"Dari mana saja selarut ini?"
Suara berat dan penuh intimidasi itu membuat Nara mendadak stagnan di tempatnya. Tak pernah terbayangkan jika dirinya akan ketahuan menyusup ke dalam rumahnya sendiri dan tertangkap basah seperti seorang pencuri.
"Habis bersepeda," jawabnya merasa terintimidasi oleh tatapan ayahnya yang bahkan tak pernah mampu ia hadapi.
"Kau yakin?" mata tuan Lee menatap lurus, namun tentu saja bersama ribuan anak panah tak kasat mata yang akan mampu menyerang isi kepala Nara dengan rasa takut.
"Aku tidak akan melakukan hal bodoh jika itu yang Ayah khawatirkan, tak perlu menatapku seolah aku adalah makhluk menjijikan, aku sudah menerimanya lebih dari yang kau tahu, Ayah," Nara berlalu pergi setelah mengatakan hal yang selama ini selalu ingin ia katakan. Dengan nada yang rendah dan dengan tatapan mata yang redup, Nara menatap mata ayahnya karena keberanian yang selama ini ia kumpulkan berada di titik paling krusial. Dia berhasil melakukannya, namun setelah dirinya berlalu, lututnya kemudian terasa lemas setelah menapaki anak tangga. Heeseung dengan lekas menyambut tubuh adiknya yang nyaris terjatuh ke lantai.
"Kau sudah melakukannya dengan baik, kau keren," puji Heeseung sembari memeluk adiknya dengan lembut.
Nara menangis dalam diam. Dan Heeseung tahu itu. Terkadang, Heeseung ingin melihat adiknya memberontak seperti seorang gadis belasan tahun yang naif. Dia ingin melihat sisi lain Nara yang selama ini tak pernah tampak ke permukaan. Melakukan kesalahan ketika remaja adalah hal paling berharga dalam hidup ini, karena dari hal itu, semua hal yang ada di depan sana akan lebih mudah diatasi. Tak apa sesekali terjatuh. Tetapi, ingatlah untuk selalu berdiri di atas kakimu sendiri. Angkat dagumu dan jangan biarkan siapa pun membuatmu tertunduk.
"Mau cokelat?"
Nara mengangguk, setidaknya di dunia ini ada Heeseung. Bahkan jika semua orang membencinya, Nara tak keberatan asalkan Heeseung selalu tersenyum kepadanya dan menyayanginya.
"Boleh aku minta dua?" tawar Nara dengan mata cemerlang dan hidung yang merah.
"Tentu saja, tapi jangan sampai Ibumu tahu, ya. Nanti dia mengomel sepanjang hari,"
Nara mengangguk dengan senyum lebar.
...
"Apakau satu kelas dengan Beomgyu?" tanya Sunghoon menghentikan langkah Nara yang pasif.
"Iya, kenapa?" tanya Nara balik dengan kening yang mengkerut sedikit.
"Bisa kau berikan tiket ini padanya?" pinta Sunghoon tersenyum kecil berusaha meninggalkan kesan yang baik. Sebab hal yang selalu orang bicarakan adalah tentang senyumnya yang menawan.
"Kupikir kau bisa memberikannya sendiri padanya, dia sepertinya sedang di kelas," tolak Nara secara implisit.
"Benarkah? Tapi, apakau menyukai ice skating?" Sunghoon tak kehabisan akal tentu saja.
"Tidak juga, apa itu tiket untuk pertunjukan atau semacamnya?"
"Iya, apakau mau beberapa? Aku punya banyak," tawar Sunghoon begitu halus. Lelaki Park itu kemudian mencuri pandang pada leher Nara, ia hanya ingin memastikan sesuatu yang selama ini terus menghantuinya. Terkadang, dalam beberapa keadaan rumit dia melihat sebuah kalung menjuntai keluar dari seragam yang Nara kenakan. Dan benda itu tampak tak asing baginya. Sunghoon sering melihat kalung seperti itu menjuntai di leher Niki ketika mereka mengganti pakaian dengan seragam basket.
Nara sejenak berpikir. Lelaki di hadapannya ini mana mungkin dia tidak tahu. Orang-orang selalu mengelu-elukannya sebagai pangeran es yang sangat tampan. Tidak munafik, Nara mengakui hal itu adalah sebuah kebenaran yang tak dapat dipungkiri. Siapa pun yang mengatai Sunghoon jelek mungkin sebentar lagi malaikat maut akan mencabut nyawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anathema
Fanfiction"Jika aku tak kembali, sebaiknya hiduplah dengan kebahagiaan. Namun, jika kau tidak melakukannya, aku akan kembali dengan seluruh hidup yang aku punya." "Untuk apa?" "Mungkin untuk menjalani kutukan bersamamu," 25/01/22 Author's note: Ini bukan cer...