Raport

345 37 3
                                    

Lia menatap punggung ibunya yang berjalan memasuki mobil bersama Una---kakaknya untuk berangkat ke sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Lia menatap punggung ibunya yang berjalan memasuki mobil bersama Una---kakaknya untuk berangkat ke sekolah. Hari ini hari Jumat, di mana menjadi hari terakhir semester gasal yang digunakan hampir seluruh sekolah untuk acara pengambilan raport. Dan lagi-lagi, ibunya lebih memilih untuk mengambil raport sang kakak.

Yah, lagipula untuk apa ibunya memilih untuk mengambil raport Lia jika tidak ada yang bisa dibanggakan dari nilai-nilainya. Berbeda dengan Una yang pintar, rajin, dan cantik, Lia bisa dibilang sangat pas-pasan dalam segala hal, apalagi kepintaran. Jadi tidak heran jika sang ibu seperti tidak terlalu peduli dengan Lia karena memang tidak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya.

Ayah, aku harap ayah masih ada.

Lia kini menunduk, memegang erat tali ranselnya sambil menahan air mata yang perlahan ingin keluar.

Dari dulu, memang hanya ayahnya yang peduli dengan Lia. Tetapi sayang, ayahnya sudah pergi untuk selamanya sejak tiga tahun lalu. Dulu, selalu ayah yang mengambil raport milik Lia, mengapresiasi semua nilai-nilai Lia meskipun nilai-nilainya tidak tergolong bagus. Kata ayah, tidak apa-apa Lia tidak pintar seperti Una, karena kemampuan setiap orang berbeda-beda. Mungkin Lia memang tidak pandai dalam pelajaran, tetapi kata ayah, Lia merupakan anak yang baik, selalu menuruti apa kata ayah dan ibu. Hal itu sudah sangat cukup untuk ayah, meskipun tidak untuk ibunya.

"Oke, cukup. Aku nggak boleh sedih. Aku bisa ambil raportku sendiri. Lagian kan dari SMP, aku udah biasa ambil raport sendiri."

Lia berkata kepada dirinya sendiri sambil mencoba menyunggingkan senyum kecil dari bibir manisnya. Gadis berkaca mata itu kini menatap langit, sedikit menyipit karena sinar mentari pagi ini agak terik.

"Semangat, Lia. Ada ayah yang lagi senyum sambil liatin kamu dari atas sana!"

Lia berseru, lalu mulai berjalan melewati gerbang rumah menuju halte bus untuk berangkat ke sekolahnya.

°°°

"Wih, rangking 2 dari bawah lagi."

Lia dengan cepat menutup buku raportnya saat mendengar suara Syila, yang ternyata sudah diam-diam berdiri di belakang Lia sambil mengintip isi raport miliknya. Lia cemberut, menatap sebal kepada sahabatnya yang saat ini sedang merangkul sambil menggiringnya ke arah kantin.

"Udah nggak usah manyun, gue traktir mie ayam Pakde deh biar lo nggak sedih!"

"Aku nggak sedih, Syil. Masih ada Danis di bawah aku." Kata Lia sambil mendudukkan diri di kursi kantin, diikuti oleh Syila yang duduk di depannya.

"Eh, Mama kamu udah pulang?"

Syila mengangguk, "Iyah, gantian mau ke sekolah adek gue."

"Oh, gitu."

"Ibu lo nggak datang lagi?"

Lia tampak menghela napasnya, "Iyah, ibu ke sekolahnya kak Una."

Melihat ada ke sedihan pada raut Lia, Syila jadi ikut sedih. Dia kasihan, selama mereka duduk di kelas yang sama sejak kelas 10 sampai sekarang kelas 11 semester 1, Ibunya Lia tidak pernah mau datang ke sekolah untuk mengambilkan raportnya. Yah memang sih raport bisa diambil oleh murid sendiri, tetapi pasti Lia sangat sedih karena teman-temannya yang lain datang bersama orang tua mereka. Alasannya selalu sama, ibu Lia lebih memilih untuk datang ke sekolah Kak Una, yang Syila ketahui sekolahnya merupakan salah satu sekolah swasta elit di ibukota. Berbeda dengan sekolah mereka yang hanya sekolah negeri biasa.

"Oke deh, gue pesan dulu ya. Lo kayak biasa kan mie ayam sama es teh tawar?"

Lia mengangguk.

"Oke!"

"Makasih, Syil."

"Santai." Kata Syila sambil berlalu meninggalkan Lia di keramaian kantin.

°°°

Alyanara Indriani(Lia)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Alyanara Indriani
(Lia)

1 to 14 (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang