibunya memecah ingatannya pada masa awal pernikahan.

"ASI-nya cukup, Bun, insyaa Allah. Perutnya ga kembung dan Arkan sehat." Nazmi membawa nampan berisi asupan gizinya ke ruang tengah. Dia duduk di sofa panjang. Lengan kirinya ditumpukan pada bantal untuk mengurangi pegal. Menggendong Arkan yang bobotnya sudah tujuh setengah kilo dalam waktu lama ya... lumayan juga. Masyaa Allah. 

"Biang keringat? Digigit nyamuk? Coba periksa, Naz."

"Nggak ada, Bun," ucap Nazmi sangat meyakinkan. Apa-apa yang disebut ibunya tidak ada di tubuh Arkan. 

Nazmi menyeruput susu almond di gelasnya. Setelah tiga kali tegukan, dia meletakkannya di meja. Setangkup roti diambilnya.

"Ini papanya tau nggak?"

"Papanya keluar kota, Bun, sudah tiga hari ini. Ada sedikit urusan di kantor cabang Rahadi Group Medan." Nazmi mulai mengunyah rotinya.

"Kalian cuma berdua di rumah?" Nada suara Quinsha berubah khawatir.

"Nggak. Di rumah kan ada Bi Jum sama Pak Kasman," jawab Nazmi menghalau resah ibunya. 

"Itu sama saja berdua. Bunda sama ayah ke sana ya?"

Bi Jum dan Pak Kasman punya area tersendiri yang 'terpisah' dari ruang-ruang yang ditempatinya. Ini bukan bermaksud membedakan status sosial, tapi demi menjaga privasi masing-masing keluarga. Karena walau bagaimanapun, rumah adalah wilayatul khos, tempat hidup perempuan bersama mahramnya.  Perempuan bebas mengenakan pakaian rumahan kecuali ada lelaki non mahram di sana. Selama Langit bekerja dari rumah, Bi Jum selalu menutup aurat setiap membantu Nazmi di  dapur.  

"Nggak usah, Bun. Ntar lagi ada Bang Farhan. Dia masih otewe dari kantor." 

Farhan dipilih Langit untuk menemani Nazmi karena Arkan cukup lengket dengan omnya itu. Sebagai bayi yang lahir ketika pandemi, Arkan tidak mudah akrab dengan orang lain.

"Oh, Farhan nginap di sana. Syukurlah," sahut Quinsha pada akhirnya.

Nazmi memetik anggur lalu menggigitnya separuh. 

"Itu Arkan kangen papanya, Naz. Dia tambah rewel karena kamu juga stress ditinggal Langit."

"Ih, mana ada aku stress ditinggal Kak El, Bun."

"Mana ada orang stress ngaku," sindir Quinsha diiringi tawa kecil. 

"Beneran, Bun. Aku biasa aja nggak ada Kak El, tapi bonding Arkan sama papanya memang kuat banget."

"Biasa kangen kan?" goda Quinsha.

Nazmi nyaris tersedak susu almond. Setelah berdeham, dia menjawab candaan ibunya dengan tawa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 27, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bintang di Langit CasablancaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang