Andreas
“Sudah kubilang jangan campur adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan, Dre!” Mas Ario mengoceh saat tahu kabar tersiar dengan cepat kalau aku lupa lirik di acara pembukaan galeri perhiasan.
Tidak ada klarifikasi juga bantahan mengingat gak mungkin aku bilang gak sanggup melanjutkan karena sedang bermasalah dengan Mahda.
Hanya Mas Ario yang tahu dan dia sangat Murka. Seharusnya memang aku memberitahu Mahda sebelum mengambil keputusan. Sayang, Mas Ario lebih duluan bertindak. Aku terlalu percaya kepadanya sehingga menyerahkan semua kepercayaanku kepadanya, termasuk akses instagramku.
“Mas, dunia entertain ini gak akan selamanya menemani gue, wajar kalau gue merawat apa yang gue cintai demi masa depan.”
“Alah munafik banget, sih, gak ada job lo sendiri yang bakal kebingungan, nyari duit di zaman sekarang ini susah banget. Dre, jika lo emang udah gak butuh duit setidaknya lo harus komitmen dan tanggung jawab sama kontrak.”
“Iya, Mas, maaf banget jangan pernah berkata seolah-olah gue ini gak tanggung jawab sama pekerjaan. Gue bahkan ingat besok ada makan malam sama Senja. Gue bahkan ingat nanti jam 2 kita ke BSD, gue juga ingat jadwal untuk satu minggu ke depan tanpa lo ingetin. Itu bentuk tanggung jawab gue. Gue gak minta apa-apa, wajar gue mempertahankan seorang yang berarti banget di hati gue, masa depan gue.”
Tidak pernah aku kira memang semuanya akan menjadi seperti ini. Masih ada banyak waktu sampai ke pukul 2 siang, daripada terus-terusan mendengar ocehan Mas Ario lebih baik aku berusaha menghubungi Mahda. Sudah dari kemarin kami kehilangan komunikasi. Aku tidak bisa menemukan Mahda di rumahnya karena ini hari senin, Mahda sudah kembali beraktivitas seperti biasanya.
Mas Ario terus mengoceh dan aku lebih memilih menyumpal telinga dengan earphone, mendengarkan lagu kesukaan aku dan Mahda sambil berusaha terus memberondongnya melalui pesan wa.
“Mas ini pesanannya.” Mbak Mien memberikan makanan yang aku pesan. Aku membeli dua porsi, satu untukku dan satu untuk Mas Ario. Karena terlanjur kesal dengan Mas Ario aku membiarkan makanannya di meja. Sama sekali tidak memberitahunya dan tidak mengajaknya untuk makan bersama.
***
Namanya Elvionna Senja, mantan penyanyi cilik yang sekarang mulai lagi merintis kariernya di dunia tarik suara. Mungkin dia memiliki koneksi yang kuat sehingga bisa dengan mudah masuk ke agensi yang sama denganku. Apesnya, Senja adalah orang yang akan menjadi teman duetku. Ya, inilah alasan mengapa project ini begitu di rahasiakan.
“Andreas Malldika dan Elvionna Senja akan menjadi pasangan duet yang fenomenal.” Begitu yang dikatakan oleh pihak agensi. Kembalinya dia di dunia tarik suara akan memberikan keuntungan besar bagi semua pihak mengingat karier Senja sejak balita.
Ini adalah bukanlah pertemuan pertama kami. Sejak awal tanda tangan kontrak sampai latihan kami selalu bersama, tapi tetap berhati-hati agar siluet hitam di poster pengumuman project ini tetap menjadi rahasia sampai waktunya tiba.
Dia kini duduk di hadapanku, anggun, cantik dan berkelas. Tapi sedikitpun tidak memberikan aura yang bisa membuatku menarik. Senja terlalu manja, terlalu pemilih, terlalu rewel dan cukup menjengkelkan. Mamanya yang juga merupakan manager Senja mengundangku untuk makan malam. Tentu saja di rumahnya, kami belum bisa keluar bersama sebelum pengumuman project.
Suasana di meja lebih semarak dengan ocehannya Mas Ario, tidak lupa tante Ida. Saking hebohnya mereka sampai denting sendok dan garpu nyaris tidak terdengar.
Beberapa kali Senja berusaha mencari topik obrolan, aku menanggapi seperlunya. Memang benar tubuhku ada di sini, tapi pikiran selalu tertuju pada perempuan di sana.
"Jangan dulu pulang," pinta Senja.
"Iya, Dre, tunggu sebentar ya, gue ada bisnis sebentar sama Tante Ida." Mas Ario dan Tante Ida sepertinya memang sengaja membiarkan ku dan juga Senja untuk berduaan.
"Kamu ada janji lagi?" tanya Senja di tengah keheningan yang mengunci kami usai makan malam.
Aku menggelengkan kepala, berusaha tidak menanggapi Senja. Di luar jam pekerjaan aku memang berusaha untuk menjaga jarak. Kecuali saat bekerja, saat berlatih, usai rekaman dan segala interaksi yang dilakukan di studio aku usahakan untuk tidak menjadi kaku.
"Kamu kayaknya lelah, kalau mau istirahat di kamar tamu boleh," tawar Senja. "Jangan kaku begitu, kerjasama kita ini akan berlangsung lama, jangan sampai tidak ada chemistry di antara kita, itu semua tidak akan membuat keberhasilan di project ini."
"Iya benar, gue emang capek banget, kalau gitu gue pamit mau istirahat."
Senja terlihat semringah, menurutku senja berpikir bahwa aku akan tidur di ruang tamu sesuai dengan apa yang dia pikirkan sebelumnya. Tapi jangan harap, lebih baik aku tidur di mobil sambil menunggu Mas Ario dan tante Ida selesai dengan urusan mereka.
Tubuhku emang sangat lelah, sudah direncanakan ketika sampai rumah nanti, untuk mandi air hangat dan tidur sampai besok pagi.
Senja mendesah kecewa kalau aku berjalan menuju pintu keluar.
"Loh katanya mau istirahat?" tanya perempuan itu.
"Iya emang, gue istirahat di mobil aja sambil nunggu Mas Ario."
"Kok di mobil?" Senja merajuk.
"Maaf senja, gue gak nyaman, gue baru pertama kali datang ke sini. Gue tidur di mobil aja, ya, sampe ketemu besok ya."
"Berarti bakal ada lain kali, kan?" tebak Senja.
"Lain kali apa?" Aku berusaha mencoba pura-pura tidak mengerti.
"Sekarang kamu tidak mau istirahat di kamar tamu karena baru pertama kali datang ke sini. Nanti kalau sudah terbiasa akan ada kesempatan itu, kan?"
Aku mengendikkan bahu. Jujur, sebagai seorang laki-laki aku berpendapat bahwa senja terlalu berani. Aku ini laki-laki dewasa yang sudah mengerti dan peka dengan perasaan orang di sekitar. Mungkin semenjak sudah menaruh ketertarikan kepadaku. Bukan kepedean. Tapi rasa rasanya project duet ini pun ada kaitanya dengan itu.
Sebetulnya ketika diberitahukan bahwa akan ada project seperti ini, aku menerima karena mengira yang akan menjadi teman duet ku adalah Airin. Mengingat sejak awal kami debut di dunia tarik suara Airin dan aku sudah sering berduet.
Entah mengapa kejadian hari ini, tingkah senja dan juga pengharum mobil beraroma jeruk serasa seperti akan membunuhku pelan-pelan. Kucabut benda yang bergelantungan itu, lantas membuangnya ke tempat sampah. Sudah berkali-kali aku ingatkan Mas Ario untuk tidak membeli pengharum beraroma jeruk.
Meski sudah dibuang, aromanya masih tetap menempel namun setidaknya aku bisa memejamkan mata karena tidak terlalu menyengat.
Entah berapa lama aku terpejam, mungkin baru lima atau sepuluh menit, sampai akhirnya aku kaget ketika Mas Ario datang. Dia membanting pintu tidak slow, tatapannya persis seperti tatapan orang yang sedang murka.
"Lo apain Senja?" tanya Mas Ario.
Demi Venus, drama apalagi ini. Aku merasa tidak melakukan apa-apa selain pamit untuk tidur di mobil.
"Gue gak ngapa-ngapain," sanggahku.
"Buktinya dia nangis," jawab Mas Ario pendek.
"Astaga, Mas! Demi Tuhan gue gak ngapa-ngapain."
"Gue malu sama Tante Ida, belum apa-apa Lo udah bikin Senja bete." Aku tahu Mas Ario tidak akan cukup sampai, bahkan dia tidak menjalankan kendaraan yang kami tumpangi.
"Mas!" Aku membentaknya.
Kubiarkan lelaki di belakang kemudi ini mengoceh. Daripada mati karena stress, aku rogoh kantong celanaku, kemudian memesan jasa taksi online.
Setelah mendapatkan driver, segera aku turun dari mobil.
"Ke mana Lo?"
Sebenarnya terlalu banyak risiko karena aku memilih untuk pulang dengan menggunakan taksi. Tapi bodo amat, Mas Ario tidak ramah, bintang satu untuk dia. Lebih baik naik taksi online dan ngasih bintang lima untuk bapak drivernya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Song
RomanceAndreas lupa, ada hati yang harus selalu dia jaga. Andreas lupa, bahwa hatinya sudah ada yang genggam. Andreas lupa sampai akhirnya genggaman itu hampir terlepas. Di tengah popularitasnya, dia rindu jalan pulang, Andreas memutuskan untuk menyusuri j...