Nana

13 1 0
                                    

"Mungkin tidak merasa takut dan bersedih, dianggap suatu hal yang baik, karena berani menghadapi berbagai rintangan." Jojo merangkum wajah Nana. "Tapi, tidak merasa takut dan berbagai emosi lainnya, adalah suatu kelainan yang seharusnya tidak di miliki oleh siapapun. Na.. Pada dasarnya, perasaan takut yang dimiliki oleh manusia, adalah suatu bentuk emosi yang berasal dari naluri manusia. Dan yang harus kamu lakukan adalah melawan ketakutan itu, bukan menyangkalnya."

Hanya dengan berbekal tekad dan perkataan Jojo yang masih terngiang di benaknya. Nana melangkah masuk kerumah. Semua orang sedang berkumpul di meja makan. Nana tahu, mobil yang terparkir di depan adalah mobil Mbak Doti. Ya, dia pulang.

"Na.. kenapa baru pulang?" tanya Mbak Doti.

Nana menghela nafas. Ia duduk di samping Mas Bima. Meneguk teh hangat di atas meja.

"Na!"

"Habis kerja kelompok Mbak." Nana menoleh padanya. "Mbak kenapa pulang? lagi cuti?"

"Ma? ini pertama kalinya dia pulang jam segini? atau emang suka pulang jam segini?" Tanyanya pada Mama.

Mama menoleh sekilas pada Nana. Lalu kembali menatap anak kesayangannya itu sambil berkata. "Enggak. Tadi dia emang udah bilang mau kerja kelompok."

Nana tahu. Meski di berkata jujur tidak akan ada yang percaya. Jadi, itulah mengapa Nana berbohong.

"Gimana sekolah mu? udah punya rencana apa kedepannya?"

"Rencananya, Nana mau kuliah di unsoed."

Gadis cantik berambut pirang itu menatap Nana dengan serius. "Terus, kamu udah nyiapin apa buat masuk kesana."

Nana mengangkat bahu acuh, memilih menyantap makanannya terlebih dahulu. Lalu tanpa menatap kakaknya, ia berkata. "Baru nyiapin mental aja." Jawabnya acuh.

"Na! Mbak serius. Kamu ini udah gede loh... masa mau gini terus? kalau gak pinter itu minimal jadi anak yang rajin kek."

Seperti ada tangan yang mencekik Nana. Membuat nya kesulitan untuk menelan makanan yang ia kunyah. Ia terdiam, menunduk sambil mendengarkan semua ocehan kakak nya itu.

"Mbak jauh-jauh kerja ke jepang, banting tulang cari duit. Itu buat kamu." Terdengar helaan nafas. "Ngeliat nilai rapor kamu aja, mbak ragu Na.. Gimana bisa kamu jadi dokter kalau males-malesan gini?"

"Aku gak males-malesan Mbak. Aku juga belajar." Desis Nana.

"Oh ya? terus kalau kamu belajar, kenapa nilai kamu masih turun?" tanyanya. "Apa segitu bodoh nya kamu? sampai gak bisa naikin nilai meski udah belajar? apa kamu sebodoh itu Na?"

Tangan nya terkepal di atas meja. Ia menunduk, menahan diri agar tidak menangis. Semua orang hanya menatap nya tanpa mau membela. Padahal mereka tahu bahwa Nana selalu belajar. Ia selalu berusaha. Lalu jika dia terlahir bodoh, memang itu salah Nana?

"Nana udah berusaha Mbak." lirihnya.

"Ya kalau gitu, kamu harus berusaha lebih lagi. Tolong jangan jadi sampah di keluarga ini."

Ada sesuatu yang remuk dalam diri Nana.

Nana beranjak dari sana.ia yakin akan mati jika berlama-lama duduk bersama mereka. Jadi dengan langkah cepat ia masuk kedalam kamar. Melempar tas dan sepatunya ke sembarang arah. Lalu duduk di meja belajar, membuka buku apapun yang ada di atas meja.

Pandangannya memburam, ia tidak membaca apapun. Dia tidak marah, dia hanya kecewa pada dirinya sendiri. Kenapa? kenapa Nana harus terlahir bodoh? kenapa harus Nana?

Di luar sana hujan mulai berjatuhan. Dalam hati yang membiru, Nana menutup wajahnya, menangis tanpa suara. Andai mereka tahu sekeras apa Nana berusaha. Gadis itu tidak cukup tidur karena terus belajar. Terkadang ia membiarkan perutnya keroncongan hanya untuk mengerjakan soal-soal untuk ujian. Membiarkan dirinya kesakitan hanya untuk memenuhi ekspetasi orang-orang.

Love Maze.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang