Chapter 8

13 0 0
                                    

  Senja tak selalu kelabu. Tetapi, teruntuk diriku yang kuyu, senja selalu meninggalkan ngilu yang cendala. Jingga di langit nyaris lenyap ketika aku mendapati kamu yang tersenyum kecil. Di sekon selanjutnya, aku mulai menyadari bahwa hari ini adalah hari paling kelabu yang pernah kumiliki.

Senyum kamu, bisakah untukku saja?

Berharap jika hari ini tak akan pernah datang, atau berharap jika senyum kamu tak pernah mengembang. Nyatanya terselip bungah hanya dengan melihat senyum kamu yang terurai walau tampak menghilang setelah beberapa mili sekon kemudian.


Pukul enam sore lebih kamu pulang seperti biasa. Kebetulan aku selalu duduk di kursi dengan secangkir teh yang sudah terkuras habis ketika kamu berjalan dengan penuh wibawa dengan jas yang mengayun di tangan dan tas hitam di tangan sebelahnya. Tanpa disadari, aku selalu merekam wajah lelah dan manik madumu yang berkilau diterpa cahaya lampu yang temaram dan cahaya mentari yang nyaris tenggelam.

Ya, aku benar-benar berharap jika kamu tak akan pernah pulang membawa senyum itu. Barangkali, aku ini memang makhluk paling egois, wanita paling kejam, dan seorang istri yang paling hina.

Sulit sekali rasanya menerima bahwa kamu pulang dengan perasaan yang membuncah sementara aku di sini dengan perasaan yang ketar-ketir.

Apakah sebegitu senangnya kamu?

Apakah kamu baru saja jatuh cinta?

  Ketika mata kita saling bertemu di jarak yang semakin terkikis. Rupanya perasaan bersalah kamu mulai menganak sungai hingga raut kamu jadi terlihat keruh seperti itu. Iya, kamu memang orang yang sangat baik. Saking baiknya kamu tidak akan pernah bisa berbohong tentang perasaan yang kamu punya. Apalagi jika itu adalah perasaan yang tak seharusnya kamu simpan erat-erat dan yang tak seharusnya aku ketahui. Kamu pembohong yang payah dan itu melukaiku begitu banyak.

Aku suka melihat kamu tersenyum. Itu bukan sebuah kebohongan. Rasanya seperti duniaku ada di sana dan aku kembali hidup ketika senyum kamu terurai begitu indah. Tetapi, cintaku lebih besar hingga ego terus membuat dadaku sesak. Aku merasa terluka. Sekali lagi, senyum itu harusnya milikku 'kan? Kendati menyakitkan, kendati membuat dadaku sesak. Pada akhirnya aku hanya layu tanpa bisa merasakan indahnya mekar.

  Tetapi, memangnya aku ini bisa apa?

"Masih di sini?" kamu memberikan tas dan jas padaku dengan tatapan yang ketara payah menyembunyikan perasaan bersalah.

"Mm, aku memang selalu di sini." jawabku dengan senyum palsu yang sangat apik. Setelahnya aku berpaling. Melangkah pergi lebih dulu dan membiarkan hatiku berserak di lantai. Tak apa jika kemudian kamu menginjaknya. Rasa sakit ini, salahku telah menggenggamnya.

Fakta bahwa aku adalah si pembohong ulung tampaknya akan selalu dengan mudah mengelabuimu. Bahkan jika hatiku remuk redam, atau bahkan jika aku ingin menyalahkan, nyatanya aku tak akan pernah bisa melempar makian. Aku cukup tahu diri. Sebab hatimu bukanlah tempatku berada. Bukan juga milikku. Atau bukan pula sesuatu yang bisa kugenggam.

Hatimu, adalah milik orang.

"Mau biskuit sama kopi?" tanyaku memecah hening yang terhias suara derap kaki kita berdua. Aku menuju dapur dan kamu melangkah ke kamar. Aku berpaling dan kamu pun menoleh. Seperti biasa, aku selalu memujamu sementara kamu hanya sekadar menengok.

"Tadi sudah minum banyak kopi. Bisa buatkan teh saja?"

Kamu tampak merasa bersalah. Lagi. Seolah kamu baru saja melakukan kesalahan besar yang akan membuat hatiku terluka. Kamu menutupinya dengan jejak yang berhamburan. Rautmu, gestur tubuhmu yang meragu, serta manikmu yang keruh. Tak bisakah kamu berpura-pura dengan baik?

Kalau begitu terus, aku yang terbakar cemburu ini bisa benar-benar mati, lho. Aku rasanya ingin menangis saja. Sangat-sangat ingin. Tetapi, menunjukan semua lukaku padamu bukanlah sebuah opsi yang bagus. Tentu saja. Bukanlah sebuah kejahatan jika kamu kembali jatuh cinta, bahkan jika pada orang yang sama. Dan fakta bahwa cinta kamu selalu untuknya itu akan selalu membuatku terluka. Ah, maaf, ya. Aku jadi melankolis seperti ini. Kamu berharga, sih.

  Aku selalu penasaran, selalu memikirkan dan selalu merasa gulana setelahnya. Pertanyaan itu seolah menggantung di atas kepalaku dan selalu berdengung setiap kali kamu melangkahkan kaki untuk pergi bekerja.

  Esok hari, apakah kita akan terus bersandiwara?

  Jika tidak lagi. Apakah aku masih bisa hidup dan bernapas?






To be continued...

Setelah sekian lama nggak nulis dan aku cuman bisa menghasilkan ratusan words dalam satu chapter ini. Rasanya lega tapi kesel juga. Yodahlah, pada akhirnya aku kembali dengan coretan luka ini:))

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AnathemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang