Ditinggal menikah oleh sang kekasih 5 tahunnya, membuat Arunika (25) memutuskan untuk menerima pinangan dari seorang editor koran sekaligus majalah bernama Galih (35). Meskipun Galih tampak kaku, kurang modis, dan culun, tidak membuat Arunika merasa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ceklek
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pintu kamarku tiba-tiba terbuka. Si pembuka pintu tidak lain adalah mas Galih yang baru bangun tidur dan masih mengantuk. Lelaki berusia sepuluh tahun lebih tua dariku itu lantas berjalan ke arahku yang duduk di sofa bed sambil menonton drama. Ia pun masuk ke dalam selimut dan merebahkan diri di sampingku. Tangannya melingkar posesif di perutku.
"Kamu kalau sedang marah, seram juga, ya. Pisah ranjang begini," celetuknya.
Alih-alih menanggapi, aku malah kembali menonton drama. Fokusku sekarang tertuju pada adegan Kang Mirae berduaan dengan Kyungseok. Adegan manis mereka lebih pantas untuk dilihat daripada lelaki di sampingku ini.
"Seharian ini kamu mendiamkan saya. Padahal saya sudah minta maaf," katanya, sedikit merajuk. Aku masih mengabaikannya.
"Ru, masih marah?" ia ganti bertanya.
Sudah tahu, mengapa masih bertanya, sih?
Ia sendiri yang membuatku kecewa setengah mati. Mulai karena terlambat hingga tidak mengakuiku sebagai istrinya di depan mas Rangga, yang jelas-jelas sudah merendahkanku. Aku sungguh tidak akan mempermasalahkan soal keterlambatannya. Aku hanya mempersalahkan mas Galih. Harusnya ia mengaku supaya mas Rangga diam dan berhenti merendahkanku.
Ia saat ini berstatus sebagai suamiku yang sah secara hukum dan agama. Sepantasnya melindungiku sekalipun pernikahan kami disembunyikan.
"Saya janji ganti besok. Kita ke Jatim Park sesuai keinginan kamu. Tapi tolong, jangan marah lagi," tawarnya, sekaligus memohon padaku.
Aku lantas meliriknya diam-diam. Walau pencahayaan di ruangan ini temaram, dari sinar yang dihasilkan televisi, aku masih bisa melihatnya. Lelaki ini tengah menatap lenganku atau mungkin dasterku. Tatapannya tampak sedih dan mengantuk. Pada saat yang bersamaan, ia terlihat seperti anak kecil yang merajuk sehabis dimarahi ibunya.
Kasihan sekali, tetapi aku belum puas mendiamkannya. Seharian tanpa berbicara padanya atau satu ruangan dengannya belum cukup untuk menghapus kekecewaan ini. Yah, katakanlah aku berlebihan kepada suami sendiri.