Arga memakirkan motornya di sebuah pemakaman. Setelah mengantarkan Bulan ke rumah rasanya malas sekali bagi Arga untuk balik ke rumah. Arga ingin bercerita kepada sang Ibunda walaupun sang Ibunda hanya dapat mendengar tanpa merespon cerita buah hatinya.
Arga berjalan mencari sebuah batu nisan bernama Raisa Andriana dan duduk disamping nisan tersebut. Hati Arga terasa sesak melihat nama yang terukir di nisan tersebut. Inilah alasan mengapa dia jarang mengunjungi Bundanya.
Arga mengusap pelan nisan tersebut, sebelah tangannya menahan sesak didadanya.
"Assalamualaikum Bunda," Ucap Arga.
"Bunda apa kabar, Aga kangen sama Bunda," Arga kembali mencoba menstabilkan tekanan jantungnya, sulit sekali.
Aga merupakan panggilan sayang Bunda Arga untuk Arga. Arga mengepal tangannya kuat menahan sesak.
"Bunda tau gak, tadi Aga di keluarin dari sekolah nda. Ya gegara Aga berantem sama Bintang," Arga tersenyum sinis mendengar ucapan sendiri tanpa respon sedikit pun dari sang Bunda. Arga yakin jika Bunda ada masih hidup pasti Bunda sudah memarahinya abis-abisan.
"Ya, lagian Bintang tu cari masalah sama Aga. Bulannya Aga digangguin terus jadinya Aga marah, nda. Padahal dulu mereka dekat banget, tapi semenjak kejadian itu hubungan mereka renggang. Aga kasian sama Bulan nda, selalu dibully disekolah. Belum lagi di rumahnya nda."
"Tapi Aga sekarang harus pindah sekolah Nda, Aga gak bisa bantuin Bulan lagi kalo di bully di sekolah," Arga menundukkan kepalanya, memori ingatannya berputar ketika Bulan dibully disekolah.
"Tapi Aga yakin Nda, dibalik kuatnya penjagaan Aga buat Bulan, tuhan pasti lebih kuat jaga Bulan kan Nda? Lebih hebat dari superhero Arga kan Nda? Sama kayak tuhan jaga Bunda saat Arga gak bisa disamping Bunda." Ucapan Arga terhenti, cairan bening berhasil lolos dari matanya. Arga menangis tersedu-sedu.
"Walaupun pada akhirnya tuhan milih buat jaga Bunda selamanya sama dia, Bunda diambil jauh dari Aga," Isakan tangis Arga semakin menjadi-jadi. Mungkin ini pertama kali bagi Arga menangis setelah kepergian sang Bunda.
***
Setelah Arga mengantarkannya pulang, Bulan masih mengurungi dirinya dalam kamar. Kepala Bulan terasa sakit, mimisannya datang kembali dengan jumlah yang begitu hebat, sedari tadi dirinya didepan wastafel menggankat wajah agar darah yang mengalir di hidungnya berhenti.
Bulan melihat dirinya dalam pantulan cermin dihadapannya. Denyutan di kepalanya menjadi-jadi, Bulan sangat anti melihat darah. Apalagi darah itu darah yang segar dan mengalir seperti sekarang.
Prang-!!
Cermin dihadapan Bulan kini telah pecah berderai karena tijuan dari tangan Bulan. Sekarang wajah Bulan tak lagi terlihat dicermin. Aliran darah dari hidungnya juga tak terlihat lagi.
Bulan menyandarkan dirinya di wastafel, sekarang dirinya terkulai lemah di lantai. Dirinya berteriak sekeras mungkin, namun tak satu orang pun mempedulikannya. Bulan meremas rambutnya kuat, berharap rambutnya lepas dari uratnya.
***
Arga memasuki rumahnya dengan tersenyum gembira. Arga mendekati papanya yang sedang sibuk berkutik dengan laptopnya."Assalamualaikum pa, Aga pulang." Ucap Arga sambil menciumi tangan sang Papa.
"Waalaikumsalam," Balas Denny.
Arga memutar pandangannya melihat seisi rumah yang begitu hening.
"Adek-adek kemana Pa?" Tanya Arga, bingung.
"Adek-adek pergi sama Bi Ara ke rumahnya, bentar lagi pulang kok," Ucap Denny yang masih berkutik dengan laptopnya.
Arga yang mendengarnya merasa lega. Dirinya yang sudah beranjak 17 tahun, dirinya masih memiliki dua adek yang kecil-kecil yang harus ia jaga. Berharap sang Papa? Sang empu saja sangat sibuk dengan pekerjaan. Untungnya Arga memiliki Bi Ara yang menjadi pengganti Bunda untuk adek-adeknya ketika Arga sekolah.
Arga merebahkan dirinya diatas kasur. Pandangannya menatap langit-langit kamar. Hiasan bintang, bulan dan benda angkasa dilangit-langit kamarnya. Terlebih untuk Arga sang pencinta astronomi.
Arga meraih tasnya, mengambil benda pipih dari saku tasnya. Baru saja Arga hendak membuka handphone nya, terlihat notifikasi dari nomor yang tak terkenal.
+6283190******
|Gue minta maaf
|Lu dikeluarin ke sekolah gegara gue
| Sekali lagi sorryArga tersenyum, sudah dipastikan itu pasti nomor Bintang. Sudah lama sekali mereka tak berkomunikasi setelah kejadian mematikan itu.
Arga mengerakan jarinya membalas pesan dari Bintang. Walaupun terdapat gengsi, tetapi ia berusaha melawan bisikan syaitan tersebut.
Novaleo Learga
Ya gue juga|Arga kembali memejamkan matanya. Menikmati angin sepoi dari taman disamping kamarnya. Baru saja nyaman dengan posisinya, sebuah panggilan dari handphone nya berdering.
Dengan malas Arga menggankat telepon tersebut.
"Iya?"
"Bulan berhenti Ga,"
Seketika, dunia Arga berhenti dadanya terasa sesak, setelah tadi lega bercerita kepada sang ibunda, kini pikirannya melayang memikirkan wanitanya.
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
UMBRELLA
Teen Fiction⚠️ JANGAN MANDANG ANGKA BARU PEMULA BIASA BELUM BANYAK YANG BACA. KALO ANTUM BACA DAN BANTU PROMO NANTI JUGA BAKAL BANYAK KALI⚠️ "Gue emang nggak diizinin tuhan ya buat bahagia," -Rembulan Asera Leisha "Asumsi lu salah, lu bahagia kok. Gue yang baka...