drei

3.4K 362 47
                                    

"Oi!" Boruto dan kawannya yang sedang asik bersenda gurau sebelum pelajaran dimulai dikejutkan dengan sapaan dari murid yang selama ini terkenal dengan kediamannya.

Bukan hanya mereka, hampir seluruh murid yang ada di kelas saat itu menengok penasaran dengan asal suara.

Pasalnya, Kawaki tidak pernah terlihat tertarik berinteraksi sebelumnya. Siapapun yang mengajaknya berbicara, hanya akan mendapat tatapan mengancam dari garis mata yang menukik seperti elang.

Boruto menunggu kalimat lanjutan yang hendak dilontarkan sang penyapa, "Mulai hari ini aku akan duduk di sebelahmu."

Pernyataan mutlak itu membisukan seluruh lisan di sekitar, Mitsuki yang merupakan teman sebangku Boruto pun hanya tenang menunggu jawaban Boruto. Toh, dia bisa duduk dimana saja dengan otak encernya.

Senyuman lebar Boruto tampilkan sebagai jawaban atas persetujuan yang ditawarkan. Kawaki pun menaruh tas gendong hitam yang isinya nyaris kosong sebagai formalitas.

"Aku sudah menduga, itulah kelemahanmu." Remaja bertato IX itu membuka percakapan setelah seluruh kawan Boruto kembali ke tempat saat guru datang.

Boruto hanya melirik sinis sebagai jawaban. "Kelemahanmu adalah, kehausan untuk mendapat predikat pangeran baik hati yang gemar menolong, benar?"

Remaja pirang yang diajak bicara itu masih terdiam menatap tajam, "Sebegitunya kau ingin menjadi seperti ayahmu? Hanya untuk mendapat fakta bahwa karakter yang kau buat itu palsu. Beruntungnya aku dapat melihat kepalsuanmu, sangat berbeda dengan ketulusan yang ayahmu miliki itu. Tapi jangan khawatir, kau terlihat sangat pantas dengan sayap malaikat palsumu sehingga tidak ada yang menyadari kebusukanmu pada dunia."

"Aku tidak peduli permainan apa yang kau rencanakan, tapi jika kau sampai berani menyentuh ayahku, kau pasti tidak akan menang dalam permainan ini." Itu dia, pandangan kebencian yang selalu Boruto sembunyikan dari dunia.

Tawa meremehkan terdengar dari bibir tipis Kawaki. "Kita lihat saja, siapa yang mampu mendapatkan pria tua itu."

Tangan Boruto mengepal hingga membuat bolpoin kaca yang ia gunakan patah melukai telapak tangan kanannya.

"Kau terluka, Boruto? Mari aku antar ke UKS!" Sumire, sang ketua kelas yang berada di sisi kanan panik melihat darah mengalir dari lengan Boruto.

Boruto menolak tawaran Sumire halus kemudian segera meminta izin Shino—gurunya untuk menuju ruang kesehatan sekolah.

Kawaki tersenyum puas, taktik pertamanya untuk menyulut emosi Boruto berjalan sangat lancar. Ia tahu kebiasaan bocah itu ketika sesuatu tidak berjalan sesuai perkiraannya.

'Dunia damai yang kau ciptakan agar tetap bersama ayah kesayanganmu itu akan kuhancurkan, Boruto. Karena memang hanya aku iblis yang mampu menyaingi keiblisanmu.'

Tangannya bergerak pelan membuka ransel hitam bergaris merah muda ketika seluruh atensi kelas mengarah pada Shino-sensei yang sedang mengajar.

Ia mengambil ponsel Boruto yang menampilkan angka tanda password yang melindungi privasinya. Dengan mudah, Kawaki membuka pengaman murahan itu kemudian mengecek seluruh informasi yang terdapat di ponsel itu.

Nomor Naruto berhasil Kawaki dapatkan, ia pun mampu dengan mudah mengirim seluruh foto Naruto yang tersimpan rapi di galeri anaknya itu. Perhatiannya tertuju pada aplikasi berlambang gembok dengan latar biru langit.

Setelah melakukan beberapa langkah peretasan, Kawaki menemukan data menarik yang terdapat pada aplikasi itu. Foto Naruto tanpa busana, video Naruto bersetubuh dengan istrinya, juga informasi privat tidak senonoh yang tertulis pada memo yang ada. Senyumnya mengembang melihat data tak terduga yang begitu mudah ia dapatkan.

"Kena kau, sialan."

.
.
.

Semakin hari, Kawaki semakin mengakrabkan diri dengan kawanan Boruto. Ia kini terlihat supel dan lebih mudah didekati.

Mengenai kecerdasan tidak perlu ditanyakan, kelakuannya yang berandalan tidak merubah kenyataan jika dia berada pada peringkat dua dibawah Boruto.

"Ternyata kau orang yang menarik, ya! Jika saja sedari dulu kau seperti ini, aku yakin kau akan sama populernya seperti Boruto!" Remaja berambut nanas itu pun menyampaikan pendapat.

"Aku hanya baru menyadari tujuan hidupku sekarang, sayangnya untuk mencapainya ternyata sulit sekali. Aku harus berhadapan dengan seorang musuh yang sulit kukalahkan."

"Tenang saja, Kawaki! Kau tampan, cerdas, bahkan ketika kau bersikap dingin kau tetap terlihat keren kau tahu? Ah, aku iri sekali padamu, kau bahkan terkenal di kalangan wanita tanpa usaha. Apalagi sekarang kau menjadi semakin hangat, mungkin Boruto fans club akan berubah menjadi Kawaki fans club nantinya." Kawaki pun menanggapi gurauan Mitsuki dengan tawa yang dibuat seramah mungkin.

"Sungguh? Menurutmu aku bisa mendapatkan apapun yang Boruto miliki?" Pupil hitamnya bergerak melirik remaja pirang yang sedari tadi pura-pura tertawa kini menghapus senyumnya.

Boruto tahu makna terselubung dari pertanyaan yang Kawaki lontarkan. Ia tidak sebegitu bodohnya untuk memahami perubahan sikap Kawaki beberapa hari ini.

Bukan teman-temannya yang ia incar, bukan pula kesuksesan atau popularitasnya, ia hanya menunggu saat yang tepat ketika Boruto lengah.

Ia tidak akan kalah. Semua usahanya untuk bisa membanggakan ayahnya, membuat pandangan ayahnya tetap tertuju padanya, dan segala aksi manipulatif yang ia lakukan agar bisa memonopoli Naruto tidak akan ia serahkan pada Kawaki.

Tentu ia sama sekali tidak menganggap penting kawan, kesuksesan, atau semua hal yang orang lain anggap penting. Boruto hanya haus akan validasi ayahnya yang semakin meningkat ketika melihat kesuksesannya. Ia hanya ingin, hanya dirinyalah anak paling bersinar dan hebat di mata Naruto.

"Ah, aku akan kembali ke kelas untuk mengambil bola yang tertinggal!" Kawaki pergi dengan senyum palsu yang belakangan ini sangat sering ia tunjukkan.

Langkahnya terhenti di depan loker dengan nama Uzumaki Boruto. Ia membuka kunci loker paksa dengan kunci dadakan dari klip rambut yang ia pinjam dari Sarada.

Klek! Bunyi kunci terbuka memberi Kawaki kepuasan. Tangannya bergerak menaruh benda hitam kecil yang ditempelkan pada jaket hitam bergaris merah muda sang pemilik.

Kawaki menutup tanpa mengunci loker itu kembali. Ia hanya ingin menunjukkan pada musuh bahwa ia telat mengambil langkah baru.

Kaki jenjangnya melangkah santai menuju gerbang sekolah bersiap untuk pulang. Seluruh persiapan telah ia siapkan, kini ia hanya harus melangkah menuju rencana utama.

Game of Obsession [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang