BAB 19: Perlu dan Tidak Perlu

45 6 5
                                    

Agni sedang duduk bersila di tepi lapangan, memperhatikan Malvin dan beberapa rekannya sesama anak kelas 12 yang sibuk mengajarkan cara shooting pada anak-anak kelas 10. Dia menghela nafas bosan. Sudah setengah jam sejak dirinya selesai melatih tim musikalisasi puisi yang baru—menggantikan Bu Winda yang tidak bisa hadir hari ini—dan Malvin belum juga selesai dengan ekskul basketnya. Kalau bukan karena kedua kakaknya yang kompak menyuruhnya untuk pulang bersama Malvin, dirinya pasti sudah pulang sejak tadi dengan kendaraan online.

Baru saja Agni berniat mengeluarkan handphonenya dari tas, Malvin datang menghampirinya dengan wajah yang dibuat memelas. Dia memicingkan mata curiga begitu Malvin sudah duduk tepat di sebelahnya seraya mengipasi wajah dengan kedua tangan.

"Par, beliin air dong"

Masih dengan mata memicing, Agni membalas tanpa hati. "Ogah!"

"Tega banget sih lo" keluh Malvin penuh drama.

Agni balas memutar matanya malas, "Bodo amat!"

Mendengar penolakan mentah-mentah Agni, Malvin menaikkan salah satu alisnya lalu berseru kepada empat temannya yang berjalan menyusulnya, "Agni mau ke kantin nih, ada yang mau nitip minum engga?"

Seruan itu dibalas dengan senyum sumringah disertai seruan bahagia teman-temannya. Malvin kembali menoleh pada Agni dengan senyum menyebalkan.

"Tolong ya, Ipar" kata Malvin seraya menyodorkan selembar uang berwarna merah.

Agni mendelik dengan wajah keberatan tapi tidak bisa menolak karena teman-teman Malvin sudah keburu duduk di sekitarnya dan mengucap terima kasih. Akhirnya dengan berat hati dia bangkit dan mengambil uang dari tangan Malvin. Dia masih sempat mengirimkan tatapan kesal pada Malvin—yang dibalas dengan senyum kemenangan oleh pemuda itu—sebelum menyeret kakinya menuju kantin.

"Awas aja, besok-besok gue bales!" gerutu Agni sembari berjalan menyusuri koridor utama dan berbelok ke kantin yang sudah sepi. Maklum saja, hari sudah sore dan kebanyakan anak-anak ekskul sudah pulang sejak tadi.

Masih dengan perasaan dongkol, Agni mengambil beberapa botol air mineral sekaligus dari lemari pendingin di stand minuman dan berjalan menuju meja kasir.

"Engga ada uang kecilnya, Neng?" tanya sang ibu kantin saat Agni meletakkan belanjaannya dan menyodorkan uang berwarna merah dari balik saku celananya.

Agni hanya membalas dengan gelengan kepala tanpa suara. Si ibu mengeluh pelan lalu kembali sibuk memeriksa laci kasirnya.

Saat menunggu si Ibu menyiapkan kembaliannya, ekor mata Agni menangkap bayangan layar televisi yang berada tepat di belakang kasir. Tivi layar datar itu menampilkan dua pembawa acara infotainment yang dengan intonasi khas mengabarkan mengenai konferensi pers secara live yang sedang dilakukan oleh Nuraga.

Mendengar nama Raga disebut, tanpa sadar fokus Agni teralih seluruhnya pada layar tivi di depannya. Dia bahkan tidak menanggapi saat ibu kantin pamit ke stand sebelah untuk menukar uang.

Agni diam-diam berusaha mengingat obrolannya dengan Raga semalam. Seingatnya, pemuda itu memang memberitahu Agni kalau pagi ini ia akan menghadiri pemeriksaan terkait kasus kecelakaan dan kepemilikan narkotika yang menimpanya, tapi Raga sama sekali tidak menyinggung tentang konferensi pers.

Gambar tivi yang awalnya menampilkan sebuah studio indoor, beralih menunjukkan sebuah ruangan yang sudah dipenuhi dengan wartawan. Beberapa dari wartawan itu terlihat duduk dan beberapa lainnya—yang berada di barisan ujung—nampak berdiri dan berdesak-desakan dengan kamera handphone yang sudah stand by serta terarah pada lima orang yang berdiri beberapa meter dari para wartawan.

RECALL (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang