BAB 24: Selanjutnya Bagaimana?

35 6 4
                                    

Agni baru saja menutup buku catatan kimianya saat Devia menarik tangannya keluar kelas. Tanpa berkata apapun, teman sebangkunya itu menariknya menuruni tangga lantai 2 lalu berbelok menuju koridor yang mulai ramai dengan siswa yang berhamburan keluar kelas karena bel jam istirahat baru saja berbunyi.

"Heh, lo mau bawa gue kemana?" tanya Agni heran karena bahkan saat mereka sudah berbelok ke barisan kelas 12 MIPA, Devia belum juga menyebutkan tujuannya.

"Ke kelasnya Malvin" balas teman bangkunya itu tanpa menoleh, "Tadi sebelum keluar kelas, Pak Wira nyuruh gue buat manggil perwakilan kelas Malvin. Emang lo engga liat tadi?"

Agni menggelengkan kepala, "Wakil kelas Malvin? Buat apaan?"

Devia mengedikkan bahu malas, "Tauk. Buat ambil hasil laporan pratikum Kimia kali. Seingat gue kelas Malvin ada pelajaran kimia di jam terakhir nanti"

"Terus? Ngapain lo narik gue buat ikut? Kan elo yang disuruh" kata Agni dengan nada keberatan. Kelas Malvin berarti kelas Raga juga. Duh, Agni masih belum siap harus bertemu dengan pemuda itu. 

"Lo tadi bilang mau minjem buku di perpus kan? Nah, sekalian aja. Toh, kelasnya si Malvin sama Raga, bakal dilewatin juga buat ke perpus"

"Tapi jadinya kita jalan jauh, Devia. Kita mesti mutarin koridor kelas 11 MIPA dulu buat ke perpus, padahal kalau lewat lapangan atau lewat kelas 10 lebih deket" sewot Agni.

Devia melambatkan langkahnya dan menoleh ke arah Agni dengan wajah bingung, "Lo aneh deh. Baru kali ini lo ngeluh soal jarak perpus dan kelas Malvin. Kemarin-kemarin lo bolak-balik kelas kita dan ruang kesenian yang lebih jauh, engga pernah protes"

Karena kemarin-kemarin engga ada yang perlu gue hindarin, jawab Agni dalam hati. 

Agni menghela nafas diam-diam. Kalau begini, upayanya menghindari Raga akan gagal total. Padahal seminggu ini dia sudah berusaha menghindari kantin terutama di jam istirahat pertama—karena Raga dan Malvin rajin banget nongkrong di istirahat pertama. Dia juga menghindari gerbang depan dan lebih memilih lewat gerbang belakang sekolah—walau harus memutar cukup jauh dari kelasnya yang sekarang. Semuanya semata-mata demi menghindari bertemu langsung dengan pemuda bernama Raga.

"Lagipula, emang lo engga mau ketemu Raga? Engga kangen? Seminggu ini kita jarang ketemu dia karena sibuk try out dan dia juga kayaknya lagi sibuk ngurus sesuatu" lanjut Devia lagi, kembali mengarahkan tatapannya kedepan—sehingga tidak sempat melihat wajah merengut milik Agni.

Bohong jika Agni bilang tidak merindukan pemuda itu. Apa lagi setelah kecelakaan itu, Raga dan Agni hampir selalu bersama. Tapi sekarang ini Agni merasa... takut. Takut tidak bisa mengendalikan dirinya dengan baik di depan pemuda itu. Sejujurnya sampai detik inipun hatinya masih sangat sakit jika mengingat kejadian di mall tempo hari. Kalau dirinya tiba-tiba menangis di depan Raga bagaimana? Agni pasti tidak akan tahu cara menjelaskannya pada Devia jika itu benar-benar terjadi.

Mereka berdua sudah sangat dekat dengan pintu kelas Malvin dan Raga saat Devia melepaskan cengkaramannya dari pergelangan tangan Agni. Devia bersenandung pelan sebelum melongokkan kepalanya untuk melihat situasi kelas, sementara Agni menyusul dibelakangnya sembari menyeret langkahnya yang tiba-tiba terasa sangat berat.

Tidak lama, Devia menoleh kearah Agni, "Kelasnya sepi banget, cuma ada Raga doang masa" katanya.

Agni menggigit bibir bawahnya. Berita buruk, bisiknya dalam hati.

Dia lalu mundur selangkah dan dengan cepat menyembunyikan kedua tangannya dibalik punggung begitu membaca gerak tubuh Devia yang bermaksud mengajaknya masuk ke dalam kelas untuk menghampiri Raga.

"Lo aja yang masuk, gue mau ke perpus" katanya begitu Devia menatapnya dengan dahi berkerut bingung.

"Temenin gue ya? Bentar aja. Setelah itu kita ke perpus bareng, gue juga mau pinjem buku kok" bujuk Devia.

RECALL (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang