Di Bilik Toilet

9 1 0
                                    

Akun Andreas udah ilang, itu artinya aku sama sekali gak punya akses buat memantau Mahda lagi. Sejak teman duetku diumumkan, Mahda seperti sengaja menghindariku. Dichat pun balasnya seadanya. Akun Andreas Malldika itu aksesnya juga barengan sama Mas Ario. Capek banget deh, rasanya gak punya kehidupan media sosial setelah akun pribadiku dihapus itu makhluk.

Ada masa di mana aku kesal dan negur Mahda kenapa sikapnya se-anyep air es. Dia cuma jawab, mencoba profesional sebagai pacarnya penyanyi tenar. Jawaban apaan? Ada masa di mana aku senggang sehari, mau makan bareng eh ada yang ngekor. Demi apa pacarnya Mahda itu aku, bukan dia.

Rey malahan lebih perhatian, lebih nge-treated Mahda sampai aku lihat mereka itu beneran nyata. Oh ... Mungkin ini rasanya saat Mahda liat aku sama Senja.

Seperti hari ini, Mahda gak balas chat sama sekali. Waktu satu jam sebelum perform di salah satu stasiun televisi aku gunakan untuk menghubunginya. Berkali-kali panggilan teleponku ditolak, saat dichat jawabannya cuma satu kata. Sibuk!

"Kak Andre, kenal sama Mahda ya? Kemarin waktu di back stage pas perkenalan Senja itu kan ada dia."

Prima bertanya, aku lirik sekilas lalu mengangguk saja. Asisten dari hairstylistku ini terlihat semringah.

"Waktu kecil saya pengen banget jadi penari kaya dia, sayang gak kesampaian." Dia malah curcol.

"Ngefans?"

"Bangeeeet, tapi kemarin pas liat dia sama cowoknya saya malu mau nyamperin. Kak Andre temennya Mahda atau temen pacarnya?"

Tiba-tiba pusing banget denger pertanyaan dia. Kalau bisa teriak sekencangnya agar dunia tahu kalau pacarnya Mahda itu aku. Sayang, karier aku masih panjang, bukan karena aku yang mau, tetapi selembar surat kontrak itu terlanjur sudah ditandatangani.

"Dua-duanya temen aku, dulu kan satu sekolah sama Mahda sama Rey juga."

"Oh, lulusan sekolah itu, ya, Kak. Akademi akademi apa sih?"

"Iya itu," pungkasku, tanpa berniat meralatnya.

"Untung aja ya akun Ig-nya enggak digembok. Aku suka liat dia perform ih, apalagi pas sama orang bule dari Spanyol itu, Kak."

"Prim!"

Aku dan Prima menoleh ke arah pintu, ada Mas Ario di sana. Memanggil Prima dengan suara tegas, seperti marah karena tak boleh membicarakan Mahda di ruangan ini.

"Dicari Angela," lanjut Mas Ario.

Prima mengangguk, lalu pamit padaku dan pergi menghampiri bosnya. Mas Ario duduk di sebelahku, lelaki itu pasti mau ngomel lagi masalah Mahda, tapi ternyata enggak. Sebagai gantinya dia malah ngasih beberapa jadwal bayangan yang dirancang khusus buat fan service.

"Harus banget begini, ya?" tanyaku. Kalau bisa sih urusan sama Senja hanya di panggung saja. Di luar itu ogah banget, itu cewek kaya kegatelan banget. Bukan kepedean, tapi Senja terang-terangan mengungkapkan keinginan untuk menjalin hubungan di luar hubungan profesional.

"Ayolah, Dre, lo pasti lebih paham masalah ginian. Lagian kan, sekarang kamu gak harus jaga hati orang lain lagi, gak bakalan ada yang cemburu juga."

"Siapa bilang?" tanyaku sinis.

"Ya kan, lo udah putusin si Mahda Mahda itu, kan? Dia bilang sendiri kok waktu itu. Toh dianya juga udah punya cowok lain? Gila ya, nyari tenar, udah nempel sama Lo, dibuang sekarang nempel sama Rey. Tau banget dia mah sumber uang ada di mana."

Brak!! Suara kursi plastik yang kubanting bikin Mas Ario terlonjak kaget. Anjing banget ini orang menghina Mahda seolah-olah dia cewek murahan yang ngincer uangku dan Rey. Lagipula sejak kapan aku putus dan Mahda jadian sama Rey?

"Lo kok marah? Kan udah putus, udah jadi sampah. Udah dipungut sama guru musik yang namanya Rey itu, kan?"

"Anjing Lo!" Sungguh, gak bisa berkata-kata lagi. Aku tinggalkan tempat itu padahal kurang dari tiga puluh menit lagi aku harus segera tampil.

"Mau ke mana, Lo, Dre. Bentar lagi ini giliran Lo." Mas Ario mengejar aku biarkan dia tertinggal jauh.

"Neraka!"

Ya biarkan saja dia marah, ngadu sama mama. Atau gimana, anjing banget pokoknya, aku pengen lari nyari Mahda dan minta memastikan kalau omongan Mas Ario tidak benar

"Mbak!" Aku cegat salah satu tim creative stasiun televisi yang kebetulan mengatur acara ini.

"Loh, Kak Andre bentar lagi, kan gilirannya. Mau ke mana?"

"Maaf, sakit perut, Mbak. Habis aku siapa yang perform?"

"Airin, Kak."

"Good, tukar saja, aku sakit perut, Airin udah siap, kan?"

"Tapi, Kak," protesnya.

"Daripada aku cepirit di panggung?"

Perempuan itu mengangguk, aku langsung melesat ke toilet. Menenangkan diri dari manager sialan yang menghambat segalanya.

Di salah satu bilik toilet, aku terdiam. Gak lucu banget ini berdiam diri di sini. Tapi, lebih baik dibandingkan berdiam dekat Mas Ario. Kublokir nomor lelaki sialan yang terus menghubungiku lalu aku buka akun Instagram.

Sialan, entah mengapa rasa cemburuku pada Mahda dan Rey membuat gelap mata. Apalagi setiap hari disuguhi kebersamaan mereka yang sengaja dibagikan Rey di Instagram storynya.

Ku cari nama Mahda, akunnya tidak digembok. Sayangnya gak ada satu pun postingan terbarunya.

Aku hubungi dia via wa, tetap sama seperti kemarin, bahkan chat yang sebelumnya pun sama sekali tidak ada yang dia buka.

Satu-satunya harapanku adalah Christina. Biasanya dia memang selalu sama Mahda. Nomornya berhasil kutemukan, lalu aku menelponnya.

"Na," panggilku.

"Hei, Ndre, tumben!"

"Mahda ada?" tanyaku, sedikit berbisik karena kudengar ada seseorang masuk toilet.

"Gak tau, Ndre, gue lagi di Bali. Coba hubungi, Zhie."

"Oh ... Oke! Thanks ya."

"Bentar! Lo mau, klarifikasi soal dia sama Rey, kan?"

"Kok tahu?"

"Kenapa gak tanya Rey aja?"

"Mahda sama Rey gak angkat telepon gue."

"Yang pasti mereka emang lagi nyusun rencana buat mengelabui manager Lo. Coba deh tanya Rey."

Kalau itu alasannya aku bisa pertimbangkan. Amarah dan cemburuku tiba-tiba mereda. Emang Rey pernah bilang dia mau cari cara bagaimana agar Mahda tidak diganggu lagi sama Mas Ario. Tapi aku tidak pernah menduga bahwa cara yang mereka lakukan ini benar-benar gila. Bahkan aku pun bisa merasakan hati terbakar, api cemburu itu nyata adanya.

Tapi, mungkin karena ini Karma, karma buatku yang udah bikin Mahda cemburu dan hukuman buatku karena berbohong soal makan malam dengan Senja tempo hari.

"Andreas!"

Suara Mas Ario terdengar panik dan marah, aku flush toilet yang sama sekali tidak aku gunakan. Lalu keluar dari bilik kecil itu seolah-olah memang baru saja habis buang air.

"Lo kekanakan deh!"

"Gue sakit perut, Lo yang mikirnya kejauhan." Ucapku. Lalu aku kembali ke belakang panggung, seraya berusaha tidak mengganggap kalau sebenarnya Mas Ario itu ada.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Last SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang