Bab 14

1.2K 276 19
                                    

"Hidupkan videonya, Yok."

Langit berucap tenang pada Wiyoko. Dia tahu Wiyoko hanya ingin menggodanya saat video conference yang sudah dimulai lima menit yang lalu tak kunjung diaktifkan videonya oleh Wiyoko.

"Bentar, Bang, pemandangan di layar laptopku ini langka. Ada Bos yang selalu berekspresi datar sekarang terlihat menarik senyum."

Senyum? Apa barusan Langit tersenyum?

"Ck, jangan beralasan. Kamu masih pakai boxer kan? Tutup auratnya."

"Kok, Bang Langit tahu, sih." Wiyoko tak lama menyalakan video. "Ga seru, padahal tadi pas kututup videonya Abang terlihat cerah. Aura jatuh cintanya menguar."

Senyum geli langsung tampak di layar begitu Wiyoko mengaktifkan video. Langit tak begitu menanggapi. Ada yang lebih menyita perhatiannya.

"Sudah jangan menggombal. Gimana temuanmu mengenai kapal yang sandar di Singapura. Benar ada kebocoran?"

"Perwakilan kita di pulau Batam sudah mengecek, Bang. Kata pihak forwardernya, iya rusak."

"Ini sudah kejadian ke-2 di bulan ini."

"Apa perlu saya periksa perusahaan forwardernya?"

Langit berpikir sesaat. "Kita sudah lama kerja sama dengan mereka, kan."

"Emh ... Lima tahunan lah, Bang."

"Aneh, kalau berturut-turut seperti ini. Perusahaan ini menginduk ke Aeromaritim Sea Forwarding Jakarta, kan?"

"Iya, Bang."

"Untuk sementara yang bisa kita lakukan memastikan barang milik IRDS berlabuh dengan aman. Kalau perlu disimpan di gudang carikan gudang yang memenuhi standar penyimpanan untuk kopi dan palanya juga."

"Siap, Bang."

Langit jadi teringat percakapannya bersama Nazmi tentang kemungkinan sabotase. Apa iya ada sabotase? Tapi zaman sekarang saat manusia lebih mendahulukan hawa nafsu ketimbang rasa takut pada Allah, tentu kecurangan mungkin saja terjadi. Terlebih dukungan sistem yang memang menghalalkan segala cara demi meraup pundi-pundi Dollar ataupun Euro. Sabotase sangat mungkin terjadi.

Namun Langit berulang kali meraba ingatannya apa ada muamalahnya yang melanggar hak orang lain dan menjadi penyebab sakit hati. Namun berulang kali Langit mencoba mengingat-ingat hasilnya nihil. Sependek ingatannya muamalah bisnisnya tak ada masalah. Semuanya dilakukan secara profesional.

"Yok, coba kamu ingat-ingat apa ada cara-cara kita yang memotong prosedur yang seharusnya dan merugikan orang lain?"

"Ada, sih, Bang. Waktu itu kita sedang merambah pasar di Eropa Utara. Ada oknum yang meminta gratifikasi."

Langit serius menatap layar laptop. Keningnya berkerut mencoba mengingat. "Ya, itu kejadian empat tahun lalu, bukan?"

"Ya, Bang, dan Abang langsung menolak mentah-mentah, kan?"

Langit menyugar rambutnya. Buntu, dia tidak terpikir apa pun. Kemungkinan kalau ini sabotase pun sepertinya mustahil. Peristiwa itu sudah lama berlalu. Bisnisnya di negara-negara Eropa Utara juga baik-baik saja sampai hari ini.

"Tapi, Bang, saya baru teringat. Lima hari lalu saya sempat satu penerbangan sama Zach dari Schipol-Soetta."

"Zach?"

"Iya, Zach yang itu. Yang dia pamannya Bella."

"Waktu itu kami tidak berpapasan, aku hanya melihat dari belakang."

"Dan besoknya kami sempat papasan satu lift di Gedung Mahardika."

Langit mencoba mengurai keterangan Wiyoko. Untuk apa Zach ke Indonesia. Sepengetahuan Langit, Zach tidak punya bisnis di negara ini. Apalagi musin pandemi begini, sangat rentan membuka usaha baru, kecuali melanjutkan yang sudah ada. Namun, Langit tak ada cukup bukti untuk menuduh Zach berada di balik semua ini.
Ah, Langit buntu lagi.

Bintang di Langit CasablancaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang