Andreas
Keluar dari kediaman Senja, taksi online membawaku dengan perlahan. Driver lebih ramah dibandingkan Mas Ario, bener-bener layak diberi bintang lima. Jempol pokoknya. Satu hal yang baru aku sadari setelah keluar dari rumah besar itu adalah kompleks yang tidak asing. Aku pernah ke sini dua atau tiga kali bersama Mahda.
“Pak, bisa pelan dikit, rasanya saya tahu daerah ini.” Aku mencoba untuk melihat apakah ingatanku benar atau Cuma hanya kebetulan saja.
Namun, ingatanku ternyata tidak salah. Ini memang komplek perumahan Zhie. Yang mana rumah-rumah mewah berhalaman luas, berpagar tinggi dan dilengkapi dengan penjaga keamanan.
“Pak berhenti sebentar bisa?” pintaku yang langsung dikabulkan oleh sopir berusia matang tersebut.
Apa ke sini saja kali, ya, Zhie dekat dengan Mahda. Zhie juga sering kami jadikan teman curhat bersama. Perempuan itu pasti punya solusi untuk masalah setiap orang. Namun, aku berpikir ulang, mungkin sebaiknya kembali pada rencana awal. Malam-malam datangin rumah cewek kan gak baik juga, lagipula ini lokasi masih dekat dengan rumah Senja. Mas Ario bisa saja mengikuti.
Rencananya aku mau ke Asrama Sekolah Musik, bertemu dengan Rey. Hanya dia satu-satunya teman laki-laki yang saat ini bisa ditemui. Sepanjang perjalanan menuju sekolah sopir seperti tahu bahwa aku sedang dalam mode gak karuan. Dia sengaja memutar beberapa lagu yang membuatku kembali bersemangat, alunan musik sayup-sayup terdengar memenuhi seisi kabin mobil. Jadi kangen momen berkendara bareng Mahda. Dia suka sekali dengan lagu-lagu yang lagi viral di tiktok. Dia juga suka K-Pop, kadang kami debat-debat perkara K-Pop ini. Perdebatan yang kini aku rindukan.
Memasuki kawasan sekolah setelah sekitar satu setengah jam lebih berkendara laju mobil mulai melambat. Sopir membawaku dengan selamat sampai bertemu dengan Rey yang menunggu di gerbang masuk sekolah.
“Mimpi apa gue kedatangan penyanyi nomor satu di Indonesia?” Rey menyambutku dengan candaannya.
“Dih, gak usah lebay gitu, Rey. Sorry malam-malam gini datang ganggu tidur lo.” Aku memahami Rey harus tidur lebih cepat mengingat pagi-pagi sekali harus mengajar. Aku tahu kedatanganku waktunya gak tepat, tapi rasanya saat ini aku gak punya tempat untuk pulang. Sudah banyak sekali panggilan dari Mas Ario juga nyokap. Mereka pasti sedang panik nyariin.
Untung Rey pengertian, dia bisa membaca bahwa aku sedang butuh teman untuk bicara. Sambil berjalan melewati gerbang kami bertukar kabar. Sharing seputar kegiatan yang dilakukan setiap hari. Dan tampaknya Rey terlihat lebih bahagia dibandingkan aku. Ya, dia terlihat jadi dirinya sendiri, tidak takut dengan lemak di sekitar perut dan pipi.
Aku membawanya ke Gazebo, tempat di mana kami dulu sering menghabiskan waktu. Tidak ada yang berubah selain warna cat. Hamparan rumput pun masih sama hijaunya, terlihat begitu menenangkan mata. Untuk pertama kali dalam hidupku, aku merasa iri dan ingin bertukar posisi dengan Rey.
“Apa yang membawa lo sampai jauh-jauh datang ke sini?” tanya Rey, dia nyodorin air mineral yang memang selalu ada rak di sudut Gazebo.
“Gue lelah Rey pengen berhenti aja?”
“Sama Mahda?” Mata Rey membulat kaget.
“Kok Mahda?”
“Lo lagi berantem sama cewek lo?” Rey berusaha meyakinkan.
“Gosip dari mana?”
“Cuma nebak aja, kirain abis makan malam trus berantem.”
“Gue emang abis makan malam, bukan sama Mahda, sama seseorang yang menyebalkan. Mungkin hidup gue gak bakalan tenang karena gue gak bisa usir orang menyebalkan itu dari hidup gue.” Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya. Rey belum boleh tahu siapa orang ini. Tapi jika tidak diceritakan rasanya sia-sia aku bercerita panjang lebar pada Rey.
“Lantas lo pengen berhenti dari apa?”
“Nyanyi,” jawabku pendek.
“Lo punya mimpi, lo beruntung karena jadi salah satu orang yang bisa mewujudkan mimpi itu dengan mudah. Lo punya cewek cantik, lo punya kehidupan yang diimpikan oleh semua orang. Bodoh banget kalau ada masalah dikit aja lo kepengen nyerah.”
“Gue merasa gak jadi diri sendiri. Kadang gue sering bertanya, untuk apa gue lakuin semuanya sementara untuk jalan sama cewek gue pun harus sembunyi-sembunyi. Gue beneran lelah, jika boleh milih, gue lebih milih jadi orang biasa aja. Atau kayak lo di sini, mengabdikan diri menjadi tenaga pendidik.”
“Lo di sini gak bakalan betah sampe dua bulan gue tebak. Gak akan ada kebebasan yang bisa lo dapet seperti di luaran sana. Udahlah, kita punya jalan masing-masing. Lo hanya sedang ketemu sama batu sandungan, lo jatuh lo bangkit, dong. Lo lagi capek, ambil waktu lo, tapi bukan berarti harus berhenti.”
Rey menepuk bahuku, bersimpati. Setidaknya Sharing dengan Rey memberikan sedikit ketenangan dan pencerahan.
“Lo kapan ada libur?” tanya Rey.
“Belum tahu, besok pagi aja gue udah harus kerja lagi. Padet banget.”
“Coba minta waktu satu hari atau setengah hari. Ajak Mahda duduk berdua, kalian kayaknya butuh ruang untuk ngobrol banyak.”
“Dari awal lo kenapa nebak gue dan Mahda lagi ada masalah, sih?”
“Mata lo gak bisa bohong, Dre. Mahda adalah pusat kebahagiaan lo, jika ada masalah di kerjaan harusnya Mahda bisa memberikan kebahagiaan dan jadi orang yang bisa lo ajak sharing, bukan gue.”
Aku mengangguk. Bahkan sampai saat ini aku memang belum bisa membalas pesan-pesan Mahda. Sampai sekarang aku terlalu takut, terlalu cemen untuk mengambil risiko ketahuan kalau menemui dia. Dan benar, Mahda adalah pusat kebahagiaanku, tetapi sekarang semakin menjauh. Itu karena aku sendiri yang mendorongnya untuk pergi menjauh.
“Itulah alasan kenapa gue lebih milih berhenti nyanyi daripada harus berhenti mencintai Mahda. Tapi kini keadaan bener-benar maksa kami untuk menjauh. Gue tersiksa, gue gak bisa begini terus, Rey.”
“Jika satu-satunya kebahagiaan lo adalah bertemu dengannya, temui dia, Dre. Jangan jadi pengecut. Jangan sampai ada orang yang ambil kesempatan deketin dia."
Perasaanku sangat tidak karuan. Ada dilema yang tidak bisa aku lalui. Inilah yang sering disebut orang dengan makan buah simalakama. Tidak manis, tidak pahit tapi nyakitin. Satu wajah melintas di hadapanku, Mahda dengan mata sendunya.
“Lo mau nginep?”
“Lo ngusir?”
Satu jitakan mendarat di kepala, tidak sakit, sih lebih ke gemas. Rey kemudian menyerahkan kunci mobil.
“Lo kalo mau nginep ayo, kalau mau pulang, bawa aja mobil gue.”
Hari memang sudah larut, mau tidak mau aku mengambil kunci mobil dari tangannya. Tidak salah aku datang ke tempat ini, karena pada akhirnya aku menemukan alasan untuk bertahan. Aku tanamkan dalam hati, Mahda adalah pusat kebahagiaanku. Aku bisa kuat karena dia. Aku mampu bertahan demi dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Song
RomanceAndreas lupa, ada hati yang harus selalu dia jaga. Andreas lupa, bahwa hatinya sudah ada yang genggam. Andreas lupa sampai akhirnya genggaman itu hampir terlepas. Di tengah popularitasnya, dia rindu jalan pulang, Andreas memutuskan untuk menyusuri j...