Dari kejauhan Nara memperhatikan bagaimana Niki tersenyum, tertawa, dan melakukan hal konyol bersama teman-temannya. Tak terasa sudut bibir gadis itu ikut naik ketika menyadari bahwa begitu bersinarnya Niki di dalam matanya. Sampai-sampai kemanapun Niki pergi ia selalu mampu menangkap presensi itu. Seolah hanya Niki yang mampu Nara lihat. Seolah di dunia ini hanya ada Niki di dalamnya.
"Niki yang bercahaya," gumam Nara tersenyum kecil ketika tatapan mereka bertemu dan Niki seolah menyapa Nara dengan senyumnya yang indah.
Hal apa lagi yang bisa dilakukan Nara selain mengagumi Niki, menjahilinya, mengumpati anak itu, lalu masih saja terikat oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sudah tahun ke delapan. Dan Nara masih betah hanya punya Niki di dalam dunianya yang sempit. Tak tertarik untuk punya banyak teman, kalau punya banyak Niki bisa tidak, ya? Pikir Nara berterbangan di udara.
Tak terasa mereka kini sudah tujuh belas. Dan Nara masih berteman dengan sepi. Sedangkan Niki punya dunia yang sedikit lebih besar dari yang Nara punya. Meski begitu, jalan yang mereka lalui tetap seperti satu, dua, tiga, atau bahkan delapan tahun yang lalu. Terkadang Niki yang memimpin jalan mereka, terkadang sebaliknya.
Sudah dua hari Nara menghindari Niki dan selalu bersepeda melewati jalan lain selain melewati rumahnya si Nishimura. Juga sudah dua hari Niki hanya melihat Nara dari kejauhan dengan tatapan yang selalu bersirobok dan Nara akan selalu memutus tatapan mereka terlebih dahulu seolah dia telah menemukan sesuatu yang baru di hidupnya dan hanya berkutat dengan hal itu. Aneh. Lalu, tiba-tiba Nara memintanya ke belakang gudang. Niki pikir gadis Lee itu sedang menginginkan sesuatu. Tetapi, sepertinya kini yang Nara inginkan hanyalah hati Niki yang lapang dan emosinya yang tenang. Sebab setelah mendengar apa yang Nara ucapkan mendadak saja Niki merasa akan terkena stroke saat itu juga.
"Aku tidak tahu di mana, aku sudah mencarinya ke mana-mana tapi tetap tak bisa menemukannya," adu Nara pada Niki yang bingung entah harus marah atau harus tertawa karena melihat ekspresi Nara yang lucu. Tetapi, tetap saja, rasanya Niki akan meledak sebentar lagi dan saraf-saraf pada tubuhnya terasa akan putus sebentar lagi.
"Apa tidak tertinggal di rumah? Kapan kau menyadarinya?" tanya Niki mencoba untuk merespons dengan serius dan dengan mode paling tenang.
"Tidak, aku sudah mencarinya sampai ke dalam kloset kau, tahu. Se-sepertinya dari dua hari yang lalu," sungut Nara dengan bibir bawah yang maju.
"Apa?! Sudah selama itu dan kau baru menceritakannya padaku?!" Niki merasa terserang panik. Masalahnya adalah, benda sekecil kalung mana mungkin bisa dicari dengan mudah. Apalagi sudah sejak dua hari yang lalu dan Nara sama sekali tidak meminta bantuannya agar kalung itu bisa ditemukan dengan cepat dan mudah. Ah, itu sebabnya Nara selalu melipir entah ke mana dan selalu tersenyum ramah seolah dia sudah menjahit bibirnya untuk selalu tersenyum ketika melihat Niki. Rupanya dia sedang menyembunyikan hal itu.
"Kupikir akan ketemu, aku takut kau akan marah, bagaimana iniiii,,,," rengek Nara tak bisa menyembunyikan rasa paniknya.
"Kau sudah memeriksanya di pinggir danau?" tanya Niki mencoba mengingatkan.
"Sudah,"
"Kamarnya Kak Heeseung?"
"Eh?"
"Bukankah kau bilang dia sedang melakukan perjalanan bisnis, apakau sering ke kamarnya karena merindukannya?" Niki mungkin tidak pernah melihat bagaimana rumah Nara, kamarnya, atau bahkan tidak pernah melihat bagaimana Nara dan Heeseung dalam satu frame. Tetapi, mengingat bahwa Nara selalu bercerita tentang kakaknya itu tak menutup kemungkinan jika Nara melakukan hal seperti itu hanya untuk mengobati kerinduannya terhadap sang kakak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anathema
Fanfiction"Jika aku tak kembali, sebaiknya hiduplah dengan kebahagiaan. Namun, jika kau tidak melakukannya, aku akan kembali dengan seluruh hidup yang aku punya." "Untuk apa?" "Mungkin untuk menjalani kutukan bersamamu," 25/01/22 Author's note: Ini bukan cer...