zwei

4.4K 452 63
                                    

Seorang remaja dengan tato berlambang IX di pipi kiri atas berjalan gontai menyusuri jalanan dengan sunset sore hari. Tubuh memar dan lecet ia paksa bergerak menjauh dari tempat tinggal yang ia sebut rumah.

Rasa ngilu ia rasakan dari sekujur tubuhnya. Monster yang ia sebut ayah itu berkali-kali menyiksanya akibat musibah yang dia alami.

Perusahaan bangkrut, istri yang meninggalkannya, dan cibiran para tetangga membuat sang ayah melampiaskan seluruh emosi pada anak satu-satunya.

Ketika kesadaran Kawaki hampir hilang, tubuhnya ditangkap oleh tangan besar dan hangat dari seorang pria dewasa yang menggunakan setelan jas ala kantoran. Pria itu memeluk Kawaki dengan ekspresi khawatir.

Kawaki dibawa ke mobil berwarna hitam kemudian direbahkan di kursi belakang. "Tunggu sebentar ya, aku akan membelikan obat dan makanan hangat."

Kepalanya terlalu pusing untuk memikirkan apa yang tengah terjadi. Jika pun pria itu ternyata penculik organ tubuh yang akan dijual di pasar gelap, Kawaki sudah tidak peduli lagi.

Jika harus mati, matilah. Dunia ini terasa begitu kejam untuk ia tempati. Jangankan tujuan hidup, untuk bertahan di hari ini saja rasanya sudah sulit.

Pria berambut pirang itu kembali dengan tergopoh-gopoh dan segera mendudukkan Kawaki dengan hati-hati. "Minumlah dahulu!"

Kawaki meminum teh hangat yang disodorkan pria itu. Setelah menaruh teh hangat di tempat menaruh botol, Naruto menyuapkan bubur hangat yang sudah ditiup pelan pada mulut Kawaki.

'Apa-apaan orang ini, jika hanya ingin menolong kenapa sampai segininya? Dia hanya perlu mengantarku ke rumah sakit. Tidak perlu memperlakukan aku seperti anaknya sendiri disaat ayahku tidak pernah melakukan ini.'

Kawaki tetap menutup mulutnya rapat. Dia tidak peduli jika makanan yang disuapkan untuknya beracun atau dapat membunuhnya seketika. Ia hanya tercengang atas sikap yang begitu tulus dari pria yang bahkan tidak mengenalnya. Apa yang akan pria ini minta ketika dia membiarkan Kawaki hidup?

"Kau tidak percaya padaku? Baiklah. Bagaimana jika kita memakannya berdua dengan sendok yang sama?" Tawaran pria itu terdengar tidak penting dan relevan di telinga Kawaki. Namun, ia hanya mengangguk tanpa suara.

Bibir ranum dan merah mulai meniup pelan bubur yang disendokkan dalam porsi cukup. Kawaki memperhatikan bagian kenyal itu dengan seksama. Bagaimana kira-kira rasanya? Apakah manis? Lembut? Memabukkan?

Setelah pria tersebut mengambil suapan pertama, iapun menyuapkan suapan kedua pada remaja di depannya. Kawaki membuka mulutnya dengan menerka rasa air liur pria yang membuat rasa penasarannya bangkit.

"Namaku Uzumaki Naruto, siapa namamu?" tanya pria itu. Uzumaki Naruto, nama yang cukup familiar.

"Kawaki." Naruto hanya tersenyum hingga kedua kelopak matanya terlihat menutup.

Indah, apapun ekspresi yang pria itu tunjukkan terlihat begitu indah dan memabukkan. Kawaki ingin lihat ekspresi lainnya, ekspresi sedih, tersiksa, memuja, marah—

"Hey, kenapa kau melihatku seperti itu? Masih curiga padaku? Tenang saja, aku tidak mungkin melakukan hal buruk padamu. Kau mengingatkanku pada anak laki-lakiku, Uzumaki Boruto."

Tentu saja nama Uzumaki Naruto terdengar begitu familiar. Nampaknya ia merupakan ayah dari sang anak berprestasi favorit guru maupun seluruh murid di Konoha High School, sekolah yang sama dengan tempat dimana Kawaki menimba ilmu.

Tak terasa suapan terakhir pun Naruto suapkan pada Kawaki. Ia menaruh kotak berbahan dasar gabus putih tersebut kemudian merobek bungkus obat. Kali ini Kawaki tidak mengambil jeda waktu untuk menerima obat dan teh hangat yang Naruto sodorkan.

Game of Obsession [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang