00. Prolog

5K 532 69
                                    

Cahaya matahari sudah mengetuk jendela kamar berpenghuni itu. Jika biasa orang belum terbangun di pagi hari saat hari libur, berbeda dengannya.

Na Lisa, gadis berusia 22 tahun dan merupakan anak bungsu dari keluarga Na. Marga yang unik, kan?

Gadis itu sudah duduk dimeja belajarnya bahkan sebelum matahari mulai menampakkan dirinya. Membaca buku sembari menyesap teh hangatnya, sungguh sebuah relaksasi yang luar biasa bagi Lisa.

"Mataharinya hangat hari ini." Jika biasa matahari bisa sangat menyengat, pagi ini rasanya hangat dan sangat nyaman. Setidaknya itulah yang Lisa rasakan.

Lisa menghela napasnya sembari tersenyum tipis. "Seperti biasa, minum vitamin untuk mata."

Tangan putihnya meraih tabung obat yang ada di lacinya, setelah mengeluarakan satu butir obat, Lisa menyimpan kembali tabung obat itu.

"Setidaknya hanya ini caraku untuk menjaga mata ini." Gumam Lisa pelan sembari memandang matanya sendiri melalui pantulan kaca.

Meminum vitamin mata sudah Lisa lakukan sejak ia kecil. Tidak ada alasan yang jelas gadis itu rutin meminumnya, hanya dia yang tahu. Padahal Lisa selama ini sudah sangat baik menjaga matanya sendiri sampai-sampai ia tidak perlu menggunakan kacamata padahal hobinya adalah membaca buku dan menonton film.

****

Mengawali paginya dengan senyuman, putri kedua dari keluarga Na itu langsung beranjak dari ranjangnya dan keluar dari kamarnya. Tujuannya hanya satu, mengunjungi kamar Adik bungsunya.

Hanya berjalan beberapa langkah, kini gadis itu sudah ada di depan kamar sang Adik. Na Jennie, tersenyum jahil sebelum dengan sangat pelan melangkah dan memasuki kamar Lisa.

Jennie tersenyum melihat Lisa yang sedang fokus membaca. Meja belajarnya memang membelakangi pintu masuk, jadi wajar Lisa tidak melihat Jennie masuk.

Niat hati ingin mengagetkan Lisa, membayangkan adiknya akan terkejut dan berteriak karena tiba-tiba seseorang menyentuh pundaknya.

"Aku tahu kau di sini, Unnie." Namun rencananya gagal. Jennie menghentakkan kasar kakinya dengan wajah cemberut.

"Bagaimana bisa kau tahu? Padahal Unnie sudah sangat pelan sekali sampai hampir tidak menimbulkan suara." Jennie mendekat ke arah adiknya dan duduk di sofa kecil yang ada di sebelah meja belajar Lisa.

"Ya mungkin karena aku terlahir buta, jadi instingku kuat." Jawaban Lisa merubah suasana hati Jennie seketika. Senyum dan wajah cemberutnya berubah menjadi muram dan tatapannya memandang Lisa tak suka.

"Sudah kubilang untuk tidak membahas itu lagi, Na Lisa." Ucap Jennie penuh penekanan. Jennie sangat tidak suka jika Lisa sudah berbicara seperti itu.

"Inginnya juga begitu," Lisa melempar pandangannya pada Jennie lalu tersenyum tipis, "Tapi tidak bisa."

"Sampai kapan pun, identitasku yang terlahir sebagai anak buta tidak pernah hilang. Walau sekarang aku bisa melihat dengan sangat baik."

Darah Jennie mendidih mendengar itu, ia sangat tidak suka dengan ucapan Lisa yang membuka luka lama bagi dirinya maupun Lisa sendiri.

"Kubilang berhenti, Na Lisa. Kau hanya terus menyakiti dirimu sendiri jika membahas hal itu lagi." Kali ini nada suara Jennie melemah. Tatapannya tergantikan oleh tatapan sendu.

Bungsu Na itu terdiam melihat wajah Jennie, ada rasa bersalah yang terselip dihatinya. Jennie benar, tapi Lisa juga tidak salah. Gadis itu selalu gagal menahan suaranya untuk tidak lagi membahas hal itu.

"Geurae, mianhae, Unnie." Sesal Lisa seraya meremat tangan Jennie.

"Lupakan. Kau lapar? Belum makan, kan?" Lisa menggeleng.

EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang