Setelah keributan yang Ines lakukan di pemakaman, kini dirinya dan keluarganya beserta Senja duduk dengan diam di ruang keluarga rumah Rama. Tidak ada satupun dari mereka yang berbicara, kecuali Ines yang saat ini terus menatap Senja dengan tatapan menghunus tajam. Raut wajah wanita itu masih tak bersahabat. Bahkan sempat beberapa kali wanita itu memperlihatkan gelagat tak sukanya secara terang-terangan. Semua orang menyadari itu, tetapi mereka tidak bisa menghentikan begitu saja. Sekalipun suaminya sendiri yang memperingatinya dengan nada membentak, Ines tidak akan menggubris. Karena rasa dendam dan tak suka wanita itu benar-benar sudah tak terelakkan.
Mengalihkan pandangannya dari Senja, kini Ines membawa pandangannya menuju dua lelaki berpakaian rapi di hadapannya. Dia tahu salah satu dari pria itu, Bram—pengacara dari keluarga Adinata. Tetapi pria yang satunya dia tidak tahu. Tatapan penuh selidik terus Ines layangkan. Dia tidak tahu mengapa dua pria itu menyuruhnya untuk berkumpul. Dan Bram, ada urusan apa pria itu hingga datang ke sini? Bukankah Bram hanya membantu Rama mengurusi surat wasiat tentang pendonoran mata untuk Senja? Dan dia juga sudah melarang pria itu untuk memberi tahu. Tapi kenapa dia datang?
Banyak pertanyaan yang timbul di otak Ines saat ini. Pun dengan perasaannya yang tiba-tiba tak nyaman. Dia merasa ada sesuatu hal besar yang tidak dia ketahui di sini. Dan jika dugaannya benar, dan Bram ikut andil di dalamnya, dia tidak akan segan-segan memberi pria itu pelajaran.
"Sebenarnya ada apa? Jika tidak ada yang penting, saya akan pergi dari sini!"
Bram dan Henry saling berpandangan, lantas anggukan kepala yang Bram lakukan membuat Henry langsung membuka tas miliknya dan meletakkan sebuah dokumen di atas meja. Mata Ines memicing, dia benar-benar tidak paham situasi saat ini.
"Nyonya, perkenalkan saya Henry pengacara dari keluarga Pak Rama."
Air muka terkejut dari Ines tak dapat disembunyikan. Pengacara Rama? Oh shit! Jadi dia kecolongan selama ini?
Beberapa saat kemudian, ujung mata wanita itu melirik kearah Bram. Dari tatapan itu seakan Ines meminta penjelasan apa maksud dari ini semua. Bram sangat paham, namun dengan tak sopannya pria itu mengendikkan bahunya acuh lalu kembali menatap dokumen yang terletak di meja.
Ines berdecih, jangan bilang Bram menusuknya dari belakang.
"Ada urusan apa Anda kemari?" tanya Ines dengan nada sinis.
Sebelum berbicara, Henry mengambil napasnya dalam lalu menghembuskan napasnya secara perlahan. Kemudian dia mendongakkan kepalanya menatap Ines yang kini juga tengah menatapnya tajam.
"Kedatangan saya kesini hanya ingin menyampaikan surat wasiat yang Pak Rama tulis beberapa hari yang lalu sebelum Beliau mengalami kecelakaan." Henry menjeda ucapannya. Tangan yang sedari tadi bertengker di atas pahanya kini beralih meraih dokumen di hadapannya. Namun, sebelum pria itu membacakan isi dari surat wasiat tersebut, suara Ines yang menginterupsi membuat Henry urung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Senja
Teen FictionNamaku Senja Kirana. Tetapi, hidupku tak seindah namaku. Hidupku penuh dengan kegelapan. Tuhan telah mengambil cahaya berharga dalam hidupku. Bahkan, Tuhan juga mengambil orang-orang terkasihku. Hidupku menyedihkan, rapuh dan juga menyakitkan. Semua...