Bab 07

1.2K 250 29
                                    

Pada akhirnya Nazmi tetap ditinggal pergi ke Kangean. Kabar dari Gus Akbar, kondisi fisik Abah Burhan belum membaik: masih lemas, aritmia, dan sesak napas hingga dibantu nasal kanula oksigen. Tekanan darahnya pun tetap tinggi, 180/100 mmHg. Sudah diupayakan agar bisa normal, tetapi sudah lima hari tidak juga berhasil. Nazmi hanya bisa memandangi foto yang diambil diam-diam oleh suaminya. Wajah ulama karismatik itu tampak pucat. Di sisinya Ummik Abidah setia menemani. Di tangannya terbuka mushaf kecil.

Dalam keadaan seperti itu, seharusnya tidak terbersit sedikit pun di benak Nazmi skenario perjodohan suaminya dengan Husna Annisa. Namun entahlah, bayang-bayang itu terus menghantui. Aura kecantikan kembang pesantren Manbaul Ulum itu berbeda. Senyumnya mahal. Apalagi tawanya. Selama bersama di Kangean, belum sekali pun Nazmi mendengarnya terbahak-bahak hatta di depannya ada cerita paling lucu.

Keilmuannya jangan ditanya. Bahasa Arabnya fasih. Kitab-kitab tanpa harakat bisa dibacanya lancar dan diterjemahkan dengan sempurna. Dia pun bisa mengulas isi kitab dengan ringkas dalam bahasa sehari-hari. Para santri menyukainya. Ketiga istri Abah Burhan menyayanginya. Kadang Nazmi cemburu padanya. Husna Annisa belum resmi menjadi menantu, tetapi atensi keluarga besar pesantren begitu membuncah padanya.

Kepiawaiannya di dapur bisa diadu dengan kepiawaian chef. Kemampuannya mengoordinasi santri. Gerak-geriknya tangkas. Sekejap di kelas, sekejap di laboratorium bahasa, sebentar lagi di asrama putri. Hidup Husna Annisa betul-betul diabdikan untuk pesantren, untuk santri, dan kemajuan Islam. Berada di dekatnya, Nazmi serasa langit dan bumi.

Mengingat Abah Burhan yang sakit keras, Husna Annisa si calon terpilih pendamping pemangku pesantren, dan Rafly Akbar Ramadhan, suaminya, membuat Nazmi malas makan dan beraktivitas. Kerjanya hanya menanti kabar dari Kangean. Ponsel selalu ada disandingnya. Kelakuannya membuat Iqbal cemas.

"Naz, makan, gih. Kamu pucat. Sama pucatnya kaya Kyai Burhan."

Nazmi bergeming di sofa. Dia serius menatap layar ponselnya.

"Kalau kamu sakit, bisa-bisa aku kena marah Abang, Naz," pinta Iqbal lagi, "kusuapi ya?"

"Nggak usah, Bang."

"Ayolah, Naz. Sesendok sajalah. Semalam kulihat kamu juga nggak makan. Tuh, nasi dan lauknya masih lengkap."

Iqbal duduk tepat di hadapan Nazmi. Ditatapnya penuh sayang adik sesusuannya itu.

"Yuk, makan, yuk. Ayolah jangan merajuk. Aku nggak tenang ninggalin kamu ke kafe kalau kamu lemes gini." Iqbal meraih sepiring nasi goreng yang telah disiapkannya untuk Nazmi, "Yuk, aak." Iqbal memberi aba-aba agar Nazmi membuka mulut.

Nazmi patuh. Akan tetapi belum lama nasi itu ditelannya, dia berlari ke kamar mandi dan memuntahkannya. Iqbal buru-buru meletakkan piring dan menyusul.

"Apa kubilang, kamu itu sakit. Pasti ini masuk angin karena semalam nggak makan." Iqbal berinisiatif memijat tengkuk Nazmi. Adiknya itu semakin memuntahkan isi lambungnya.

Iqbal menyiram bekas muntahan Nazmi lalu membopongnya ke luar. Nazmi yang kehabisan tenaga, begitu tubuhnya menyentuh lengan Iqbal langsung terkulai dan tidak ingat apa-apa lagi.

Tatkala tersadar, Nazmi telah terbaring di salah satu bed pasien di Asy Syifa Medical Center. Ada kedua orang tuanya mendampingi.

"Alhamdulillah kamu sudah sadar. Dan barakallah, Nak. Hasil tes darahmu sudah keluar dan di sini ada calon cucu Bunda. USianya 6 minggu," ucap Quinsha sembari mengusap perut datar sulungnya.

"Masyaa Allah. Benar begitu, Bunda?" Ada binar bahagia di wajahnya yang berangsur memerah.

Ibundanya hanya tersenyum. Jawaban itu sudah cukup bagi Nazmi.

Bintang di Langit CasablancaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang