Akhir

160 20 2
                                    

"Untuk pertama kalinya, aku juga jatuh cinta, Kak Hema

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Untuk pertama kalinya, aku juga jatuh cinta, Kak Hema. Perasaanku benar-benar sejatuh itu untuk kakak."

"Perasaan gue ke lo itu lebih besar, Lia. Gue bahkan nggak bisa mendefinisikan sebesar apa rasa sayang gue sama lo."

Lia tertawa, tetapi matanya menatap sedih kepada lelaki di depannya.

"Kenapa ya kak kita harus ada di situasi kayak gini? Dan kenapa juga cinta pertama aku itu harus Kak Hema? kakak tiriku yang baru aku tau hari ini hahaha."

Lia tertawa getir. Sedangkan Hema hanya tersenyum, masih dengan tatapan sedihnya. Lalu tangan cowok itu mengelus dengan sayang pucuk kepala Lia.

"Cinta pertama itu nggak pernah ada yang berhasil, Lia. Jadi, kita relakan aja ya?"

Lia menggeleng, berusaha menahan air yang sedari tadi sudah menumpuk di pelupuk matanya.

"Rasanya aku mau egois, kak. Aku nggak mau jadi adik Kak Hema. Aku nggak mau punya ikatan keluarga sama Kak Hema. Dan aku juga nggak mau mengakui kalo kita punya ayah yang sama, Kak Hema."

"Aku... Cuma mau Kak Hema jadi punyaku."

"Cuma itu..."

Lalu begitu saja air mata Lia tumpah, dibarengi dengan sebuah dekapan dari Hema pada tubuhnya.

°°°

Mata Lia kembali memanas saat obrolan dan pelukan pertama dan terakhirnya dengan Hema kembali terlintas di kepala. Sudah satu tahun, Lia tidak pernah lagi melihat atau bertemu dengan Hema. Lelaki itu meninggalkannya, dengan luka di hatinya yang masih belum sepenuhnya sembuh sampai saat ini karena cinta pertamanya yang pergi.

Kini Lia sudah menginjak kelas 12, umurnya juga sudah bertambah satu tahun. Lia sudah lebih giat dalam belajar dan membuat peringkatnya naik walaupun hanya lima tingkatan. Jika saat kelas 11 semester 1 dulu dia masih dalam peringkat dua paling bawah, di semester 1 kelas 12 ini Lia menempati peringkat tujuh paling bawah. Haha.

Yah sepertinya, Lia memang tidak tidak ditakdirkan berbakat dalam belajar. Tetapi seperti apa yang pernah Hema bilang, Lia tidak boleh berhenti berusaha dan dia akan berusaha meningkatkannya di semester 2 nanti. Juga sepertinya, dia harus berusaha dua kali lebih keras untuk mengejar universitas incarannya. Yah karena mau se-hopeles apapun, Lia harus kuliah. Dan dia sudah menemukan jurusan apa yang dia inginkan.

Kak Hema, doakan aku ya.

Lia menatap langit gelap di atasnya dengan sendu. Kembali membayangkan wajah Hema yang tersenyum manis padanya dan sentuhan tangan cowok itu di kepalanya. Dibarengi dengan kata-kata manis dan menghangatkan dari Hema untuknya.

Sudah setahun, kak.

Aku sudah mulai merelakan perasaanku.


Dan aku juga sudah bisa dengan berani mengatakan kepada diriku sendiri jika Kak Hema adalah kakakku.

Jadi, ayo kita bertemu lagi.

Ayo saling menatap dan tersenyum bahagia bersama lagi.

Aku akan menunggu, Kak Hema

Selama apa pun itu, aku akan selalu menunggu.

Lia menutup matanya sejenak, menikmati suara ombak dan angin yang cukup dingin di atas dermaga yang menjadi tempat pertemuan terakhirnya dengan Hema. Bersamaan dengan itu, Lia mencoba melepas sisa-sisa perasaannya untuk lelaki yang sampai saat ini tidak dia ketahui keberadaannya.

Tetapi yang tidak Lia sadari adalah, dari jarak yang tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada Hema yang sedang menatapnya dengan sendu. Lelaki itu tahu jika Lia selalu pergi ke dermaga setiap 14 hari sekali pada sore menjelang malam. Lia selalu datang sendirian, dengan rambut terurai dan kacamata bulatnya yang membuat wajah itu kian cantik di mata Hema.

Ah, perasaan itu lagi.

Hema menghela napas berat saat dadanya kembali sesak karena rasa rindu dan perasaannya yang ingin sekali berlari ke arah Lia, lalu memeluk perempuan itu dengan erat. Menatap garis wajah Lia yang sudah setahun ini hanya dia ingat dalam kepala. Rasanya, Hema mau meledak setiap kali dia harus menahan mati-matian perasaannya sendiri.

Lia, rasanya gue hampir mati hanya karena terlalu rindu sama lo.

Hema melonggarkan dasi yang dirasa mencekik lehernya, membuat kemeja yang sudah kusut itu tampak semakin berantakan. Tetapi tidak sekali pun melunturkan ketampanan yang ada di wajahnya yang kini sudah terlihat semakin dewasa.

Tapi maaf, Lia.

Gue masih belum berani untuk menampakkan diri di depan lo.

Gue... Masih belum seberani itu.

Gue takut keegoisan gue mengalahkan akal sehat gue yang menginginkan kita untuk bisa bersama.

Hema meremat jarinya sendiri, saat menyadari jika bahu Lia tampak bergetar dengan kedua tangan yang menutupi wajah.

Gadis itu menangis. Membuat Hema lantas merasakan sakit pada dadanya dengan pelupuk mata yang mulai memanas. Tetapi Hema tidak bisa melakukan apapun, dia tidak boleh menemui Lia disaat perasaannya kepada Lia masih sebesar ini. Walaupun sebenarnya, rasa ingin berlari dan mendekap Lia untuk menenangkan tangis perempuan itu saat ini tak kalah besar dari rasa cintanya.

Lia, tunggu ya.

Gue janji akan datang menemui lo kalau perasaan ini sudah benar-benar hilang.

Gue... Akan datang dan memeluk lo lagi dengan berani.

Dengan perasaan yang sudah berbeda, tentunya.

Dengan perasaan yang sudah sepenuhnya hanya menganggap lo adalah adik gue.

Lia, tunggu gue sampai gue siap, ya?

Lia, tunggu gue sampai gue siap, ya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°°°

1 to 14 (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang