Yara sudah berusaha untuk tidak berharap lagi walaupun kenyataannya cowok itu bersikap seolah masih memiliki perasaan padanya. Perkataan Danes cukup membuatnya sadar, tidak seharusnya Yara baper hanya karena seseorang berbuat baik.
Meskipun sulit, Yara mencoba mengabaikan keinginan hatinya untuk mendekati Danes. Andai saja cowok itu masih menyukainya, bolehkan Yara mendekat untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu? Termasuk mengobati luka yang sengaja pernah ia beri.
"Ra! Duluan, ya."
Suara Sherin membuyarkan lamunannya. Yara mengangguk lalu dengan tak semangat merapikan alat tulisnya. Tidak langsung keluar kelas, ia berjalan ke pojok belakang ruangan untuk mengambil sapu. Kebetulan hari ini adalah jadwal piketnya.
Ada dua orang lain yang menemaninya, sebagian kelompok piketnya yang berjenis kelamin laki-laki memilih kabur.
Butuh waktu lima belas menit untuk merapikan kelas. Yara menjadi orang terakhir yang meninggalkan ruangan.
Koridor sudah lumayan sepi walau di beberapa kelas masih tersisa siswa yang sedang piket. Sebagian lagi ada yang hendak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler karate dan paskibra.
Berhubung ponsel Yara mati karena pagi tadi lupa tidak di charger, ia memilih untuk pulang dengan angkutan umum karena tidak bisa memesan kendaraan online. Biasanya kalau sedang tidak marahan, ia akan meminta Arsen menungguinya.
Sampai di halte depan sekolah, ada angkot yang berhenti, tapi sudah sangat penuh. Yara yang malas berdempetan memilih mundur. Beberapa angkot lain sempat lewat dan sama penuhnya karena jadwal pulang sekolah para pelajar. Sebelum melewati sekolahnya, ada sekolah tetangga yang pasti terlebih dahulu menaiki angkot tersebut.
Setengah jam berlalu. Setelah penolakan terakhir, angkutan umum tidak ada lagi yang melintas. Bunyi guntur mulai terdengar. Yara berubah cemas. Jangan sampai dirinya kembali terjebak hujan seperti dulu.
Mencoba menyalakan ponselnya, Yara mendesah berat. Benda pipih di genggamannya benar-benar mati total.
Bodoh! Seharusnya Yara tidak pilih-pilih sehingga terkena imbasnya.
Sebuah motor berhenti di depannya. Yara yang perhatiannya tertuju pada ponsel mendongak. Keterkejutan muncul di wajahnya melihat sosok Danes.
"Mau ikut bareng nggak?" tanyanya dengan raut datar.
Kehadiran cowok itu membuat harapan-harapan kembali tumbuh tanpa bisa dicegah. Yara melangkah mendekat tanpa memutuskan pandangan. Ia menarik napas, berusaha menahan berbagai pertanyaan dalam benaknya.
Tanpa mengiyakan, Yara duduk di boncengan lalu kendaraan tersebut melaju dengan kecepatan normal. Selama perjalanan, mereka tak sedikit pun saling bicara.
Yara memandangi kaca spion yang menampakan wajah Danes. Rasanya masih semenyakitkan itu. Mereka bahkan begitu dekat, tapi Yara merasakan tembok tinggi menghalangi keduanya.
Matic yang mereka kendarai berhenti di depan rumah bertingkat dua. Yara turun perlahan kemudian menahan lengan Danes yang hendak menstater motornya.
Cowok itu mendongak, menatapnya masih dengan tanpa ekspresi. Yara tahu, dirinya tidak teguh pendirian. Baru tadi pagi ia berniat untuk membuang jauh perasaannya, tapi kehadiran Danes hari ini kembali merobohkan tekadanya.
Mengabaikan perasaan malu, Yara menumpahkan kerinduan dan penyesalannya dengan cara memeluk sosok di depannya. Sang pemilik tubuh jelas begitu terkejut. Matanya sampai membeliak. Rasanya seperti mimpi.
Yara memejamkan matanya sebelum lanjut berbisik. "Jangan kayak gini, Nes. Jangan bikin gue terus berharap."
Cewek itu melepas rengkuhan dan memberanikan diri menatap Danes yang mematung di atas motornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayara's Two Wishes ✔️
Ficção AdolescenteNayara Prameswari sangat membenci Arshaka Daneswara. Baginya, Danes adalah spesies cowok menyebalkan yang terus mengganggunya. Nayara memiliki dua keinginan yang senantiasa ia panjatkan dalam doa. Pertama, menjadi pacar Ghafi, si kakak kelas yang me...