Shavana punya alasan mengapa tidak begitu suka hujan. Pertama hujan selalu identik dengan kesedihan, dan yang kedua dia akan flu jika kehujanan, dan Nana benci itu.
Dan melihat bagaimana di luar jendela langit mulai mendung, membuat semangat senin paginya menurun. Rasanya ia ingin kembali beregelut dengan selimut, kembali tidur di kamarnya yang hangat. Tapi ketika teriakan melengking Mama terdengar. Tubuhnya langsung berdiri tegak, berjalan keluar kamar.
Shavana terlahir dari keluarga sederhana. Dia anak ketiga dari tiga bersaudara. diantara tidak kakak-kakaknya, hanya Nana lah yang tidak memiliki nama panjang. Tapi ia memiliki nama panggilan, yaitu Nana.
Si sulung namanya Nayaka Hilde Moller. Namanya bagus bukan? sama seperti namanya yang indah, hidup yang dia jalani terbilang sangat mulus. Aya atau yang sering di panggil Doti oleh Mama, adalah yang paling di sayang oleh seluruh anggota keluarga. Ia tidak tinggal di rumah, setelah lulus kuliah. Dia langsung mendapat panggilan kerja di jepang. Dan hanya setahun sekali dia pulang.
Anak Mama yang nomor dua namanya Bimasena Arkana. Dia adalah yang paling ganteng, tentunya setyelah Bapak. Tapi, karena Bapak sudah tiada, jadi hanya Mas Bima--Nana bersikeras memanggilnya begitu--satu-satunya lelaki di rumah.
Seperti namanya yang dibedakan--karena tidak memiliki nama panjang--Begitupun sikap dan perilakunya. Jika kedua kakaknya rajin dan selalu menjadi juara kelas. Berbeda dengan Nana yang memiliki tingkat kemalasan diatas orang-orang normal.
Nana memiliki pemikiran bahwa orang-orang yang terlalu berambisi, adalah orang-orang yang tidak tahu cara menikmati hidup. Mereka, akan selalu berfikir bahwa hidup ini adalah kompetisi.
"Kamu itu di kamar ngapain aja si? lihat tuh jam. Kamu bisa terlambat Na.." Seperti biasanya. Paginya akan di awali dengan omelan Mama. Mas Bima jug ada disana, duduk di meja makan dengan secangkir susu dan buku. Terlihat acuh dengan ocehan Mama, dan hanya sesekali melirik Nana yang sudah duduk di sampingnya.
"Di luar hujan Ma.."
"Mama tahu."
Nana menggigit bibir bawahnya, sambil memandangi Mama yang sedang menyajikan nasi goreng untuk Nana. "Kalau hujan, nanti Nana flu.."
Mas Bima menghela nafas, menutup bukunya dan beranjak sambil berkata. "Jangan banyak alasan." Nana mencibik pelan. Mas Bima adalah tipe lelaki dingin, yang penuh misteri. Setahunya, Mas Bima belum pernah pacaran ataupun terlihat dekat dengan perempuan. Lelaki itu terlalu serius. Terkadang Nana mengira bahwa kakak laki-lakinya itu tidak memiliki ketertarikan pada perempuan. Tetapi ketika Nana bertanya pada Mama, ia malah mendapat tepukan pada bokongnya.
"Ayok cepat. Mas Bima tunggu di depan."
Nana tercengang sambil menatap punggung Mas Bima yang berlalu ke luar. Dari dulu Mas Bima adalah yang paling acuh pada Nana. Ia hanya menegur Nana untuk belajar jika nilainya turun, atau hanya merawatnya ketika Mama tidak di rumah. Tapi, tanpa di perintah oleh Mama, Mas Bima akan mengantarnya sekolah? bahkan ketika di luar hujan? ini benar-benar luar biasa.
"Nana!!"
Nana terkejut ketika Mama kembali berteriak memanggil namanya.
"Ishh. Mama ini kenapa si? dari tadi teriak-teriak mulu?" Nana beranjak sambil menggerutu, tidak memperdulikan panggilan Mama yang memintanya untuk bersalaman terlebih dahulu. Nana sangat kesal. Mama selalu begitu, meneriaki Nana. Meski Nana tomboy dan terlihat selalu ceria dan kuat. Tidak di pungkiri, hatinya masih sering terluka ketika Mama selalu berkata dengan nada tinggi padanya.
Padahal ini bukan sekali atau dua kali. Tapi hati Nana masih belum terbiasa. Kadang Nana berfikir, kenapa hanya dia yang di perlakukan berbeda? Mama tidak pernah mengatakan bahwa dia bangga Pada Nana. Atau sekedar menyemangati ketika lagi-lagi Nana juara terakhir di kelas. Yang sering dia dengar hanyalah perbandingan antara dirinya dan Kakak-kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Maze.
Teen Fiction"Tidak memiliki rasa takut, bukan berarti pemberani."-Jojo "Gak apa-apa kalo lo gak ngerasa sempurna. Di dunia yang terlihat sempurna ini, selalu ada keping-keping yang hilang, yang hanya bisa lo temukan ketika lo mampu menerima."-Nana