Bad Day!

27 8 1
                                    

Inilah alasan mengapa di akhir pekan sebaiknya tidur saja dan tidak memikirkan banyak hal yang terjadi. Hasilnya aku tiba-tiba berubah jadi perempuan yang sama sekali tidak pengertian. Padahal jika mengingat ke belakang, Andreas selalu menjadi salah satu pihak yang harus selalu mengalah dan bersabar.

Terngiang-ngiang panggilan Andreas kala aku meninggalkan cafe, suaranya terdengar begitu putus asa. Tidak menunggu lama lagi, di persimpangan depan aku memutar kemudi hingga kendaraan yang aku bawa berbalik arah. Kembali ke cafe.

Gak kebayang bagaimana caranya Andreas pulang, gak lucu jika penyanyi terkenal yang tengah naik daun pulang naik ojek online.

Sesampainya di cafe aku harus kembali menelan kekecewaan kala mendapati tempat yang semula kami duduki ditempati oleh orang lain. Andreas ternyata sudah pulang.

"Ada yang ketinggalan, Kak?" Seorang pramusaji yang tadi melayani kami kebetulan lewat dan bertanya.

Aku menggeleng sekilas kemudian memilih untuk pergi, mungkin nggak sih Andreas pulang jalan kaki? Jelas gak mungkin, Aku nggak tahu harus bagaimana lagi, kenapa sih tadi gak bicara baik-baik dulu?

Daripada overthinking lebih baik sharing bareng Zhie, karena setiap kali aku dan Andreas ada masalah, Zhie selalu menjadi penengah yang baik. Pikirannya terbuka luas, dia bahkan bisa memecahkan masalah seberat apa pun.

Sesampainya di depan rumah besar berpagar tinggi, aku bunyikan klakson. Seorang pria berseragam, tergopoh-gopoh membukakan gerbang besi.

"Zhie ada?" tanyaku.

"Ada, Mbak, kebetulan ada Mbak Airin juga."

Aku injak pedal gas ku perlahan-lahan, kemudian memarkirkan kendaraan di sebelah mobil Airin. Kebetulan macam apa ini, sengaja mengatur pertemuan selalu susah, tapi jika bertemu dengan kebetulan kami selalu beruntung.

Kuseret langkah menuju rumah besar itu, tidak melalui pintu depan melainkan pintu samping seperti biasanya Aku berkunjung ke sini. Asisten rumah tangga Zhie menyambut kedatanganku dan mempersilahkan untuk naik ke lantai dua di mana kamar Zhie berada.

Di atas anak tangga terakhir aku sudah bisa mendengar percakapan Zhie dan Airin. Sesekali terdengar tawa mereka.

"Woi, gibah Mulu!" teriakku ketika sampai di ambang pintu.

Zhie dan Airin melotot melihat ku berdiri sambil menyandarkan tubuh ke dinding. Jelas saja bagi mereka ini adalah momen langka yang mana di hari Sabtu aku bisa dengan bebas berkeliaran. Padahal biasanya sekeras apa pun mereka mengajak, Aku tidak pernah mau hari Sabtuku diganggu.

"Tumben," celetuk Zhie.

Aku hanya nyengir, kemudian merabahkan tubuh di atas tempat tidur Zhie yang empuk. Aroma parfum perempuan itu terhidu, beda parfum mahal, mah. Wanginya nempel berminggu-minggu.

"Kayak bukan Lo banget deh," celetuk Airin.

"Gue abis ketemuan sama Andreas, kami ribut, lebih tepatnya gue yang marah."

"Masalah akun pasti?" tebak Airin.

"Lo pasti udah tahu dari awal, kan, gue harus ngertiin Andreas gak sih? Tapi gue sebel banget sama cara ngomong dia yang salah, dia menganggap hubungan kami itu sekedar gosip aja. Enggak ingat apa, ya, saat dia memperjuangkan agar kita bisa sama-sama jadian?"

Obrolan kami terhenti karena terdengar ketukan pintu, muncul salah satu asisten rumah tangga Zhie membawa cake untuk kami.

"Makasih, Bi. Nanti di bawah bakalan ada ojol bawa makanan, udah dibayar kok Bi, tinggal ambil aja, nanti bawa ke sini ya bisa kalian tolong bawain piring."

"Baik, Non."

"Lo beli apaan?" tanya Airin.

"Bakso mercon."

"Whoaah, pengertian banget, sih, Lo." Aku sontak bangun dan memeluk Zhie.

Sahabat, entah mengapa mereka selalu menjadi orang yang paling mengerti apa yang kita rasakan. Bagaimanapun aku berusaha menyembunyikan kesedihan, bagaimanapun aku berusaha untuk tetap ceria, Zhie dan Airin bisa menebak bahwa di dalamnya rapuh. Ya, saat ini memang hatiku sedang. Sedang ada di jalan bimbang, jalan yang sebenarnya enggan aku lalui.

"Lo beruntung jadi ceweknya Andreas, ya, walaupun memang kalian menyembunyikan hubungan kalian, tapi, lo nggak pernah tahu kalau di luaran sana banyak sekali perempuan yang ingin berada di posisi Lo."

"Nggak gitu, Zhie, ya tahu gue beruntung. Gue juga bakalan selalu dukung Andreas, mau bagaimanapun jalan ini udah kita ambil. Gue juga kerja di dunia ini, di dunia entertain. Gue juga ngerti popularitas dan kepalsuan lebih utama daripada kehidupan nyata kita. Yang gue pengen Andreas menyampaikan itu dengan baik-baik, dengan kalimat yang bisa bikin gue berkata, Oh iya gue ngerti, gue akan selalu dukung lo."

"Jangan lebay, deh." Airin nyeletuk. Dia dari tadi diam dan Tidak berkomentar apapun tapi tiba-tiba bilang aku lebay.

"Lo kok, ngomongnya gitu sih?"

"Lagian ya, cuma ngapus akun aja lo udah kayak kebakaran jenggot. Gimana ntar kalau udah lihat Andreas duet sama orang lain. Asal lo tau aja, project duet ini bener-bener udah mengeluarkan banyak biaya. Tenaga dan waktu Andreas pun tersita banyak."

"Gue cuma butuh Andreas ngomong baik-baik, gue cuma butuh Andreas tuh ngomong dulu sama gue sebelum melakukan apa-apa, setidaknya screenshot dulu fotonya pindahin ke galeri gue. Gue ini pacarnya loh yang kata Andreas gue adalah orang nomor dua dalam hidupnya setelah nyokapnya. Lah dia ngapus akun aja gue tahunya dari Christina, gimana gue gak sebal coba? terus alasannya takut ada gosip kalau Andreas ama gue pacaran. Lah, kan emang beneran kita pacaran? Apa gue salah?"

"Udah, udah, Airin Lo sebaiknya jangan tambah bikin suasana panas deh. Menurut gue, kalian berdua itu sama-sama ada benarnya ada salahnya," ujar Zhie.

"Iya gue emang ngaku salah, bahkan gue tadi rela putar balik demi mengejar Andreas, tapi dia udah gak ada."

Aku melihat Airin cemberut, aneh memang. Harusnya yang namanya sahabat itu selalu mendukung, mana Yang ngakunya besti, tapi malah menyudutkan. Rasanya aku salah datang di waktu yang enggak tepat.

"Iya udah sorry, gue sebagai temannya Andreas yang kerja di bidang yang sama dengan Andreas merasa gimana ya, ck ... Sudahlah."

"Pantas lah ya, Lo putus Ama Darren."

"Loh, kok bawa-bawa Daren sih?"

Aku terlanjur marah dan kesal, Airin dan Andreas sama saja.

"Ya pastinya apa yang dirasakan Daren sama dengan apa yang gue rasakan saat ini. Bahkan gue sama sekali gak tahu siapa yang bakalan jadi teman duet Andreas. Lo tahu, kan? Ah sudah pasti tahu kalian kan satu agensi, gue siapa?"

"Itu sudah peraturan bahwa kami tidak boleh membuka siapa yang akan jadi teman duet dia, Sampai berita ini benar-benar dirilis secara resmi. Lo faham gak sih?"

Ini adalah perdebatan kami yang pertama, entah mengapa Airin ngotot banget membela Andreas dan Agensi sialan itu. Ah ... Bad day! Nyesel aku bangun dari tidur.

"Atau jangan-jangan lo yang jadi teman duet Andreas?" pancingku.

Airin menatap dengan garang, "susah emang ngomong sama orang keras kepala kayak lo. Gue pulang, Zhie. Lama lama di sini kamar Lo bisa hancur karena pertengkaran kami."

Sepeninggal Airin, Zhie menggeser posisi duduknya, kemudian memberikan pelukan dan ketenangan hingga membuat aku tak kuasa untuk membendung air mata.

The Last SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang