Ditinggal menikah oleh sang kekasih 5 tahunnya, membuat Arunika (25) memutuskan untuk menerima pinangan dari seorang editor koran sekaligus majalah bernama Galih (35). Meskipun Galih tampak kaku, kurang modis, dan culun, tidak membuat Arunika merasa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pertama kalinya bagiku bertindak seperti seorang maling. Mengendap-endap keluar kamar dan pergi ke ruang kerja mas Galih saat tengah malam. Tindakan yang melanggar privasi pasangan sendiri sebenarnya, namun aku tidak punya pilihan lain. Aku harus mencari bukti terkait hubungan antara mas Galih dan Anggita sekarang.
Ada alasan tersendiri mengapa aku bergerak tergesa. Alasan itu adalah aku merasa terancam, dan aku tidak mau kejadian Nala terulang kembali. Aku sempat teringat kalau Anggita pernah menggendong Juna—lewat foto yang kulihat sewaktu di Sukapura. Dugaanku, Anggita memang sudah ada sejak mas Galih bersama Nala, atau mungkin sebelumnya. Mungkin saja ada hubungan antara kematian Nala dan Anggita. Juga walau masih dugaan saja, Denis berkata kalau wanita itu jahat. Yah, aku sedikit percaya dengan dugaan Denis sejujurnya setelah dipikir-pikir lebih dalam.
Setelah memastikan kondisi sekitar aman, aku langsung masuk ke dalam ruangan itu. Di dalam sini seperti kebanyakan ruangan kerja. Ada rak buku dengan buku-buku yang tertata rapi, sofa empuk di tengah ruangan, meja kerja dan beberapa alat elektronik milik mas Galih. Di ruangan ini pun aku mendapati figura kecil berisi fotoku. Foto yang diambil ketika aku tidak menyadarinya. Meski begitu, aku masih terlihat cantik.
"Rasanya berlebihan, tapi aku menyukainya," gumamku.
Beralih dari figura, aku meraih ponsel mas Galih yang tergeletak di samping komputernya. Ia biasa meninggalkan ponselnya di sini agar tidak terganggu sewaktu beristirahat. Apalagi, ia menerapkan pola hidup 2 jam tanpa ponsel sebelum tidur, dan 2 jam tanpa ponsel setelah bangun tidur. Sehat sekali.
Berhubung ponsel mas Galih tidak ada kata sandi khusus, aku bisa langsung mengoperasikannya. Mulai dari aplikasi pesan, email, log panggilan hingga galeri, tidak ada yang mencurigakan. Semua tampak normal. Apa mas Galih sudah membereskan semuanya, ya? Langsung sewaktu ada pesan dari Anggita begitu.
Mungkin saja.
"Andaikan aku bisa bertanya pada mas Galih, aku ingin sekali bertanya," monolohku seraya menyandarkan punggung di kursi kerja suamiku. Perasaanku mulai tidak nyaman karena tidak menemukan bukti. Spekulasi yang muncul di otakku juga memperburuk perasaanku.
Aku percaya mas Galih tidak akan selingkuh. Namun, kehadiran Anggita membuatku merasa terancam. Kupikir, Anggita mulai bergerak diam-diam untuk menyingkirkanku. Yah, teror sewaktu di Sukapura itu, aku yakin Anggita-lah dalangnya.
Aku lantas menghidupkan laptopnya—benda elektronik kedua yang kucurigai ada bukti. Menelusuri semua file satu per satu hingga kedua mataku panas rasanya. Kebanyakan file di laptop ini berisi dokumen pekerjaan mas Galih. Foto-foto model untuk majalah, artikel dan lain sebagainya. Namun, ketika aku mengecek recycle bin, aku hanya menemukan satu folder. Begitu kubuka isinya, ada dua folder lagi. Satu berisi foto Nala—agak kecewa sejujurnya karena folder ini berisi lebih dari dua ribu foto Nala seorang—dan satu lagi berisi file RAR dengan kode nama suatu tanggal tertentu. File RAR-nya cukup banyak, tetapi tidak bisa dibuka. Ada kata sandinya, dan aku tidak mengetahui itu.