Ditinggal menikah oleh sang kekasih 5 tahunnya, membuat Arunika (25) memutuskan untuk menerima pinangan dari seorang editor koran sekaligus majalah bernama Galih (35). Meskipun Galih tampak kaku, kurang modis, dan culun, tidak membuat Arunika merasa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lampu ruang tengah tiba-tiba menyala saat aku masuk ke dalam bilik itu. Membuatku dapat melihat beberapa benda yang ada di sana. Sekaligus pelaku yang menghidupkan lampu. Ia adalah mas Galih, lelaki berstatus suamiku di mata hukum dan agama. Ia kini berdiri di dekat saklar lampu dengan raut wajah suram-menyeramkan. Tatapannya tajam menyerupai ujung pisau.
Aku tentu paham penyebab mas Galih seperti itu. Ini mungkin karena aku pulang larut malam. Di samping itu, aku tidak pulang setelah diberi waktu untuk pergi ke rumah mas Rangga. Jangankan pulang, mengabari saja tidak. Seharian ini, setelah dari rumah mas Rangga, aku pergi ke Batu flower garden. Menghabiskan waktu di sana untuk mengobati lara hati.
"Jam sepuluh baru pulang. Kemana kamu seharian ini?" tanya mas Galih. Nada bicara laki-laki itu tidak mengenakkan. Sungguh.
"Jalan-jalan," balasku singkat.
"Mengapa tidak izin saya dulu? Saya dari tadi menunggu kamu pulang, Arunika!" serunya. Ia pun menyebut namaku dengan lantang.
Kini, ia melangkah ke arahku. Saat melangkah, tatapannya masih tajam—atau bertambah tajam. Aku diam-diam bergidik ngeri saat melihatnya. Ia tampak akan mengulitiku hidup-hidup.
"Ponsel kamu kemana? Rusak? Sampai-sampai kamu tidak menghubungi saya yang notabenenya suami kamu," ucapnya ketus tatkala berdiri di hadapanku.
"Bukan gitu, Mas. Aku tadi menenangkan diri. Aku..." perlahan aku menundukkan kepala. "...patah hati. Maaf..."
Hening.
Mas Galih tidak menanggapi. Ia malah terdiam. Sama halnya aku.
Sungguh, aku tidak berbohong. Aku memang patah hati karena perkataan mas Rangga. Saat ia menekankan statusku dan mengatakan hal buruk padaku. Aku tahu ia marah karena kehadiranku. Namun, ia tidak perlu berkata seperti itu. Toh, aku datang ke sana tidak berniat untuk merusak pernikahannya atau membuat Adel tersisihkan. Aku hanya datang sekali untuk menyambung tali silaturahmi.
Sialnya, itu salah di matanya.
Saat aku sibuk dengan pikiranku, mas Galih menarik lenganku. Ia lantas mendekapku dan menyembunyikanku di tubuhnya yang hangat. Tanpa ragu, aku melingkarkan kedua tangan di pinggangnya.
"Sudah saya katakan kalau saya tidak mau kamu datang ke sana. Jadinya seperti ini, 'kan? Kamu patah hati," tegurnya sambil mengusap rambutku. "kamu diperlakukan seperti apa di sana? Apa dicemooh? Diusir?"
Aku tidak langsung menjawab. Masih sibuk menikmati kehangatan tubuhnya. Ini benar-benar yang kubutuhkan saat energiku habis, dan hatiku sakit.
"Jujur, sedari tadi saya kepikiran. Saya telepon kamu berkali-kali, tetapi tidak diangkat. Mau menyusul, tetapi saya masih ada kerjaan. Tanya mama dan Denis, mereka tidak tahu. Saya benar-benar tidak tenang seharian ini,"
"Lain kali, jangan seperti itu lagi, Ru! Saya tidak suka!"
Usai mas Galih berbicara, aku melepaskan pelukan ini secara perlahan. Lantas kutatap kedua matanya yang terlihat lelah. Sorot tajam yang tampak sedari tadi sudah sirna dan tergantikan dengan kekhawatiran yang mendalam. Hal ini membuatku bersalah sekaligus mengasihani diri.