Dermaga

116 24 1
                                    

"Lo nggak capek?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo nggak capek?"

Hema bertanya kepada Lia yang sedang berjalan lebih dulu di depannya. Wajah perempuan itu masih tampak sumringah, dengan kakinya yang melangkah riang di atas kayu dermaga sambil merasakan angin malam yang cukup dingin.

"Kalo lagi sama Kak Hema, aku nggak akan pernah capek."

Hema tersenyum lebar mendengarnya, lalu buru-buru menyusul Lia untuk kembali menggenggam tangan mungil cewek itu.

Lautan gelap Ancol menjadi penutup liburan mereka hari ini. Lampu-lampu kecil yang mengitari tiang-tiang di sekitar dermaga tampak sangat cantik di bawah gelapnya malam dan dikelilingi oleh lautan. Suasana di sana cukup ramai, jadi Hema mengajak Lia ke ujung dermaga agar mereka bisa menikmati akhir hari ini dengan tenang dan tanpa gangguan banyak orang.

"Sini duduk,"

Hema menepuk tempat kosong di sebelahnya yang langsung dituruti oleh Lia. Kaki mereka menggantung, nyaris mengenai air.

"Sedih banget, besok udah Senin."

Hema tertawa mendengar keluhan Lia, lalu mengusap poni gadis itu dengan gemas.

"Semangat dong, kan liburan dua minggunya hampir full diisi kegiatan sama gue."

Lia menghela napas, "iya sih. Tapi aku sebenarnya takut banget kak. Takut nilaiku masih gitu-gitu aja di semester 2 nanti, takut ngecewain ibu lagi."

"Yang penting lo jangan berhenti berusaha, Lia. Belajar yang sungguh-sungguh. Gimana pun hasilnya nanti, yang penting lo harus usaha dulu."

Lia kembali menghela napas, kali ini sambil menatap langit.

"Kapan ya aku bisa banggain ibu kayak kak Una."

"Lo pasti bisa membanggakan ibu lo, tapi mungkin lewat hal lain." Kata Hema, dia ikut menatap langit di atasnya.

"Di dunia ini, banyak hal yang bisa lebih membanggakan daripada cuma sekedar perkara nilai, Lia."

"Contohnya kak?"

"Menjadi orang baik."

Lia menoleh, menatap cowok itu dari samping dengan mata bulatnya. Perkataan Hema barusan, mengingatkan Lia kepada mendiang ayahnya.

"Sejauh ini, di mata gue lo adalah anak yang baik. Lo nggak pernah membantah apa kata ibu lo, selalu belajar walaupun hasil yang lo dapat belum maksimal, dan membantu orang yang sedang butuh bantuan disaat lo sendiri lagi ribet dan kesulitan. Hal-hal kecil seperti itu juga bisa menjadi hal yang membanggakan, Lia."

"Aku nggak sebaik itu, Kak Hema."

"Yah setidaknya di mata gue, lo orang yang baik. Dan gue bangga sama lo."

Kini Hema menoleh, balas menatap Lia dengan begitu hangat. Cahaya temaram di sekitar dermaga tidak melunturkan kecantikan gadis berkaca mata itu, membuat Hema tanpa sadar meletakkan tangannya di pipi Lia, mengusapnya dengan lembut.

"Lia, apa boleh gue jujur sama lo?"

Lia mengangguk, dengan jantungnya yang sedari tadi tidak mau berhenti berisik. Tatapan hangat dan sentuhan Hema saat ini, membuat Lia kembali merasakan letupan-letupan hangat pada dadanya. Rasanya menggelitik, tetapi begitu menyenangkan.

"Sepertinya gue jatuh cinta, Lia. Sama lo. Dan gue benar-benar sejatuh itu."

Lia tercengang, tidak menyangka jika Hema akan mengungkapkan perasaannya seperti ini. Ternyata, Lia tidak jatuh cinta sendirian. Hema memiliki perasaan untuknya, membalas perasaan Lia sama besarnya.

Lalu cowok itu memangkas jarak, mendaratkan bibirnya di atas bibir Lia dengan lembut. Otomatis, mata keduanya terpejam selama beberapa detik.

"Kak Hema,"

Lia memanggil saat Hema sudah kembali menjauhkan wajahnya, dengan tatapan hangat cowok itu yang kini sudah berubah sendu.

"Tapi gue nggak bisa, Lia. Gue nggak bisa membiarkan diri gue semakin jatuh sama lo."

Lia mengerjap, mulai tidak paham dengan perkataan Hema saat ini.

"Kak,"

"Gue... seharusnya nggak boleh punya perasaan semacam ini sama lo."

"Kenapa?" Lia menatap Hema dengan tatapan tidak mengerti, "aku juga jatuh cinta sama Kak Hema, dari awal kita ketemu, aku udah suka kakak."

"Kita punya perasaan yang sama, Kak Hema."

Lidah Hema seakan kelu, hatinya sakit mendengar Lia yang juga mengungkapkan perasaannya. Padahal seharusnya dia senang. Seharusnya, mereka bahagia karena memiliki perasaan yang sama. Tetapi dunia tidak sebaik itu, realita seakan tidak memperbolehkan Hema bisa menikmati rasa bahagia karena perasaannya yang berbalas.

Jatuh cinta pertamanya ini sangat tidak mungkin untuk berhasil. Hema memang punya cinta, dan Lia juga memiliki perasaan yang sama. Tetapi dunia punya realita yang kejam.

Keduanya tidak boleh jatuh cinta kepada satu sama lain.

"Kak Hema,"

Lia memanggil, kali ini tangan mungilnya meraih tangan besar Hema dan menggenggamnya.

"Jadi punyaku ya kak? Mau?"

Pinta Lia dengan mata bulatnya yang menatap Hema penuh harap, mengabaikan tatapan Hema yang masih menatapnya dengan sedih.

Seharusnya gue yang meminta lo buat jadi punya gue, Lia.

Seharusnya, gue yang mengajak lo buat menjalani hubungan sama gue dengan berani.

Seharusnya, kita bisa saling mencintai dengan bebas.

Dan seharusnya, lo dan gue bisa bersama.

Tapi kenyataannya, nggak bisa.

Kita nggak boleh melakukan itu, Lia.

Kita nggak boleh saling jatuh cinta.

"Maaf, Lia. Nggak bisa."

"Kenapa kak? Bukannya kita sama-sama---,"

"Kita ini sedarah, Lia. Mendiang ayah lo adalah Papa gue."

Hema menelan salivanya susah payah, menatap Lia yang saat ini sudah melepas genggaman mereka dengan lemas.

"Gue.... Adalah kakak tiri lo."

°°°

1 to 14 (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang