Pagi-pagi sekali si bungsu dari keluarga Lee menyeret sepedanya lalu keluar dari pagar rumah dengan topi hitam yang tersangkut di tangan kiri. Setelah memakai topi ia kemudian menaiki sepeda dan pergi mengelilingi komplek.
Kebiasaannya yang satu ini sepertinya tak akan pernah berhenti dan hal itu membuat sang kakak yang sedari tadi berdiri di atas balkon tersenyum kecil. Sembari menyesap kopi hitam ia terus memperhatikan adiknya dari kejauhan. Heeseung adalah yang paling tahu pukul berapa sang adik bangun dan akitifitas apa saja yang akan si bungsu itu lakukan. Karena suara alarm milik Nara memang sebising itu hingga membuatnya ikut terbangun dengan wajah setengah maklum dan setengah gemas.
Dari sekian banyak hal yang ia tahu tentang adiknya, Heeseung tak pernah menduga jika sang adik akan jauh lebih kapabel dalam menggunakan isi kepalanya ketimbang isi hatinya. Berbeda dari gadis lain, adiknya itu mungkin suatu saat nanti akan memiliki kehidupan monoton dan berakhir dengan kehidupan perjodohan. Sebab terkadang, dia tak mau mendengarkan isi hatinya dan terus berpegang teguh pada bagaimana logikanya bekerja.
Meski mereka terlahir dari rahim yang berbeda, Heeseung pikir jika wataknya menurun pada gadis kecil itu entah bagaimana caranya. Dilihat dari bagaimanapun sikap dan sifat ibu Nara sepertinya malah berbanding terbalik dengan siapapun di rumah ini.
"Dia pasti meninggalkan ponselnya." Heeseung menyimpan benda pipih itu ke dalam saku pajamasnya setelah melihat pesan yang ia kirim tak kunjung dibaca oleh satu-satunya gadis kecil di rumah mereka itu.
Nara mengayuh sepedanya pelan setelah memacu begitu cepat hingga keringat mulai membasahi pelipisnya. Di jalan yang sering ia lalui, Nara selalu mengayuh dengan pelan tepat di depan rumah seseorang. Hanya berjarak lima buah rumah dari tempat tinggalnya dan masih satu blok, Nara kemudian mengangkat kedua alisnya sebagai sebuah sapaan ketika melihat seseorang keluar dari pagar rumah dan sudah mengenakan seragam sekolah yang tak dikancing.
Sebagai balasan, Niki menarik ujung bibirnya ke samping. Bukan sebuah senyuman atau sebuah seringaian. Hanya sebuah sapaan balasan. Ia kemudian pergi berjalan kaki. Dan Nara juga telah berlalu menuju arah yang berlawanan.
"Sepatu merahnya membuat sakit mata," gumam Nara ketika terpaan sinar mentari mulai menyusup ke dalam kulitnya bersama angin segar yang berembus.
Ketika melewati taman Nara berhenti dan melihat Niki tengah berjongkok di atas sebuah bangku panjang dengan lengan yang berada di atas lutut. Tampak acuh tak acuh dengan wajah yang datar seperti biasanya.
"Sudah berapa putaran?" Niki memulai pembicaraan.
"Kurasa empat?" jawab Nara melepas topinya lalu mengibaskannya pada wajah yang berkeringat.
"Kurasa kamera di depan pagar sedang rusak." Niki menatap Nara dengan serius.
"Lalu? Kau mau apa?" Nara memicingkan matanya. Lantas mengedarkan pandangan pada sekeliling. Tampaknya tempat itu begitu sepi dan tak seorang pun yang melewati. Selalu seperti itu dan karena hal itulah mereka kini berada di sana.
"Entahlah, mungkin tak apa jika kau mau mengantar sesuatu." Niki memainkan kukunya tanpa melihat raut Nara yang masam.
"Makanya beli sepeda dan beli apa pun yang kau mau sendiri!" omel Nara melempar tatapan tak suka pada si keturunan Nishimura itu.
"Ini, ambil!" Niki melempar sesuatu hingga membuat Nara nyaris oleng karena harus menangkap lemparan sekaligus menahan sepedanya.
"Yak! Kau mau kulempar sepeda?!" pekik Nara lantas mendengus kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anathema
Fanfiction"Jika aku tak kembali, sebaiknya hiduplah dengan kebahagiaan. Namun, jika kau tidak melakukannya, aku akan kembali dengan seluruh hidup yang aku punya." "Untuk apa?" "Mungkin untuk menjalani kutukan bersamamu," 25/01/22 Author's note: Ini bukan cer...