Bukankah cinta memang seperti itu?
Selalu ada kata patah sebagai konsekuensinya.
***Yara meringis memegangi perutnya yang masih saja terasa sakit, padahal tadi ia sempat menidurkannya selama hampir satu jam. Tidak lupa dengan obat yang biasa ia minum. Anehnya, tidak langsung sembuh seperti yang sudah-sudah.
Mendengar derit pintu, Yara menoleh dan mendapati Bi Atin, pembantu rumah tangganya memegangi sebuah kresek kecil.
"Itu apa bi?" tanyanya penasaran. Wanita paruh baya itu menyodorkan padanya. "Ini Non tadi ada Non Samia, katanya titip obat buat Non Yara."
Cewek itu seketika menegakan badan yang tadinya tengah tiduran. Tatapanya terarah ke pintu. "Terus dia ke mana?"
Yara memang sedang kesal, tapi sisi lain hatinya tetap tak bisa mengabaikan sahabatnya. Apalagi setelah Mia datang jauh-jauh ke rumahnya hanya untuk mengantarkan obat.
"Non Mia langsung pulang, katanya lagi bu-" Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Yara segera bangkit, mengabaikan rasa sakit di perutnya.
Ia berlari menuruni tangga hingga hampir terjatuh. Beruntung Yara dengan sigap memegangi pagar pembatas di sebelahnya. Ada rasa lega saat ia mendapati punggung sahabatnya.
Yara segera menarik tangan Mia hingga sang empunya menoleh. "Lo mau ke mana?"
"Pulang," jawab sosok di depannya singkat.
Mengingat kedua orang tuanya sedang berada di luar kota, ia bermaksud meminta Mia untuk menemaninya. "Jangan pulang dulu! Temenin gue atau lo bisa nginep di sini? Biar gue yang minta izin ke bunda."
Katakanlah Yara labil. Kemarin-kemarin hingga siang tadi masih bersikap acuh pada sahabatnya, sekarang hanya dengan perhatian kecil Mia ia langsung luluh.
"Enggak usah! Lagipula, bukannya udah ada Sherin, kan, yang bisa nemenin elo?" ucapan Mia terdengar seperti tengah menyindirnya. Cewek itu bahkan langsung memalingkan muka setelah mengatakan hal tersebut.
Yara mengernyit, semalam Sherin memang menginap di rumahnya karena kebetulan mereka sedang mengerjakan tugas makalah. Ia tidak menyangka reaksi Mia akan seperti ini.
"Apa sih, Mi? Kenapa jadi bawa Sherin? Jangan kekanakan deh!" Yara tidak sadar kalau dirinya lebih kekanakan dari itu.
"Lo yang KENAPA?" bentakan Mia membuatnya tersentak. Untuk pertama kalinya semenjak mereka bersahabat, Mia yang selalu sabar menghadapinya kini benar-benar terlihat marah.
Bibir Yara terasa kelu. Yang ia lakukan hanya menatap sahabatnya dalam diam. Mia tampak menghela napas lalu mengusap wajahnya kasar.
"Sorry ...," Mia menatap penuh penyesalan. "Gue gak bermasud bentak lo."
Bukankah seharusnya Yara yang meminta maaf?
Seketika cewek itu sadar, sikapnya selama beberapa hari ini sudah keterlaluan. Hening untuk beberapa saat sebelum akhirnya Yara kembali menatap sahabatnya yang menunduk dalam. Ia hendak membuka mulut ketika seseorang terlebih dahulu memanggilnya."Kak Yara!"
Yara menoleh ke sumber suara. Matanya membulat mendapati Arsen bersama sosok yang sudah cukup lama tak ia lihat. Lea, teman semasa kecilnya yang merupakan tetangga Arsen sekaligus ... perempuan yang dicintai sepupunya.
"Lea," gumamnya tak percaya.
"Ya ampun, Kak! Gue kangen banget sama lo!" Lea sudah menghambur ke pelukannya hingga Yara hampir terjengkang karena tubuhnya tak siap.
"Lo ... sejak kapan nyampe Jakarta?" tanya Yara. Kebetulan cewek yang usianya lebih muda darinya itu sudah tiga tahun menetap di Australia.
Lea tertawa renyah. "Hehe ... udah seminggu yang lalu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayara's Two Wishes ✔️
Fiksi RemajaNayara Prameswari sangat membenci Arshaka Daneswara. Baginya, Danes adalah spesies cowok menyebalkan yang terus mengganggunya. Nayara memiliki dua keinginan yang senantiasa ia panjatkan dalam doa. Pertama, menjadi pacar Ghafi, si kakak kelas yang me...