Kamu bukan Tuhan.
Kamu tidak berhak meragukan masa depanmu sendiri.
***Cewek itu berjalan melewati koridor yang sudah cukup ramai. Meski hatinya beberapa hari ini tengah dilanda mendung, ia tetap berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
Nayara tersenyum tipis saat mantan teman sekelasnya menyapa. Tarikan napas berulang kali terdengar, mengingat kenyataan menyakitkan yang tak bisa dielakan lagi.
Patah hati? Jelas. Namun, tak ada yang bisa ia salahkan selain diri sendiri. Yara sadar dengan sangat tentang keterlambatannya.
Gadis itu mengambil earphone dan menyantolkan ke telinga. Ia mencari lagu bertema bahagia untuk menyemangati paginya yang suram. Yara kemudian memasukkan ponsel ke saku kardigan. Kebetulan ia merasa kurang enak badan sekarang. Bukan hanya karena terus kepikiran Danes, melainkan karena cuaca begitu dingin akhir-akhir ini.
Yara memelankan langkah saat dari arah berlawana melihat sosok tak asing berjalan mendekat. Ilona, cewek itu menyadari keberadaannya lalu melemparkan senyum tipis.
Yara sempat terdiam sebelum kemudian balas memberikan senyum meski rasanya sangat berat. Setelah keduanya saling melewati, ia mengembuskan napas, menepuk dadanya. Bagus! Elo udah ngelakuin hal baik.
Ya, itulah Yara yang sekarang. Setelah berbagai peristiwa terjadi dan membuat dua orang yang menyayanginya dengan tulus pergi, ia mulai membenahi diri. Yara berusaha menekan sifat egoisnya.
Sesudah Samia dan Danes, mungkin ia akan kembali kehilangan lagi jika tak kunjung berubah.
Tak terasa cewek itu sudah sampai di kelasnya, XI IPA 3. Yara menyapa Sherin yang sedang membaca novel teenlit berjudul Jingga dan Senja karya Esty Kinasih.
Yara pernah membacanya hasil meminjam dari perpustakaan. Sebuah novel lama yang membuatnya langsung jatuh cinta. Ia bahkan sudah membaca seri lainnya, seperti Jingga dalam Elegi dan Jingga untuk Matahari.
Kadang juga, ada kenyataan-kenyataan yang pingin banget kita ingkarin, tapi nggak bisa juga.
Salah satu kalimat yang Yara ingat dalam novel Jingga dalam Elegi. Sama dengan keadaannya saat ini. Yara sangat ingin mengingkari kenyataan hubungan Danes dan Ilona, tapi tidak bisa.
"Jangan galau terus! Masih pagi," teguran Sherin yang sudah menutup novelnya membuat Yara mencebik. Namun, tak lama senyum di bibirnya muncul. "Enggak kok, gue mau berhenti galau."
Sherin memicing tak percaya. Masih teringat jelas, bagaimana sahabatnya menahan air mata di kedai waktu itu, berakhir dengan menangis sepanjang jalan pulang.
"Gue ... serius, Rin." Yara menatap penuh keyakinan. "Gue tau, pasti bakal sulit, tapi gue harus tetep berusaha, 'kan?"
Sherin mengangguk senang dengan perubahan pada diri sahabatnya. Ia kemudian merangkul bahu Yara, memberikan tepukan ringan dan berkata, "Good choice, Ra!"
***"Makasih ya, Nayara!" ucap Bu Ambar, tepat setelah Yara menyimpan satu tumpuk buku di mejanya.
Yara tersenyum dan mengangguk. "Iya, sama-sama, Bu," ucapnya ramah, padahal saat disuruh tadi ia sempat menggerutu dalam hati. "Kalau gitu, saya permisi Bu."
"Oh iya, silahkan!"
Tergesa-gesa, Yara sampai tak sadar seseorang hendak memasuki ruang guru membawa setumpuk buku seperti apa yang dilakukannya tadi. Alhasil, tabrakan tak dapat dielakkan lagi.
"E-eh sorry," ucap Yara cepat, segera berjongkok untuk membantu memunguti buku-buku tersebut. Cewek itu fokus pada kegiatannya sampai tak menyadari sosok di depannya yang terpaku. "Ini buku-" Lidah Yara berubah kelu mengetahui bahwa yang ditabraknya adalah Danes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayara's Two Wishes ✔️
Teen FictionNayara Prameswari sangat membenci Arshaka Daneswara. Baginya, Danes adalah spesies cowok menyebalkan yang terus mengganggunya. Nayara memiliki dua keinginan yang senantiasa ia panjatkan dalam doa. Pertama, menjadi pacar Ghafi, si kakak kelas yang me...