Sebelas tahun kemudian....
Seorang gadis duduk termenung di depan jendela kamarnya. Matanya perlahan memejam saat hembusan angin itu mengenai kulitnya. Rintik air hujan yang terjatuh membuat pendengarannya terasa termanjakan. Entahlah, dia merasa tenang tatkala hujan turun. Seakan ada sesuatu yang memeluk tubuhnya, sepertinya hujan mengerti jika dirinya tidak baik-baik saja.
Senja Kirana, begitulah namanya. Nama yang sangat indah, namun tidak dengan takdir hidupnya. Kehilangan cahaya berharga dalam hidupnya membuat gadis itu tumbuh menjadi gadis murung, pendiam, bahkan lemah. Tidak ada Senja yang ceria, gemar memarkan senyumannya yang mengembang. Semuanya seakan hilang, hanya menyisakan sebuah kenangan, cerita lama yang gadis itu pendam dalam-dalam.
Perlahan setitik air mata jatuh di pipinya. Semuanya begitu menyakitkan, hatinya hancur berkeping-keping setelah dihantam dengan kenyataan yang begitu pahit. Sampai saat ini semuanya begitu sulit untuk gadis itu menerima keadaannya. Dia beranggapan bahwa hidupnya sudah tidak berguna. Untuk apa dia hidup jika dia hanya sebagai beban orang disekitarnya?
Sebenarnya dia benci menangis, menangis hanya menandakan dirinya lemah. Namun dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa dia berada dalam titik itu.
Ceklekkk
Pintu kamarnya terbuka, membuat gadis itu cepat-cepat mengusap air matanya. Dia tau siapa seseorang yang baru saja masuk. Memutar tubuhnya untuk menghadap, Senja tersenyum lembut kearah Nadia-sang Mamah.
"Senja, makan dulu, Nak," ungkapnya lembut. Wanita itu meletakkan nampan makanan yang dia bawa di atas nakas, lalu menghampiri tempat duduk Senja saat ini. Dengan sayang Nadia mengelus pundak sang putri. Tak lama dari itu, dia merasakan pundak itu bergetar. Senja menangis, gadis itu kembali hancur dan lemah di hadapan sang Mamah.
Nadia menarik tubuh Senja dan melabuhkan kedalam pelukannya. Gadis itu terisak kecil, menyembunyikan wajahnya di tubuh Nadia.
"Kenapa hidup Senja menjadi seperti ini, Mah? Senja sakit, Senja nggak sanggup," isaknya yang semakin terdengar menyayat hati.
Nadia menggelengkan kepalanya, wanita itu diam-diam ikut menangis. Entah sejak kapan, namun melihat Senja kembali terpuruk adalah mimpi buruk untuk Nadia. Melihat kondisi Senja sekarang, hati Nadia bagaikan tertusuk benda tajam yang membuat hatinya sakit.
"Nggak, Senja nggak boleh ngomong gitu. Nanti Tuhan marah," ucapnya sembari menahan isakannya.
"Tuhan nggak sayang sama Senja."
"Tuhan sayang sama Senja," sergah Nadia cepat.
"Kalau Tuhan sayang sama, Senja Tuhan nggak akan mengambil sesuatu yang berharga dari Senja. Kenapa Tuhan nggak adil sama Senja?"
"Kenapa Tuhan mengambil semua kebahagiaan Senja? Kenapa Tuhan memberikan kegelapan dalam hidup Senja? Kenapa, Mah? Apa Tuhan benci sama Senja?"
Lagi-lagi Nadia menggelengkan kepalanya lemah, dia melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Senja menggunakan telapak tangannya. Ibu jarinya tergerak mengusap buliran cairan bening itu. Melihat keadaan Senja yang hancur seperti ini membuat Nadia sangat terpukul. Senyum manis, wajah cerita dan tawa yang renyah itu tidak lagi Nadia dengar dari putrinya setelah peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang sudah melenyapkan dan merampas semua kebahagiaan Senja. Peristiwa yang telah merubah semua kehidupan putrinya.
"Jangan bicara seperti itu lagi sayang, Mamah nggak suka."
"Senja dengerin kata Mamah, Tuhan itu sayang sama Senja. Tuhan juga nggak benci sama Senja. Tuhan memberikan cobaan ini untuk Senja karena Tuhan percaya bahwa Senja bisa melewati ini semua. Senja anak kuat."
"Tapi kenapa harus mata yang Tuhan ambil? Kenapa nggak sekalian Tuhan mengambil nyawa Senja waktu itu? Dan untuk apa Senja hidup jika Senja hanya menyusahkan semua orang? Senja nggak berguna, Mah!" Senja berteriak histeris tangannya mencengkeram dadanya yang terasa sesak. Dia hancur.
Nadia menundukkan kepalanya dalam, tangisnya tidak dapat dia bendung. Dia telah gagal menjadi seorang ibu untuk Senja. Bahkan untuk membuat Senja tenang saja dia tidak bisa. Dia sangat tidak berdaya, derita Senja juga derita untuknya, duka Senja adalah kehancuran hidup baginya. Dia tau Senja sangat menderita dengan ini semua, tetapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menguatkan dan memberi semangat untuk Senja. Hanya itu.
Nadia kembali memeluk tubuh Senja, mendekapnya dengan erat memberikan ketenangan.
"Senja pengen seperti dulu lagi, Mah," gumamnya pelan namun masih tertangkap jelas di indera pendengaran Nadia.
"Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan umatnya. Dibalik hujan yang lebat, pasti ada pelangi yang indah setelahnya. Senja ingat kata-kata itu?"
"Tapi Senja nggak sekuat yang Mamah kira. Senja nggak berdaya, Senja lemah dan semuanya gelap," gumam Senja parau, suaranya pun nyaris tak terdengar.
Tidak ada jawaban dari Nadia, dia menangis, lebih tepatnya menangis secara diam-diam. Rasanya begitu sesak, sakit, hancur. Jika Nadia boleh memilih, lebih baik dia yang mendapat kehancuran itu. Sungguh, dia sangat-sangat tidak sanggup.
"Mamah dan Papah sayang sama Senja. Sangat-sangat sayang. Mamah harap Senja tidak terlalu menyalahkan Tuhan atas musibah ini. Ini takdir, Senja. Takdir yang harus kita lewati dengan senyuman bukan dengan air mata."
"Tuhan tidak menyukai hambanya yang lemah, sayang. Mamah tau ini berat untuk kamu, tapi Senja masih punya Mamah dan Papah. Kita lewati semua ini sama-sama. Mamah dan Papah akan selalu ada di samping Senja. Meskipun Senja tidak bisa melihat indahnya dunia, Mamah dan Papah siap untuk menjadi mata Senja." Nadia menjeda ucapan, menyeka air matanya sendiri lalu wanita itu mengecup lembut puncak kepala Senja.
"Umur Senja hampir menginjak tuju belas tahun dan nggak terasa kamu sudah melewati semua ujian itu selama sebelas tahun dan Senja masih bertahan hingga saat ini. Tetaplah menjadi wonder woman Mamah dan Papah. Tunjukkan, bahwa Senjanya Mamah itu kuat. Dan berjanji sama Mamah, Senja akan tetap bertahan meskipun seberat apapun ujian itu." Wanita itu memaksakan tersenyum meskipun hatinya tengah hancur. Senja menarik tubuhnya dari dekapan sang Mamah. Tangan Senja terangkat, meraba wajah Nadia yang seketika membuat wanita itu kembali menitihkan air matanya. Senja mengusap air mata itu dari wajah Nadia. Gadis itu tersenyum disela-sela isakannya.
"Senja janji. Senja akan bertahan...demi Mamah dan Papah." Ucapan gadis itu sontak membuat hati Nadia tersentuh. Keduanya kembali berpelukan, tidak menyadari jika Rama berdiri di depan pintu dengan tangis yang sudah berderai. Pria itu mendengar semua percakapan itu. Rasa sesak mengimpit dadanya saat ini. Di lubuk hatinya yang terdalam, kata 'seandainya' masih saja dia utarakan. Seandainya Tuhan memindahkan penderitaan Senja kepadanya, dia akan ikhlas menerima. Dan itu yang selalu laki-laki itu ucapkan ketika melihat sang putri.
Rama memilih menutup kembali pintu kamar Senja, perlahan tubuh Rama merosot, bersandar pada pintu itu. Kepalanya menengadah ke langit-langit rumahnya.
"Hamba tidak sanggup melihat putri hamba menderita, Tuhan. Hamba tidak sanggup."
Tbc
.
.
.
Terima kasih yang udah mampir di cerita aku
Jangan lupa vote sama koment ya
Sampai jumpa di part selanjutnya
Pay pay🦁
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Senja
Teen FictionNamaku Senja Kirana. Tetapi, hidupku tak seindah namaku. Hidupku penuh dengan kegelapan. Tuhan telah mengambil cahaya berharga dalam hidupku. Bahkan, Tuhan juga mengambil orang-orang terkasihku. Hidupku menyedihkan, rapuh dan juga menyakitkan. Semua...