Cahaya pagi yang menyalip dari jendela menyadarkan Naruto. Perlahan ia membuka matanya. Bagian belakangnya sakit dan punggungnya pegal luar biasa.
Barulah beberapa saat ia memahami situasi yang terjadi. Ia berteriak yang mana membangunkan remaja pirang yang sedang tertidur memeluknya tanpa busana.
"Kau sudah bangun, Tou-chan? Apakah tidurmu nyenyak?" Dikecupnya pelan pelipis sang ayah.
Namun, Naruto terlihat begitu ketakutan pada anaknya. Ia meringkuk menjauh menuju sisi kasur.
"Dengarkan aku, Boruto. Aku akan melupakan hal ini. Mari kita pulang dan bersikap seperti biasa, ya?" ujarnya dengan suara bergetar. Air mata tak dapat tertahan atas rasa takut pada sosok di hadapannya yang terasa begitu asing.
Pandangan Boruto mendingin melihat reaksi ayahnya yang terlihat ketakutan. "Kembali seperti biasa, hm? Seperti biasa itu yang bagaimana, Tou-chan?"
Boruto berusaha mendekat membelai puncak kepala ayahnya yang hanya mendapat tepisan. "Seperti, kau yang menjadi anakku, dan aku-"
"KAU ITU NAIF, NARUTO!" Emosi terlihat dari intonasi Boruto yang meninggi.
"LIHAT AKU! SEJAK KAPAN AKU TERLIHAT BIASA SEPERTI ANAK LAINNYA?" Naruto tersentak dengan cengkraman kuat pada lengannya.
"Sadar Naruto, sadar! Aku tahu kau menyadari saat aku pernah diam-diam mencium bibirmu. Aku tahu kau melihat seluruh foto dan buku catatanku tentangmu. Aku tahu kau tersadar atas perlakuanku yang berbeda padamu dibandingkan Kaa-san dan Hima. Tapi kau selalu menyangkal!"
Benar, Naruto sudah menyadari seluruh perlakuan anaknya itu. Ia hanya kabur dari realita yang tidak ingin ia percaya. Namun hari ini setelah Boruto menjabarkan seluruh prasangkanya, perasaannya sudah tidak mampu menyangkal lagi.
Melihat Naruto yang hanya tertunduk diam, Boruto mencium lengan ayahnya yang memerah akibat cengkraman keras. "Kau tahu dengan pasti, bukan hanya ini yang akan aku lakukan ketika aku menginginkan sesuatu 'kan, Tou-chan? "
Boruto berdiri menuju meja kecil di hadapan kasur dan mengambil memori card dari sebuah kamera. Dimasukkannya memori card itu pada DVD televisi diatasnya.
Remaja pirang itu berjalan santai menuju dapur untuk menyeduh segelas kopi yang akan ia minum sembari menikmati tayangan yang sebentar lagi akan berjalan.
"Aaahh, Boruto!"
Suara desahan dan visualisasi Boruto yang sedang menjamah Naruto pun terlihat di layar. Boruto kembali dengan membawa kopi hitam, menikmati ekspresi terkejut yang Naruto tampilkan dihadapannya.
"Bagaimana, Tou-chan? Menurutmu apakah aku akan mendapatkan penghargaan jika memberikan video ini untuk tugas ekskul photographyku?"
Mata Naruto membelalak atas ancaman besar yang ada di hadapannya. "Apa yang akan kau lakukan dengan video ini, Boruto?"
"Mengancammu." Diseruputnya kopi hitam pelan. "Jika kau berjanji untuk menuruti semua perkataanku, aku tidak akan menyebarkannya pada siapapun."
Boruto memberhentikan tampilan video, "Apakah kau bisa membayangkannya, Tou-chan? Apa yang akan terjadi pada reputasimu, perusahaanmu, dan keluargamu? Seorang Uzumaki Naruto yang terkenal dengan kebaikannya, etos kerjanya, meniduri anaknya sendiri?" Boruto tertawa keras.
"Belum lagi jika kau kehilangan pekerjaanmu, kau tidak akan mampu mewujudkan mimpi Hima dan Kaa-chan, bukan? Selain itu, aku tahu yang paling kau takutkan." Boruto menghadap wajah Naruto mendekat.
"Kau takut hidup dengan tatapan menusuk dari orang sekitarmu seperti dulu, benar?"
Mata Naruto berkaca-kaca, tak percaya dengan seluruh ancaman dari anaknya sendiri. Dari seluruh orang di dunia ini, kenapa harus Boruto?
"Kau tidak punya pilihan Naruto. Setuju hanya satu-satunya opsi. Aku akan bebersih terlebih dahulu, kau makanlah sarapan yang ada. Kemudian kita akan kembali ke rumah ya, Ayahku tersayang." Dilumatnya bibir sang ayah pelan yang hanya diam tanpa membalas akibat terlalu terkejut.
Pandangan Naruto kosong. Ia merasa berada di jalan buntu. Tak pernah ia bayangkan bahwa anaknya sendirilah yang paling menyiksanya. Harga dirinya, mimpinya, bahkan kehagiaannya seketika lenyap dalam satu malam.
.
"Wow Boruto, apa terjadi sesuatu yang baik hari ini? Kau terlihat sangat bahagia." Ujar Shikadai sembari memberikan bump fist pada sahabatnya.
Boruto menaruh tas dan duduk di sebelah Kawaki. "Apakah sangat terlihat? Haha. Aku hanya berhasil mendapatkan kembali apa yang harus kumiliki."
Kawaki membalas pincingan mata Boruto dengan wajah yang bingung. Ia yakin sesuatu telah terjadi pada Naruto.
Ditariknya seragam Boruto untuk menuju ke atap. Tak peduli atas panggilan teman dan gurunya yang akan memulai pelajaran pagi.
Dengan tergesa-gesa, Kawaki menghempaskan tubuh Boruto di tembok beton yang belum di cat kemudian mencengkram kerahnya keras. "Apa yang kau lakukan, bangsat?"
Boruto melepaskan cengkraman Kawaki dengan sekali hempasan. "Ya ampun, kukira ada apa. Maaf ya Kawaki, aku terlalu banyak bicara pagi ini. Belum lagi sebagai anak teladan aku tidak boleh membolos, bukan? Jadi sebaiknya kau lihat sendiri saja ya." Ujarnya sembari memberikan telepon genggamnya pada Kawaki.
"Ah, ngomong-ngomong kau meretas ponselku bukan? Kalau begitu tidak perlu ku beritahu passwordnya kan? Baiklah, aku duluan ya!"
Remaja bersurai pirang itu pun berlalu meninggalkan Kawaki dengan lambaian tangan. Persis seperti yang Kawaki lakukan ketika berhasil menjamah Naruto di malam itu.
Kawaki dengan cepat memasang earphone dan membuka data terakhir yang tersimpan. Dibantingnya ponsel itu setelah melihat Boruto yang berhasil menjamah Naruto. Wajah Naruto yang memerah dan menangis menandakan ia melakukannya dengan paksaan.
"Sialan."
Kawaki pulang membolos di hari itu. Ia harus segera melakukan rencanya juga. Jiwa Naruto yang sedang shock dan rapuh sekarang, akan menjadi momen tepat untuk membuatnya mengambil keputusan yang salah.
Permainan ini kini menjadi permainan psikologis. Siapapun yang mampu memanipulatif dan mengguncang mental Naruto lah yang menang. Dan kalau ada yang harus kalah, Kawaki pastikan bukan dia orangnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Game of Obsession [End]
Romance[KawaNaruBoru] "Kenapa kau sangat terobsesi dengan ayahku?" Senyum miring tergores di wajah bertato IX itu, "Kau mengatakannya seperti kau tidak saja." ⚠Warning!⚠ Incest, Gay, toxic, obsession, manipulating, stalker, drug, bdsm, harsh word