Jake buru-buru merapikan sisa pekerjaannya malam itu. Notifikasi pesan dari Sunghoon membuatnya harus bergerak cepat karena Sunghoon makin tidak sabar untuk mengajaknya pergi ke sebuah bar.
Namanya Chalet. Jazz bar itu sudah 10 tahun berdiri di tengah kota Seoul dan menjadi satu-satunya jazz bar klasik kelas internasional yang bertahan di tengah-tengah menjamurnya bar yang lebih kekinian dan melokal.
Di sanalah Sunghoon bekerja sebagai mixologist di malam hari setiap Jumat malam sampai Minggu. Karena ia sudah percaya diri dengan kemampuannya meracik berbagai minuman, ia pun bersikeras ingin membawa Jake ke sana. Terlebih sahabatnya itu akhir-akhir ini terlihat kusut, seolah-olah dibalik setelan rapinya dan pesonanya sebagai guru musik yang cakap justru tersimpan banyak sekali kumpulan emosi yang tidak bisa diluapkan.
Sudah berbagai alasan Jake berikan supaya dia bisa mangkir dari ajakan Sunghoon, tapi kali ini Sunghoon lebih pintar. Ia mencegat Jake di depan sekolah tempat Jake mengajar supaya pria itu tidak langsung kabur.
"Bayarin gue minum." sosor Jake ketika ia masuk ke dalam mobil Sunghoon.
Sunghoon terkekeh, "Tenang, gue siapin minuman terbaik buat lo."
"Palingan juga Brandy yang udah 10 tahun." sindir Jake.
"Hahaha. Gue bakal buatin lo Black Russian. Gue itu mixologist, alias tukang ngeracik alkohol bukan cuma ngambilin beer atau brandy dari gudang penyimpanan doang."
"Black Russian? Kayak gimana tuh?"
"Kepo kan? Makanya kalau gue ajak ke Chalet, lo harus nurut. Mumpung masa training gue masih sisa sebulan lagi."
"Emang lo nggak akan lanjut?"
"Engga. Gue iseng aja mau menyempurnakan skill sebelum ke New York."
Sunghoon melajukan mobilnya keluar dari sekolah. Selama perjalanan, ia menyalakan radio yang memutar lagu-lagu kesukaannya dan Jake saat mereka masih sekolah dulu, yang akhirnya membuat dua pria muda ini bersenandung bersama-sama sambil bernostalgia zaman sekolah.
Di tengah-tengah lagu masih diputar Jake bergumam, "Ahh, gue kangen hidup kita yang dulu. Gue nggak nyangka quarter life crisis itu dampaknya beneran ada."
Sunghoon mengerling sebentar ke arah Jake kemudian kembali fokus melihat jalan, "Yah, hidup kan bukan untuk diam di tempat, Jake."
"Lo emang nggak pernah ngerasa stress? Atau tertekan dengan tuntutan dan ekspektasi orang lain yang di luar dugaan?" tanya Jake.
"Pernah kok. Tapi kan kita nggak bisa mengendalikan apa yang terjadi di depan. Gue cuma tahu bahwa semua yang kita rencanakan atau impikan untuk masa depan nggak mungkin dikasih satu jalan. Ada banyak jalan yang bisa kita pilih, bahkan di satu jalan itu bakal bercabang juga."
"Dan disitulah lo akan mempertanyakan apakah jalan yang lo pilih itu benar...." balas Jake dengan sendu.
"Hey, life is not that bad." hibur Sunghoon. "Gue beneran punya feeling lo bakal menemukan sudut pandang baru setelah main ke Chalet. Come on bro, Jazz is always your way of life right?"
"Jadi lo nyuruh gue buat repurpose tujuan hidup gitu?"
Sunghoon mengangguk dengan mantap sambil menyetir dengan fokus, "Yap, kira-kira begitu."
"Enak jadi lo, gampang legowo. Gue iri."
Sunghoon hanya bisa memberikan senyum terbaiknya untuk menghibur Jake. Menit-menit setelahnya mereka hanya bersenandung dari lagu-lagu lama yang masih berputar di radio sambil larut dalam pikiran masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon a Love
Fanfiction∙ HEEJAKE AREA ∙ Kumpulan one shot, two-three shot, dan cerita pendek lainnya untuk HEEJAKE. ∙ bxb ∙ dominant sfw, slightly nsfw ∙ mostly happy ending, tapi nggak selalu :> ∙ mungkin menyebutkan tentang ciuman, konsumsi alkohol, rokok/vape, terga...