Andreas
Setiap orang punya mimpi, begitu pun aku. Namun, ada salah satu sangkaan yang benar-benar meleset. Tadinya, kukira melihat wajah sendiri terpampang di baliho pinggir jalan merupakan suatu kebanggaan tersendiri.
Tapi lebih dari itu, bukan hanya bangga, melainkan jutaan perasaan yang sama sekali diungkapkan dengan ucapan. Pencapaian yang dibeli dengan tidur kurang dari enam jam. Pencapaian yang diusahakan dengan terkekangnya kebebasan.
Tentu saja aku tidak pernah berharap apa yang sudah dibangun sejak awal harus kandas. Sia-sia sudah perjuangan di medan perang yang sudah digelutinya bertahun-tahun ini.
Karenanya, ketika Mas Ario datang membawa keluhan dari agensi aku bisa langsung setuju dengan permintaan mereka. Tidak ada akun kedua atau ketiga. Andreas Malldika adalah satu nama yang harus dikenal oleh semua penggemar. Tidak ada lagi Andreas Yinda Pamungkas, ya, sosok itu sudah tidur panjang sejak aku memutuskan untuk menjadikan penyanyi adalah profesi utama.
"Jangan sampai projects duet kamu gagal, Dre. Tolong kesampingkan dulu kehidupan pribadi kamu, jika pacar kamu tidak mau mengerti tinggalkan saja!" pesan Mas Ario, sebelum meninggalkan ruang ganti tempat di mana hair stylist ngacak-ngacak rambutku.
Aku melihat ke depan cermin, dari pantulannya aku melihat punggung Ario menjauh, kemudian tatapanku sekilas bersirobok dengan Angela, penata rambut yang diam-diam iba dengan nasib orang yang duduk pasrah di depannya.
"Sabar, Mas. Turuti saja apa maunya fans, mereka pasti antusias dengan project kali ini, terlebih pasangan duetnya, kan dia."
Senyum masam aku persembahkan untuk Angela.
"Gue udah turuti semua kemauan mereka, tenang saja, gue juga gak mau kelihangan kesempatan emas kali ini. Masalah pacar atau keluarga yang keberatan karena akun ignya nanti gue hapus urusan belakangan. Harusnya kalau sayang mereka dukung gue, dong."
Anggela tersenyum puas, laki-laki berpenampilan seperti perempuan itu mungkin senang karena dengan bertahannya aku di industri ini, maka panjang pula kariernya sebagai seorang hair stylist.
Acara di salah satu stasiun televisi swasta usai menjelang sore, sebelum pindah ke lokasi pemotretan aku meminta Mas Ario untuk mengosongkan jadwal. Ya Mas Ario, sepupuku yang merangkap jadi manager yang selama ini sangat membantu di sepanjang perjalanan karierku.
Dia adalah salah satu orang yang tidak menyukai hubungan asmaraku dengan Mahda.
"Mahda lagi?"
"Mas! Setidaknya gue sudah melaksanakan seluruh kewajiban dengan baik, please gue mohon beri sedikit ruang. Gue juga punya kehidupan pribadi yang udah dikesampingkan. Gue cuma mau makan bareng Mahda. Gue juga akan pastikan dia bisa menjaga rahasia hubungan kami."
Mas Ario mendesah frustasi, aku tahu, dia bukan menekanku, aku sudah terlanjur terikat kontrak dengan agensi. Mau tidak mau semua harus dipatuhi.
Untungnya, Tuhan maha Baik. Sejak awal dia sudah mengirimkan sosok yang selalu mengerti, kami saling mendukung dalam berbagai hal, kami saling percaya dan pastinya saling mencintai.
Hari ini dia semakin cantik, aku bisa melihat dari senyumnya saat menyambut kedatanganku di cafe ini. Seperti biasanya Mahda memesan jus mangga tanpa gula, dia menolak memesan makanan karena sedang menjaga berat badannya.
Untuk seorang penari, memiliki tubuh yang ramping adalah sebuah kebutuhan penting. Aku sudah tahu betul bagaimana Mahda menjaganya, bagaimana perempuan cantik di hadapanku menjaga pola makan dengan baik.
Pramusaji yang berlalu lalang mengantarkan pesanan menjadi fokus perhatianku. Bukan, bukan karena ingin mengalihkan perhatian, hanya saja sedang berusaha menghindari tatapan mata Mahda.
"Da." Cepat atau lambat Mahda harus tahu. Atau mungkin dia memang sudah mengetahuinya, dia bahkan tidak pernah rela hari liburnya diganggu.
"Andreas!"
Tatapan Mahda menyiratkan bahwa dia tahu segalanya. Haruskah merasa bersalah, aku rasa tidak, masa depan tidak bisa digadaikan dengan mempertahankan akun yang jika dipikir-pikir sudah tidak diperlukan lagi.
"Kamu duluan, deh," ucap Mahda suaranya selalu seriang itu. Matanya bersinar, selalu ada kehangatan dan kedamaian dari tatapannya. Sejak pertama kali mengenalnya sampai saat ini Mahda tidak pernah berubah.
"Maaf." Tenggorokanku tercekat. Aku jadi bertanya dalam diri, sebenarnya ikhlas tidak, sih kehilangan akun. Ehm ... Maksudnya menghapus akun.
"Aku harus menghapusnya." Pemilik mata sewarna madu itu tersenyum hampa. Ada genangan di pelupuk matanya. Ah, sialan, aku sudah membuat dia menangis.
"Why?"
"Agensi yang minta, akun itu udah tercium oleh beberapa fans, agensi tahu itu dan cukup marah. Kamu tahu, kan, project duet belum rilis, jangan sampai ada gosip miring tentang aku." Kami sedang mengerjakan project duet, ini sudah direncanakan dari enam bulan yang lalu, para fans bahkan sudah tidak sabar menunggu debut kami.
"Dre, jadi hubungan kita ini hanya gosip?" Aku tidak menyangka Mahda punya pikiran sempit seperti itu, padahal biasanya dia selalu bersikap bijak dan dewasa.
"Da, kamu seperti orang yang awam dalam dunia hiburan saja, kamu gak usah kebanyakan mikir, yang penting, kan hati aku tetap ada buat kamu." Kekesalan memuncak, selama ini aku yang selalu berusaha untuk mengerti dia, kini saatnya aku yang dimengerti oleh Mahda, apa susah?
Lihatlah betapa kekanakannya dia, sekeras apa pun aku memanggilnya, Mahda tetap pergi. Bahkan saat pesanan makananku saja belum sampai di meja.
Sialnya, aku pergi tidak membawa kendaraan, dan Mahda meninggalkanku begitu saja.
Jadi kepikiran apa kata Mas Ario, "Tolong kesampingkan dulu kehidupan pribadi kamu, jika pacar kamu tidak mau mengerti tinggalkan saja!"
Kepergian Mahda membuatku harus pulang menggunakan taksi online. Memakai hodie di tengah teriknya matahari sore demi menghindari kejaran fans.
Bukannya seharusnya seorang pacar itu mampu membahagiakan dan menenangkan? Jika seperti ini masihkah harus disebut pacar? Masih bisakah sejalan dengannya?
Mas Ario menyambutku dengan wajah kesal, dia tahu aku akan mendapatkan masalah gara-gara penghapusan akun.
"Lo masih bisa milih, nurut apa kata pacar Lo, atau Lo ikuti arus saja, selamatkan karier yang selama ini lo perjuangkan."
"Mahda gak pernah nuntut apa-apa sama gue."
Pintu jati yang berdiri tegak di hadapanku terbuka, ruangan ini lantas menyergapku dengan berbagai kesibukan di dalamnya, sederet peralatan syuting dan pemotretan sudah terpasang di salah satu sudut ruangan.
"Mas Andreas, pemotretan akan dimulai tiga puluh menit lagi, mohon untuk bersiap."
"Baik, akan saya persiapkan." Mas Ario yang menjawab. Aku terlalu malas dan lelah.
Malas memikirkan tingkah Mahda yang terlalu kekanakan.
Pemotretan memakan waktu kurang dari dua jam, dan pekerjaan masih belum selesai. Aku masih harus menyelesaikan job hari ini, menyanyi di salah satu acara pembukaan galeri perhiasan milik istri pejabat di kota ini.
Sendiri, sendiri ku diam
Diam dan merenung
Merenungkan jalan yang kan membawaku pergi
Pergi tuk menjauh, menjauh darimu
Darimu yang mulai berhenti
Berhenti mencoba
Mencoba bertahan
Bertahan untuk terus bersamakuInilah kali pertama, di sepanjang karierku, aku tidak bisa melanjutkan sebuah lagu.
Bukan berarti tidak hafal lirik karena lagu ini milik orang lain, tetapi sebagai seorang penyanyi Aku harus bisa menuruti permintaan untuk menyanyikan lagu ini dengan profesional.
Aku tak sanggup melanjutkan, karena syairnya menunjukkan apa yang sedang aku alami saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Song
RomanceAndreas lupa, ada hati yang harus selalu dia jaga. Andreas lupa, bahwa hatinya sudah ada yang genggam. Andreas lupa sampai akhirnya genggaman itu hampir terlepas. Di tengah popularitasnya, dia rindu jalan pulang, Andreas memutuskan untuk menyusuri j...