Chapter 5

32 3 0
                                    

Niki menggenggam tangan Nara dengan kuat ketika kerumunan orang-orang mulai mendesak tubuh mereka. Nara mengikutinya dari belakang lantas meremat jaket Niki di bagian pinggang karena merasa sedikit terkejut oleh keadaan yang tak terkontrol. Yang dapat ia lihat hanyalah sepatunya dan sepatu Niki yang nyaris bertabrakan. Nara tak berani mendongakan wajahnya apalagi menoleh ke samping karena padatnya jalur untuk keluar.

Niki merasa hal ini tak dapat dibiarkan lagi karena tubuh orang-orang mulai berdempetan dan menyentuh satu sama lain. Niki kemudian membalikan tubuhnya hingga dengan spontan ia seperti tengah memeluk Nara lalu menahan tubuh orang yang di belakang agar tak menyentuh gadis itu sama sekali. Nara hanya diam sembari menahan napasnya, tangannya kemudian meremat jaket Niki dan mengikuti interupsi pemuda itu untuk berjalan ke samping. Tepat di depan pagar pembatas Niki mengetatkan genggamannya pada bilah besi berwarna perak hingga tubuh Nara tak menyentuh siapa pun bahkan dirinya sendiri. Niki mengurung Nara dengan kedua tangannya lantas menatap gadis itu dalam diam.

Satu hal yang meruntuhkan bebannya yang menumpuk adalah benda yang kini dipegang oleh Nara tak mendarat di atas es seperti apa yang ia takutkan baru saja. Dari balik maskernya Niki tersenyum kecil lantas dengan cepat mengapit kedua belah bibirnya agar senyum itu tak cepat naik ke ujung matanya.

"Apakau sedang tersenyum?" tanya Nara setengah mendongak. Maniknya bersirobok dengan sabit milik Niki.

"Tidak," jawab Niki lantas mengedarkan pandangannya ke sembarang arah.

"Tidak kusangka sepadat ini," keluh Nara menguyel boneka jerapah yang tak lepas dari tangannya sedari tadi.

"Tentu saja karena ini adalah arenanya atlet nasional,"

"Jujur saja Sunghoon itu sangat keren, rasanya aku akan menangis karena bisa melihat pertunjukan seperti itu secara gratis," celetuk Nara dengan mata yang berbinar.

"Tch, dasar wanita!" Niki berdecih ria karena kalimat menjengkelkan dari mulut Nara.

"Apa??!!! Di mananya perkataanku yang salah?" hardik Nara tak terima.

"Sunghoon memang keren, apakau mulai tertarik padanya? Ternyata seleramu boleh juga," Niki merasa tidak senang, tetapi hal yang tidak dapat ia lakukan adalah mengelak dari kenyataan bahwa Park Sunghoon itu memang orang yang keren dan mengagumkan. Sebagai teman, tentu saja Niki tahu bagaimana pandangannya terhadap teman-temannya. Dan dia tidak dapat menilai rendah teman-temannya hanya karena perasaan tidak jelas yang membuatnya sedikit cemas.

"Tertarik apa maksudmu?! Jangan bicara sembarangan, ya."

"Lagipula selera apanya, kau bahkan tidak tahu siapa idolaku," timpal Nara dengan tatapan sewot.

Siapa lagi kalau bukan Min Yoongi, dasar maniak!

"Memangnya siapa? Apakau pernah punya idola yang menetap? Sepertinya semua idol adalah idolamu,"

"Apakau mau mati?!" ancam Nara lantas melempar tatapan sengit.

Niki menjentik kening Nara dengan sedikit kuat karena kalimat yang baru saja Nara lontarkan.

"Ak! Sakit, bodoh!"

Niki nyaris menjentik kening Nara untuk kedua kalinya jika saja dia tidak melihat bagaimana pasrahnya Nara yang nenutup mata rapat-rapat sembari bersiap menerima 'hadiah' dari Niki.

"Miaaaaan, hehe" cengir Nara dengan ujung mata yang mengkerut ketika tahu bahwa Niki tidak jadi menyentil keningnya yang sudah sedikit merah.

Niki merasa terserang oleh tingkah laku Nara yang menggemaskan. Rasanya ia ingin melompat saja dari sana dan mendarat ke bawah saat itu juga.

Nara mengeluarkan ponselnya lantas mengarahkan kamera pada wajah Niki. Meski tertutup masker, foto itu tampak estetik dengan menampilkan pemandangan di mana mata Niki tampak melihat ke arah lain dan tidak menyadari apa yang Nara lakukan.

"Mau foto bersama tidak?" tawar Nara dengan sedikit antusias.

Niki menggeleng, "tidak. Fotoku sudah terlampau banyak di sana," menatap Nara jijik.

"Memangnya isi galerimu apa?!" sarkas Nara tak habis pikir. Padahal jika dipikir-pikir lagi mereka berdua sama-sama suka mengambil foto tanpa ijin. Bahkan Niki punya foto ketika Nara sedang mengupil.

"Tentu saja lebih beragam dibandingkan dirimu," ejek Niki telak.

"Hah! Rasanya ingin mengumpat!" Nara benar-benar kehabisan kata-kata.

....

  Nara terdiam ketika tangan Niki melepaskan tangannya yang kemudian menjuntai tak berdaya. Seolah memang sudah menduga, Nara kemudian mengikuti ke mana Niki melihat. Di sana sudah ada mobil yang terlihat familier bersama dua orang berpakaian serba hitam sedang menunggu. Nara merasakan sakit di dadanya, tetapi di mana letak pastinya Nara tidak tahu.

Mereka kemudian saling memandang dalam diam. Seolah sudah tahu hal ini akan terjadi dan tampak tak terkejut sama sekali jika akan berakhir secepat ini. Padahal ini adalah pertama kalinya mereka berada di tempat baru dengan perasaan meletup-letup yang berharga.

Baru saja Nara ingin mengatakan jika dirinya mau mengajak Niki ke suatu tempat yang bagus dan menghabiskan lebih banyak waktu di sana. Tetapi, mungkin memang lebih baik jika Nara tak mengutarakan hal itu. Memang selalu lebih baik untuk tidak membuat rencana apa pun yang bisa membuat kedekatan mereka terlihat oleh orang-orang ayahnya Niki.

"Pulanglah, aku bisa pulang sendiri."

Niki masih terdiam dengan benaknya yang bising. Seolah orang-orang yang berada di sekeliling mereka tak mampu mengalahkan isi kepalanya yang berisik.

"Aku pakai masker dan mereka tidak akan tahu siapa aku, tenanglah," pinta Nara mencoba meyakinkan Niki jika hal ini tidak benar-benar berbahaya atau apa pun itu bagi hubungan mereka.

"Ayo, cepat sana," desak Nara merasa cukup tertekan ketika melihat bagaimana Niki menatapnya dalam.

   Dunia macam apa ini?

    "Ayo, bertemu nanti malam."

    Nara menawarkan sesuatu yang tak pernah ia ucapkan sebelumnya. Karena selama ini yang selalu mengajak untuk bertemu di danau hanyalah Niki. Dan Nara tidak pernah menolak hal itu. Tetapi, entah apa alasannya, Nara tidak pernah meminta bertemu di sana lebih dulu apapun dan bagaimanapun keadaanya. 

"Aku pergi, cepat pulang dan hati-hati,"

  Nara selalu melihat Niki yang tulus di dalam retinanya. Apapun yang Niki ucapkan dan bagaimanapun dia memperlakukan Nara, gadis itu selalu melihat sisi Niki yang lembut dan tenang. Meski begitu, terkadang di suatu waktu Nara merasakan badai bersarang di dalam diri Niki. Entah itu nyata atau tidak, Nara tidak akan pernah siap jika Niki memilih jalan lain dan meninggalkannya.







  Niki mendongakan kepalanya sembari menutup mata. Kini ia meninggalkan Nara dengan perasaan yang bersalah. Entah sudah berapa kali dia pergi. Entah sudah berapa banyak kakinya melangkah jauh hanya untuk membuat jarak antara dirinya dan Nara. Tak terasa setetes airmata mengaliri pelipisnya dan dalam sekon selanjutnya Niki menatapi langit-langit mobil dengan benaknya yang berisik.

Dalam hening yang mencekam, satu kalimat bernada rendah penuh intimidasi berhasil keluar dari mulutnya, "....,cobalah untuk mengatakannya pada ayahku, maka kalian akan tahu akibatnya,"













Tbc....





  

AnathemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang