"Nggh... "
Lenguhan terdengar menggema pada ruangan bernuansa hitam. Tangan kanan kekar dan panjang mempercepat gerakannya pada kejantanan yang siap menembakkan muatan.
Layar monitor yang menampilkan kegiatan bersetubuh antara pria bersurai pirang dan wanita bersurai indigo menjadi pusat perhatian pupil mata hitam legam yang sedang memuaskan dirinya.
Tubuh Kawaki bergetar merasakan klimaks yang mendatang diikuti dengan menyemburnya cairan hangat. Seketika tubuhnya melemas, ia melepaskan genggaman tangannya pada kejantanannya yang sudah lunglai.
Diambilnya tisu untuk membersihkan kekacauan yang ada. Tombol pause ia tekan, "Teriaklah dibagian atas selagi kau mampu, Naruto. Karena aku tidak sabar melihatmu mengerang hebat dibawahku."
Layarnya berganti menjadi halaman berbeda yang menampilkan denah rumah seseorang. Benda hitam yang Kawaki selipkan pada saku jaket Boruto merupakan alat pengintai yang menunjukkan lokasi Boruto berada.
Kawaki melangkah untuk membersihkan dirinya sebelum menjalankan langkah lanjutan yang sudah ia rencanakan.
.
.
."Anata, bisakah kau membelikan daging cincang di supermarket?" Naruto yang sedang menyiram tanaman di belakang rumah segera mematikan selang kemudian menghampiri istrinya.
Dipeluknya lembut tubuh ramping sang istri dengan tangan kekar yang melingkar. "Kau butuh yang lain, sayang? Mungkin permen karet rasa strawberry?" godanya.
Pipi sang istri merona merah mendengar candaan suaminya. Meskipun sudah berkali-kali hal romantis dan sensual sering suaminya tunjukkan, getaran itu masih dapat ia rasakan.
Boruto turun dengan pelan ke lantai bawah. Tubuhnya terhenti mengamati keintiman yang dilakukan kedua orang tuanya.
Sama seperti Hinata, Boruto tidak pernah mampu membiasakan diri atas perasaan yang muncul atas perlakuan ayahnya. Bedanya, bukan kepakan kupu-kupu yang dia rasa, melainkan pukulan palu yang menyesakkan dada.
"Ah, Boruto!" Naruto terlihat kikuk. "Aku akan membelikan pesananmu, Hinata." Dikecupnya pelan rambut sang istri kemudian mengusap surai pirang sang anak pertama.
Beberapa saat setelah kepergian Naruto, terdengar suara tangis Himawari—si bungsu Uzumaki. Dengan panik, Hinata mematikan kompor dan segera menyusul sumber suara.
Tangannya membuka pintu depan depan tergesa-gesa, ia pun dikejutkan dengan seorang remaja laki-laki yang sedang menggendong anaknya.
"Himawari!" Tangannya terulur meminta tubuh sang anak. Dilihatnya luka lecet pada lutut juga betis yang mulai membiru.
"Tadi saya tidak sengaja melihat anak tante terjatuh di tengah jalan. Mohon maaf atas kelancangannya, tante." Hinata mulai mengalihkan atensinya pada anak lelaki di hadapannya.
Setelah menenangkan Himawari yang sudah berhenti menangis, Hinata menepuk pundak kanan remaja itu. "Terima kasih banyak, nak. Jika tidak ada kau aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada anakku."
Senyum ramah ia tunjukkan pada Hinata. "Sudah kewajibanku, tante."
"Kaa-chan, ada apa di luar—" Bola mata Boruto membola melihat kedatangan lelaki dihadapannya.
"Anak ini tidak sengaja melihat Hima terluka kemudian membawanya kemari. Ah ya, namamu siapa nak?"
"Kawaki?" Suara serak membuat empat kepala menengok bersamaan. Berdiri Naruto, dengan membawa kresek belanjaan yang cukup banyak.
Naruto terlihat menggunakan kaos hitam polos yang menampilkan otot bidang dan pinggang kecilnya. Senada dengan celana jeans slimfit berwarna hitam. Dilengkapi dengan topi hitam yang menambah kesan seksinya.
Kawaki tercengang melihat pakaian kasual pria dihadapannya. Meskipun ia sudah menghafal visual tubuh telanjang pria itu, tetap saja melihatnya secara langsung memberikan kesan tak biasa yang ia rasakan di bagian selatan tubuhnya.
Melihat keadaan kacau putri kesayangannya, membuatnya berlari panik hingga menjatuhkan kresek belanjaannya. "Hinata, apa yang terjadi pada Hima?"
"Aku menemukannya di jalan sedang menangis dan terluka."
Terlihat bulir air mulai membasahi bola mata biru Naruto. "Terima kasih banyak Kawaki, aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan jiks terjadi hal buruk pada keluargaku. Kau benar-benar anak yang baik." Kawaki tersenyum tipis sebagai balasan.
Melihat keakraban antara suami dan lelaki dihadapannya, Hinata bertanya penasaran, "Kau mengenalnya, sayang?"
"Ya, dia anak yang kuceritakan padamu saat itu." Hinata mengangguk mengerti.
Boruto tahu, tidak mungkin sebuah kebetulan musuh yang mengikrarkan perang padanya tidak sengaja menemukan Himawari terluka tanpa sebab. Sampai sejauh inikah cara licik yang ia gunakan untuk mendekati ayahnya?
Semanipulatif apapun Boruto, ia tidak pernah melupakan pesan ayahnya untuk selalu menjaga ibu juga adiknya. Sehingga Boruto cukup kesal dengan cara licik yang Kawaki gunakan, ditambah dengan keberhasilannya menerima simpati Naruto.
"Apakah kau keberatan menghabiskan hari liburmu dengan keluarga kami?" Hinata menawarkan ajakan pada remaja yang menjadi penolong Himawari itu.
"Tidak perlu, tante. Aku akan merepotkan nantinya." Tolak halus Kawaki palsu.
"Kenapa kau sungkan seperti itu, Kawaki? Kau tidak merepotkan sama sekali. Aku dan keluargaku akan sangat senang untuk menambah kursi baru." ujar Naruto sembari mengusap surai hitam Kawaki.
"Aku tidak keberatan, tapi apakah Boruto tidak apa-apa?" Boruto terkejut mendapati lirikan dingin yang Kawaki berikan.
Melihat ayahnya yang begitu antusias membuat Boruto tak mampu menolak hasrat yang ingin sekali memusnahkan Kawaki detik ini juga. "Terserah kalian saja."
"Anak ayah memang baik sekali." Naruto mengusap surai pirang anak kandungnya kemudian mengajak semuanya untuk memasuki rumah kediaman Uzumaki.
Sepanjang perjalanan, Kawaki dapat melihat foto-foto yang menampilkan keseharian Naruto dan keluarganya. Lukisan khas anak-anak yang sepertinya digambar oleh Himawari pun tak luput dari pajangan bingkai mahal yang Naruto taruh di ruang keluarga.
"Kau santai saja disini. Aku akan menyiapkan semuanya bersama Hinata. Jika bosan, kau boleh mengelilingi rumah dan taman belakang yang ada. Oh! Kau bahkan bisa langsung melepas bajumu untuk berenang disana. " Naruto mempersilahkan Kawaki menyamankan diri.
"Boruto, kau dapat mengobati luka Hima untukku kan?" Niat Boruto untuk mengawasi gerak-gerik Kawaki pun terhalang oleh permintaan yang ayahnya ucapkan. Ia mengangguk pasrah kemudian membawa Hima untuk mengobatinya.
Kawaki sekarang merasa lebih leluasa untuk menjalankan rencana yang sudah ia rencanakan. Tentu saja luka anak bungsu Naruto bukanlah sebuah kebetulan. Toh hanya lecet sedikit, bukan? Jika Kawaki perlu mematahkan kakinya agar rencananya berjalan lancar pun akan ia lakukan tanpa ragu. Tetapi, mengingat hati lembut yang Naruto miliki membuat Kawaki yakin bahwa membuatnya lecet sedikit saja akan tetap membawa Kawaki pada kesuksesan rencananya.
Kakinya melangkah santai pada kediaman luas menyamping keluarga Uzumaki. Ia tahu terdapat ruangan di lantai atas. Tetapi ia sudah cukup mengecek kondisi rumah ini sehingga tahu dimana ruang kamar dan kerja Naruto berada.
Dibukanya perlahan pintu tanpa pengaman pada ruang dimana Naruto dan Hinata beristirahat. Tatapannya mendingin pada kasur putih king size yang sering ia tonton berkali-kali. Tempat dimana Naruto dan Hinata memadu kasih.
Tangannya meremas seprai putih yang terlipat rapi di atasnya. "Aku bersumpah akan kubuat dirimu berantakan dan mengerang keras dibawahku sehingga kau tidak akan lagi mampu menemukan kenikmatan pada lubang wanita."
Teringat atas rencana yang ia buat, Kawaki segera memasang kamera pengintai tak terlihat di berbagai sisi bahkan kamar mandi. Kamera ini sudah dilengkapi dengan sensor suara sehingga suara sekecil apapun akan mudah tertangkap.
Ia juga memeriksa laci-laci yang terdapat di ruangan kerja Naruto. Setelah mencari kesana kemari dan membuka pengaman yang dibuka secara paksa, ia menemukan berkas penting yang berisikan kontrak milyaran yen. Senyum liciknya tergores diikuti dengan gerakan menyelipkan berkas pada sakunya.
"Kawaki?" Gerakannya terhenti melihat Naruto yang berada di ambang pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Game of Obsession [End]
Romance[KawaNaruBoru] "Kenapa kau sangat terobsesi dengan ayahku?" Senyum miring tergores di wajah bertato IX itu, "Kau mengatakannya seperti kau tidak saja." ⚠Warning!⚠ Incest, Gay, toxic, obsession, manipulating, stalker, drug, bdsm, harsh word