Pudar

31 7 3
                                    

“Masuk akal, sih, kenapa dirahasiakan. Mungkin pas publik tahu, Wow Senja comeback di dunia hiburan. Surprise!!!”

Tumpukan kardus di depan kamar Kakaknya Zhie lebih menarik hatiku ketimbang ocehannya Christina. Selain pusing dengan tebakan-tebakannya tentang teman duet Andreas, aku juga pusing karena mengingat bagaimana Andreas menempelkan pipinya di pipi gadis tadi. Senja yang tidak seindah senja.

“Lo denger gak sih?” ketus Christina ketika melihatku berdiri dan berjalan menghampiri tumpukan kardus.

“Denger, tapi enggak mau tahu, gue. Bodo amat. Zhie, itu kardus apaan?” Ada tiga kardus entah berisi apa, salah satunya tidak ditutup rapat karena kepenuhan. Bukan karena ingin tahu dengan urusan orang, tapi di kardus yang tidak ditutup ada gulungan poster.

“Barangnya Kakak gue yang mau disumbangkan, itu ke panti kota sebelah. Kecuali yang itu kayaknya dibuang,” tunjuk Zhie pada kardus yang memang sedari tadi menarik perhatianku.

“Ini poster, kan?”

Zhie mengangguk, “Kakak gue juga pernah muda kayak kita, Cuma ya beda zaman, kalau kita sekarang sering koleksi photocard, album, lighstick, nah itu koleksi kakak gue, ada kaset, poster dan gak tau lagi apa itu isinya.”

“Boleh gue lihat,” izinku. Zhie mengangguk, dan memberikan masker, katanya takut ada debu dan membuatku bersin-bersin. Sedetail itu memang perhatian Zhie pada setiap orang.

“Bisaan banget mengalihkan perhatian, galau mah galau aja,” ejek Christina.

“Udah deh, Na,” pungkas Zhie.

Ada banyak alasan kenapa aku tidak menanggapi Christina, yang pasti bukan benci. Terakir kali berasumsi tentang Andreas aku sakit sendiri, dan aku yakin kali ini bakalan lebih sakit karena ada kebohongan di dalamnya. Andreas memang memberiku perhatian dengan buket bunga itu, meski dia tidak ada menonton pertunjukan tapi bunga itu lebih dari cukup mewakili kehadirannya di hatiku. Tapi mengapa harus berbohong akan makan malam dengan orang agensi? Kenyataannya aku melihat dengan mata kepala sendiri Andreas datang ke rumah perempuan bernama Senja.

Tumpukan kaset dalam kardus ini aku buka satu per satu, seharusnya benda ini adalah benda penuh kenangan yang disimpan rapi, entah mengapa Kakaknya Zhie lebih memilih untuk membuangnya. Ada tulisan-tulisan khas remaja yang ditulis dalam sebuah note. Rupanya dia memiliki masa remaja seindah masa remaja kita.

“Gue mau live aja di Ig, Da. Ikutan gak?”

“Jangan dulu, makan malam dulu, udah telat. Mami nanti ngomel kalau kita telat makan. Da nanti lanjut bongkar harta karunnya.”

Kami akhirnya makan, duduk berlima bareng kedua orangtua Zhie yang baik hati. Sampai saat ini aku belum bisa fokus dengan berbagai hal, termasuk obrolan di meja ini. Berkali-kali Maminya Zhie bertanya dan aku telat merespon persis seperti orang dongo. Entahlah, potongan-potongan kejadian di depan rumah senja terus saja menghantui diriku.

“Dia lagi sedikit masalah sama pacarnya, Tante, harap maklumi saja.”

“Apaan, sih, Na.”

Kesel, deh, seharusnya Christina bisa membantu bagaimana menyelesaikan masalahku. Atau setidaknya dia punya sedikit empati. Bagiku, itu semua sudah lebih dari cukup. Bukannya malah mempermalukanku di depan mami dan papinya Zhie. Kan malu.

“Jangan sampai masalahmu mengganggu aktivitas, mengganggu hubungan sosial kamu, Da. Galau boleh, tapi jangan lama-lama. Ada masalah adalah sesuatu yang wajar, jangankan kalian yang masih pacaran, Tante sama Om udah setua ini juga kadang masih suka berantem. Kuncinya, tetap saling percaya.”

“Iya, Tante, terima kasih.”

Saat kami selesai makan, aku melanjutkan membongkar kaset-kaset lawas milik Kakaknya Zhie, sementara Christina mulai Live di Instagram.

The Last SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang